x

Maulid Nabi Muhammad SAW

Iklan

Velox et Exactus

Manusia
Bergabung Sejak: 26 Agustus 2022

Minggu, 28 Agustus 2022 07:36 WIB

Menjawab Prejudice Kawan Lama

Sebagian materi Artikel ini bersumber dari Buku Capita Selecta karya M. Natsir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ini artikel pertama yang Saya tulis sejak terakhir kali pada beberapa tahun lalu dan bertujuan untuk melengkapi jawaban Saya terhadap prejudice "Islam hanya tentang perang" yang dilontarkan oleh salah seorang Kawan lama dalam suatu "obrolan kosong" beberapa tahun silam. Ya, tepatnya empat tahun lalu. Kenapa ditulis sekarang? Karena hanya itu ide yang terlintas saat ini dan itu mungkin lebih baik dibanding Saya harus memikirkan tentang masa depan dan mengapa ukuran Bumi tidak seluas Matahari? hahahaha. Semoga Beliau ─yang entah di mana, dalam keadaan sehat dan akan membacanya. Tapi bagaimana jika tidak dibaca? Entahlah, tapi semoga dibaca oleh keturunannya saja, hahahaha.

Disclaimer : Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan apalagi menghina suku, ras, dan umat lain maupun agama atau kepercayaan apapun.

Dalam “obrolan kosong” itu, Saya mengemukakan ± bahwa benar ─sependek yang saya tau, Islam pernah "ditegakkan" dengan perang, tapi itu hanya salah satu cara saja, karena sebelumnya juga terdapat banyak mu'alaf beriman kepada risalah beliau tanpa harus diperangi, seperti kaum Muhajirin dan Anshar. Pun peperangan untuk dakwah hanya boleh dilakukan setelah tawaran untuk menerima Islam dan membayar jizyah ditolak oleh pihak yang didakwahi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Preseden menunjukan bahwa penggunaan metode perang dalam dakwah hanya putuskan oleh pemimpin suatu wilayah setingkat negeri, bukan selevel ketua RT atau secara individual seperti “tejo dengan seorang diri atau bersama sekelompok orang mendatangi tetangga atau temannya yang kafir, kemudian menawarkan Islam dan membayar jizyah, lalu mereka menolak dan tejo membunuhnya”. Ketahuilah Tejo, anggapan itu lebih bodoh daripada seseorang yang meniup-meniup segelas es teh sebelum dia meminumnya.

Terkait dengan agama dan peperangan, sebagai perbandingan, apakah imperium Romawi (Nasrani) dan Persia (Majusi-Penyembah Api) yang notabene berbasis agama itu tidak pernah berperang? La! Mereka justru menjadi adikuasa karena kekuatan militernya pada masa itu. Terlepas dari konteks agama maupun tidak. Pertanyaan mendasarnya, apakah berperang  merupakan perbuatan tercela? Hemat Saya, itu relatif, karena nyaris seluruh kekuasaan di masa lampau maupun negara-negara di abad ini memiliki kesatuan militernya masing-masing.

Nabi Muhammad SAW adalah representasi terbaik dari ajaran Islam dan Beliau SAW mendakwahkan Agama ini selama 23 Tahun dalam 2 fase (Makkah dan Madinah). Pertanyaannya, apa Rasulallah pernah menggunakan pedang dalam 13 tahun berdakwah di Makkah? Tidak!, dan Itu dapat dikonfirmasi oleh banyak sumber sejarah.

Tapi bagaimana ketika Beliau SAW 10 tahun di Madinah? Ya!, Beliau pernah berperang dalam berdakwah! Tidak perlu sumber oposisi untuk mengkofirmasi itu, sumber internal seperti buku As-Sirah An-Nabawiyah pun mencatat seluruh peperangan tersebut. Lantas kenapa harus dengan cara berperang? Di antaranya, karena sebelum memutuskan berperang, Beliau telah menempuh dakwah dengan cara lain seperti dialog dan diskusi, sebagaimana di Makkah, tapi mayoritas dari mereka tetap menolak (selain kaum anshar) dan hanya segelintir saja yang beriman, bahkan Beliau sebagai pemimpin tertinggi Madinah saat itu pernah tetap mengizinkan mereka untuk tinggal di Kota ini.

Di samping itu, peperangan-peperangan tersebut juga didahului oleh berbagai motif yang logis, mulai dari pengkhianatan 3 suku Yahudi di Madinah, penyerangan oleh aliansi Azhab ke Madinah, hingga watak orang-orang Arab dan ‘ajm kala itu di jazirah Arab yang cenderung "keras" dan terbiasa berperang.

Selain itu, secara geopolitik, alasan lainnya adalah teritorial Madinah yang berada di antara wilayah kekuasaan Persia dan Romawi, sehingga akan berdampak terhadap ekspansi dakwah Islam ke negeri-negeri lain di sekitarnya. Di antaranya, Beliau  SAW pernah mengadakan ekspedisi untuk mendakwahi wilayah Tabuk (kekuasaan Romawi), tapi tidak dengan langsung menantang Kaisar Heraclius dan pasukannya itu untuk berperang, melainkan dengan menawarkan Islam dan membayar jizyah kepada Mereka terlebih dahulu, ─meski akhirnya peperangan tidak terjadi.

Sub topik ini akan menjadi terlalu panjang jika dikemukakan sekarang dan justru akan menghilangkan esensi dari topik semula. Jika umur, otak, dan tempat masih mengizinkan, lain waktu Saya akan khusus membahasnya lebih rinci dalam artikel berikutnya. Jadi, untuk sementara, mari kembali ke topik semula.

Saya teringat buku karya Capita Selecta karya M. Natsir, tokoh masyhur bagi bangsa ini. Dalam buku itu, beliau mengemukakan tentang Islam dan kebudayaan. Saya pikir, bagian ini sangat tepat untuk melengkapi jawaban terhadap prejudice di atas, yaitu dengan “menyampaikan kembali” sisi lain dari Islam. Tentu saja, Saya hanya mengambil materi yang diperlukan oleh konteks, tanpa bermaksud mengotak-atik karya beliau yang sangat saya hormati.

Andai materi yang saya kutip ini tidak sesuai dengan buku aslinya, maka itu disebabkan oleh kebodohan saya saja dan mohon dikoreksi. 

Prof. H.A.R. Gibb (1895-1971), seorang orientalis, pujangga dan sekaligus ahli tariqh (sejarah) berkata bahwa, “Islam is indeed miuch more than a system of theology, is a complete civilitation (Islam itu sesungguhnya lebih dari sekedar suatu sistem agama, dia adalah suatu kebudayaan yang lengkap”.

Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al Mansur, seorang Khalifah ke-II dari Dinasti Abbassiah adalah seorang yang shaleh, ahli Fiqh, serta pencinta ilmu falaq (Astronomi) dan medis. Di Istananya, Beliau dan para ilmuwan saling bekerja sama untuk memperdalam ilmu astronomi, tanpa memandang latar belakang agama dan tidak lupa menafkahi Mereka dengan jumlah yang tidak kecil. Maubatch adalah salah seorang di antara para ilmuwan itu dan merupakan penganut Majusi asal Persia yang ahli dibidang Astronomi. Seiring waktu, Maubatch kemudian menganut Islam dan Khalifah Al-Mansur menjadi saksi langsung ketika Ia mengikrarkan Syahadat. Dia lalu tinggal di Istana Kekhalifahan bersama keturunannya dan memperdalam ilmu astronomi. Perhatian yang demikian besar oleh Khalifah terhadap ilmu falaq itu menjadikan para penuntut ilmu dari India, Persia hingga Romawi berkumpul ke Baghdad, ─di bawah perlindungan pemerintah Islam.

Khalifah Al-Mansur meminta literatur-literatur kuno dari Negeri Romawi yang telah lama terlupakan untuk didatangkan ke Baghdad agar materinya yang berharga itu dapat dikemukakan kembali. Kaisar Romawi di antaranya kemudian mengirim beberapa buku Physyca (fisika) dan sebuah buku karya Euclydes ─si Pujangga Hitung yang masyhur. Buku-buku itu kemudian diterjemahkan dan dipelajari, lalu diperluas dan dikembangkan di Baghdad.

Di Negeri Candisapura, terdapat seorang penganut Kristen berkebangsaan Syiria bernama Georgy Bachtisju, ─salah seorang ahli medis termasyhur dimasa itu. Al-Mansur mengundang Georgy Bachtisju datang ke Baghdad untuk mengajarkan ilmu medis dan Dia setuju. Di Baghdad, Georgy mendapat penghormatan dan perlakuan yang baik dari para ilmuwan dan menerima gaji setiap bulan disertai 300 dinar dari Khalifah, sebagai bentuk penghormatan.

Di samping itu, Khalifah berikutnya, yaitu Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun juga merupakan pemimpin yang mementingkan ilmu pengetahuan, termasuk agama dan filsafat. Di bawah kepemimpinan para Khalifah Abbasiyah ini, ilmu pengetahuan yang hampir lenyap dari muka bumi kembali terpelihara. Literatur-literatur kuno seperti buku ketatanegaraan karya Plato, buku Hitung dari Euclydes, dan beberapa buku astronomi dari Ptolemeus dipelajari, diterjemahkan dan dikomentari oleh para ‘'Ulama (baca : pemikir) Islam zaman itu. Bahkan di antara buku-buku yang hingga saat ini tidak ditemukan lagi karya aslinya (autentik), hanya dapat diketahui dari hasil terjemahan ke dalam bahasa Arab tersebut. Dalam peradaban, zaman yang berlangsung mulai awal abad ke-8 M ini kemudian dikenal sebagai “Zaman terjemah”.

Di masa itu, para tokoh agama lain cenderung melarang penganutnya untuk membaca buku-buku tentang kayakinan agama tertentu ─agar keyakinan penganut agamanya tidak rusak. Mereka bahkan membuat sejumlah daftar mengenai buku-buku yang “berbahaya” dan dilarang untuk dibaca oleh penganut mereka ─karena berisi materi tentang kayakinan agama lain. Sedangkan Khalifah justru memerintahkan untuk menerjemahkan buku-buku dari berbagai agama dan mazhab yang ada pada masa itu agar dapat diketahui, dibaca, diperiksa, dan dibahas oleh seluruh pemikir dari kalangan Muslimin. Dengan kata lain, kebudayaan-kebudayaan yang hampir  lenyap itu kembali eksis dan “Rennaissance”  melalui Islam, tepatnya  600 tahun lebih dulu dari masa Rennissance Eropa Barat yang lahir pada abad ke-15 itu.

Setelah literatur kuno karya Plato, Aristoteles, Euclydes, Ptolemeus, dan lainnya ini dibaca dan ditelaah, para ‘Ulama tersebut kemudian membuat komentar dan ikhtisar atas literatur-literatur itu. Selanjutnya mereka mulai menuliskan karyanya masing-masing  dan memperbincangkannya satu persatu dengan pikiran sendiri, dengan lebih orisinil.

Dengan demikian, usailah “zaman terjemah” dan bertransisi ke “zaman penyelidikan”, yaitu meneruskan penyelidikan atau penelitian dari hasil penelitian yang telah ada sebelumnya, sehingga memerlukan pemikiran yang autentik agar dapat menghasilkan manfaat yang luar biasa tidak ternilai bagi manusia.

Pada zaman inilah para filsuf terkemuka hidup, di antaranya Ja’cub bin Ishaq bin Sabrah Al-Kindi (Al-Kindi), ─seorang ahli pengobatan, filsafat, astronomi, hitung, dan musik. Abu Nasr Al-Farabi (Al-Farabi) atau “Guru Kedua” setelah Aristoteles, ─seorang ahli mantik (logika), filsafat, musik dan orang pertama di bumi yang membahas tentang politik-ekonomi. Abu Ali Husein bin Abdullah bin Sina (Ibnu Sina), yang masyhur di Eropa dengan nama Avecienna. Di antara karyanya adalah buku Asy-Syifa ─yang menjadi suatu standar, yaitu suatu ensiklopedia dalam 19 jilid besar yang konon sampai saat ini disimpan dalam bibliotek Oxford University.

Tentunya, masih banyak sosok lain, seperti Ibn Rusyd  dari Andalusia atau dikenal dengan nama Averus oleh Eropa, Ibn Badja atau dikenal dengan nama Avenpace, Ibn Maskawaih ─seorang pedagog yang berjasa, Al-Fachari ─seorang ahli astronomi yang diakui oleh dunia astronomi sampai hari ini,  Abu Al-Nafis dan Ibnu Chajam ─para ahli hitung ternama dalam Al Jabar dan Trigonometri. Mereka semua hanyalah segelintir bukti dari keagungan budaya Islam ─yang pernah sedemikian eksis dalam peradaban manusia.

Ikuti tulisan menarik Velox et Exactus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB