x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Rabu, 24 Agustus 2022 18:39 WIB

Demonstrasi Massa Pro-Sadrist dalam Lanskap Politik Irak Pasca-Pemilu


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tepat pada tanggal 30 Juli 2022, peristiwa politik di Irak kembali runyam dengan berderanya kabar mengenai demonstrasi massa yang terjadi di Baghdad, lebih tepatnya di kawasan pemerintah pusat atau dikenal sebagai Green Zone. Demonstrasi tersebut dilakukan secara sepihak oleh pendukung faksi Muqtada Al-Sadr, faksi yang berhasil memenangkan perolehan suara mayoritas dalam Pemilu Irak pada tanggal 9 Oktober 2021 lalu.

Demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok pendukung Al-Sadr atau kemudian dikenal sebagai Sadrist ini sembilan bulan berlangsung pasca Pemilu Irak. Nyatanya pemerintah Irak tidak langsung terbentuk sejak berakhirnya pesta demokrasi tersebut. Oleh karena terjadinya permasalahan dalam tubuh parlemen Irak sendiri. Masalah tersebut tertuju pada macetnya pembentukan koalisi pemerintahan yang akan memimpin Irak untuk memimpin periode selanjutnya.

Seperti yang diketahui, pemerintahan Irak sejak dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Mustafa Al-Kadhimi telah mengajukan adanya pemilu parlemen pada tahun 2021 untuk mempercepat adanya suksesi kepemimpinan baru yang akan menggantikan posisinya sebagai Perdana Menteri dan pemilu ini juga diharapkan akan membangun koalisi pemerintahan yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat secara konsekuen di tengah krisis yang dialami oleh Irak sendiri. Pemilu yang memperebutkan 329 kursi di parlemen ini berhasil dilaksanakan dengan partisipasi pemilih (voter turnout) sekitar 43, 30% -- satu persen lebih rendah daripada pemilu terakhir pada tahun 2018 – dan hasil dari pemilu ini tertuju pada Sadrist Movement yang memenangkan perolehan 73 kursi dan 10% suara pemilu, sehingga Sadrist Movement berhasil menjadi pemenang utama dalam pemilu. Namun demikian, pemilu yang praktis memenangkan partai dari Al-Sadr tidak otomatis membuatnya mampu membangun pemerintah secara langsung dikarenakan kelompok Sadrist memerlukan gabungan dari 92 kursi lainnya untuk mencapai posisi mayoritas dalam parlemen dan posisi tersebut juga diperlukan untuk membentuk koalisi pemerintahan yang nantinya setiap posisi dari kabinet akan diisi dari koalisi Sadrist dengan partai lainnya. Tidak hanya memerlukan gabungan dari faksi lainnya di parlemen, dalam sistem parlementer terutama di Irak, koalisi pemerintahan yang terbangun juga harus mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen supaya pelaksanaan pemerintahan dan kebijakan publik berjalan secara konsekuen dan menghindari terjadinya kebuntuan politik (political deadlock)  dari perbedaan antar faksi, yang disatu sisi dapat mendorong terjadinya mosi tidak percaya dan berdampak buruk terhadap kestabilan dari kabinet itu sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kendati demikian, setelah sembilan bulan berselang, nyatanya pembentukan koalisi partai untuk pemerintahan Irak tidak berlangsung dengan lancar dikarenakan setiap faksi politik dalam parlemen saling beradu kepentingannya masing-masing dan friksi semaca itu tidak berhasil membawa kesepakatan tunggal bagi setiap pihak, sehingga kebuntuan politik masih terus terjadi di parlemen dan kabinet Mustafa terpaksa harus tetap melanjutkan masa kepemimpinannya untuk mencegah adanya friksi lebih lanjut dalam politik Irak. Alhasil, tata kelola kebijakan publik saat ini masih mengalami beberapa kemacetan yang disatu sisi berdampak besar terhadap penghidupan masyarakat Irak yang masih belum pulih dari covid-19 dan situasi keamanan yang tidak stabil pasca ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) resmi menyerahkan diri kepada pasukan Irak. Tidak hanya kedua kondisi diatas, perpecahan antar faksi politik hingga kini masih terjadi di Irak oleh karena politik di Irak sebagian besar terpecah atas tiga kelompok etno-religius yang berbeda – Kurdi, Shia, Sunni, dan Shia pro-Iran – dan pembagian kekuasaan antar faksi di parlemen pada kenyataannya tidak berhasil membawa mereka kepada satu tujuan bersama dan konflik sektarian yang berkepanjangan turut membuat masyarakat murka akan performa dari politisi, sehingga pada tahun 2021 lalu hingga tahun ini, Irak kembali mengalami krisis politik untuk kesekian kalinya pasca-tumbangnya rezim Saddam Hussein oleh Amerika Serikat pada tahun 2003.

Namun demikian, mengenai demonstrasi oleh massa pro-Sadrist beberapa waktu lalu, justru terjadi perbedaan mengenai penyebab dari demonstrasi tersebut bila dibandingkan dengan demonstrasi massa pada umumnya. Demonstrasi massa pro-Sadrist pada akhir Juli ini dilangsungkan dengan menyerbu Green Zone secara sporadis dan massa juga telah menduduki gedung parlemen selama beberapa hari kendati mendapatkan perlawanan balik dari aparat keamanan di zona tersebut. Demonstrasi oleh massa pro-Sadrist sebagian besar membawakan tuntutan berupa seruan kepada pemerintah Irak untuk tidak mengangkat Muhammad Shiya Al-Sudani sebagai Perdana Menteri pengganti Khadimi dan sekaligus meminta keseriusan kepada politisi di parlemen untuk menangani korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis yang melanda pemerintahan Irak. Seperti diketahui bahwa pengangkatan Al-Sudani sebagai calon PM banyak dikritisi oleh massa dikarenakan ia merupakan politisi dari kubu Shia yang pro-Iran dan Al-Sudani yang berasal dari koalisi Coordination Framework disatu sisi merupakan kubu yang dimusuhi oleh Al-Sadr dikarenakan koalisi ini akan cenderung membawa pemerintahan Irak kepada orbit pengaruh Iran, sehingga Al-Sadr dan pendukungnya melakukan demonstrasi menuju Green Zone untuk mendesak pencabutan nominasi Al-Sudani oleh parlemen sebagai pengganti Kadhimi.

Seperti diketahui, setelah memenangkan pemilu 2021 lalu, Al-Sadr beserta legislator bawahannya memiliki visi untuk membentuk “pemerintahan koalisi mayoritas” yang nantinya dapat merangkul semua faksi politik di parlemen dan pemerintahan tersebut juga ditujukan untuk memastikan setiap kepentingan masyarakat terakomodasi kedalam pemerintahan baru – kendati desakan Al-Sadr untuk membentuk koalisi mayoritas ini hanya merujuk pada koalisi Sunni dan Kurdi oleh karena sentimennya yang masih tinggi dengan kubu Syiah – sehingga dengan format tersebut maka permasalahan laten yang masih menghinggapi Irak seperti korupsi dan krisis ekonomi dapat teratasi melalui pemerintahan yang terbentuk dan sekaligus mengurangi pertentangan di parlemen yang berakibat pada political deadlock di parlemen dan kabinet. Namun demikian, oleh karena parlemen baru gagal mencapai kesepakatan untuk membentuk koalisi pemerintahan, Al-Sadr beserta 75 politisi dari Sadrist Movement mengundurkan diri dari parlemen dan Sadr juga mendesak parlemen untuk melaksanakan pemilihan cepat atau dikenal sebagai snap election untuk mengkonfigurasi ulang komposisi faksi politik di parlemen dan sekaligus mempercepat jalannya pembentukan koalisi pemerintah yang nantinya dipimpin oleh Sadrist Movement. Usulan untuk pemilihan cepat ini pada kenyataannya juga menemui hambatan dikarenakan koalisi Syiah pro-Iran tetap mendukung keberadaan parlemen hasil pemilu 2021 dan kubu tersebut juga berupaya untuk kompromi dengan Al-Sadr mengenai pembentukan koalisi pemerintahan kendati Al-Sadr tetap menolaknya, yang mana tarik ulur antara kubu Al-Sadr dengan Coalition Framework saat ini masih menjadi kendala yang sewaktu-waktu dapat mempertajam polarisasi politik di Irak.

Krisis politik pasca pemilu 2021 di Irak tidak bisa dipungkiri juga merupakan konsekuensi lanjutan dari penerapan sistem ethnic power-sharing dalam politik Irak yang telah dijalankan sejak tahun 2003 lalu, dimana sistem yang banyak dikenal oleh ilmuwan politik sebagai consociationalism digambarkan sebagai pembagian kekuasaan yang dijalankan antara masing-masing faksi politik yang merepresentasikan identitas etnis di suatu negara dan pembagian tersebut seringkali dilakukan dengan penempatan kuota dewan legislatif nasional beserta pos-pos pemerintahan kepada masing-masing faksi politik yang ada. Sistem consociationalism sebagian besar ditujukan untuk menjamin akomodasi kepentingan dari setiap etnis yang ada dalam suatu bangsa dan sistem tersebut juga ditujukan untuk mencegah terjadinya perpecahan maupun konflik sektarian antar etnis yang dapat mengacaukan integrasi bangsa. Negara yang menerapkan sistem ini sebagian besar dikategorikan sebagai negara yang memiliki heterogenitas moderat dalam etnisitas dan Irak sebagai negara Islam yang terdiri atas tiga aliran etnis Islam utama menerapkan sistem tersebut sejak pembentukan konstitusi Irak tahun 2005 dan penerapan sistem ini juga dilakukan untuk merekatkan sekat-sekat antar etnis yang ada di Irak.

Sistem yang berlangsung hingga saat ini dapat dikatakan telah mampu membawa Irak kepada stabilitas politik – kendati masih diterpa konflik keamanan internal – dan dengan sistem parlementer yang diadopsinya, sistem consociationalism dapat menjamin berjalannya pemerintahan melalui koalisi mayoritas yang dapat dibentuk oleh aliansi antar faksi di parlemen Irak. Namun demikian, sistem ini juga memberikan dampak negatif yang berkepanjangan terhadap politik Irak dikarenakan pembagian kekuasaan berbasis etnis cenderung tertuju pada kompromi antar faksi yang hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Seperti diketahui bahwa kompromi dijadikan sebagai landasan utama dibalik pembagian kekuasaan di Irak dan praktik kompromi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun sebagai upaya untuk membentuk pemerintahan yang stabil. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, praktik ini membawa dampak negatif pada pelaksanaan kebijakan publik di Irak dikarenakan benturan kepentingan antar faksi seringkali membuat pemerintahan koalisi yang terbentuk tidak mampu berjalan secara independen oleh karena tersandera akan konflik kepentingan di parlemen dan konflik ini jelas berdampak pada penetapan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elite politik.

Selain itu, korupsi dalam tubuh pemerintahan juga masih menjangkiti para elite yang berkuasa oleh karena tindakan korupsi kerap dilakukan demi mencapai ambisi politik dari masing-masing faksi dan dengan korupsi yang terjadi secara sistematis di Irak, maka pemerintahan yang terbentuk hanyalah menjadi alat kepentingan faksi politik tertentu dan bis akita saksikan pula mengenai kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang berujung pada krisis sosial-ekonomi di Irak secara berkepanjangan. Oleh karenanya, demonstrasi kelompok pro-Sadrist ini hanya merupakan episode terbaru dari permasalahn yang menjangkiti politik Irak dan apabila tidak ada perubahan secara signifikan maka bukan tidak mungkin bahwa kondisinya akan jauh lebih buruk lagi kedepannya.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB