x

Foto: Josh Hild

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 5 Oktober 2022 07:13 WIB

Ombrophobia

Efendy Dzakwaan adalah seorang dosen ilmu kedokteran yang mengajar di kelas genetika. Dia sangat pintar dan memiliki pengalaman yang menakjubkan. Tetapi sayangnya, dia memiliki ombrophobia (phobia terhadap hujan) yang akut. Sampai-sampai dia mengurung diri di dalam rumah, jika keadaan sedang hujan. Apa yang menyebabkan dia jadi ombrophobia? Apa rahasia di balik itu semua?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak pihak yang bertanya, mengapa aku begitu takut dengan hujan. Terlebih lagi cara aku merespon hujan seperti orang mual dan kesetanan. Itu memang betul; aku sangat takut dengan hujan. Karena setiap aku mendengar atau melihat hujan, otakku selalu mengingat kembali sebuah kengerian yang pernah kualami.

Kengerian itu terjadi saat musim hujan, di bulan Oktober tahun lalu yang suram. Tatkala aku sedang menjalani tahun terakhir sebagai mahasiswa kedokteran, dan sedang mengerjakan skripsi. Di saat itulah aku mendapat dosen pembimbing, bernama Efendy Dzakwaan, atau lebih sering kupanggil Pak Efendy.

Pak Efendy adalah seorang dosen mata kuliah genetika, dan memiliki perangai yang khas. Dia pengidap ombrophobia akut, sampai-sampai dia tidak berani beraktivitas keluar setiap kondisi sedang hujan. Beruntung, berkat kemajuan teknologi, kami dapat mengikuti kelas Pak Efendy secara daring, jadi tidak menghambat proses belajar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, dia adalah pribadi yang tertutup. Alhasil tidak banyak orang yang tahu tentang dirinya, selain masih lajang dan phobianya terhadap hujan. Banyak pihak yang menduga, Pak Efendy memiliki sebuah penyakit aneh, yang melarangnya berinteraksi dengan hujan. Walhasil pihak fakultas hanya menjadikan Pak Efendy sebagai dosen pengganti yang memiliki peran kecil. Hal itulah yang membuatnya jadi terasing di mata para mahasiswa.

****

Sampai pada suatu hari dalam keadaan mendung, aku mendatangi rumah Pak Efendy di Jayaprasasti untuk melakukan sesi bimbingan skripsi. Sebab dia menolak datang ke kampus, lantaran kondisi sedang musim hujan. Setibanya di sana, aku mendapati sebuah rumah antik tapi kurang terawat; berukuran sedang; memiliki susunan genteng atap yang asal-asalan dan lemah. 

Kemudian secara sopan, aku mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah beberapa kali. Lalu salamku dibalas oleh suara pria paruh baya yang medok, dari arah jauh kanan dalam rumah. Dia menanyakan identitas dan urusanku, sebelum membukakan pintu rumah.

Di saat itulah, aku disambut oleh serangkaian atmosfer misterius yang membuatku bergidik. Di balik pintu itu, aku melihat bahwa tidak banyak furnitur ataupun hiasan, sehingga isi rumah tampak sepi dan sederhana. Semua jendela dan pintu tertutup secara rapat dan aman. Tetapi seluruh langit rumah tersebut dipenuhi oleh lembaran plastik-plastik yang solid.

Sedangkan di depanku, telah berdiri seorang pria paruh baya yang kurus, pendek, dan berpakaian lusuh. Dia berkumis tipis. Berambut agak bergelombang. Berkulit pucat seperti mayat. Pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Efendy. 

Kemudian dengan ramah tapi datar, Pak Efendy menyambut dan mengundangku masuk ke dalam rumah. Lantas aku segera memenuhi undangannya dengan perasaan diskrepansi – akibat plastik-plastik yang menyelimuti langit rumah – sehingga membangkitkan rasa takut yang tidak bisa dibenarkan oleh penjelasan apapun.

****

Singkat cerita, aku segera melakukan sesi bimbingan skripsi dengan Pak Efendy. Secara perlahan, rasa tidak nyaman dan takut mulai terlupakan, lalu tergantikan oleh kekaguman fantastis akan keterampilan dan penjelasan dari dosenku yang aneh itu. Nadanya dingin tidak bernyawa. Sampai-sampai aku tidak merasakan adanya nafas yang keluar selama dia berbicara. Tetapi aneh, itu juga terasa menenangkan bagiku.

Tidak sedikit dia menyelipkan cerita akan pengalamannya sewaktu masih jadi sukarelawan – di bidang medis – untuk konflik berdarah di Suriah, sekitar delapan tahun yang lalu. Saat itu dia mendapat tugas untuk merawat dan mengobati para warga, termasuk para tentara selama konflik berlangsung. Pak Efendy menggambarkan pengalamannya itu sebagai neraka yang paling horor dan nyata di muka bumi. Karena kondisi yang sangat kacau, sampai-sampai tidak bisa dijelaskan oleh pena.

Tetapi perihal yang paling mengejutkan adalah ketika Pak Efendy bersaksi, bahwa terdapat praktek rekayasa biologis yang dilakukan oleh pihak militer secara rahasia dan ilegal. Praktek itu bertujuan untuk menghidupkan kembali suatu organik yang telah mati; dan biasa dilakukan terhadap para tentara atau orang-orang yang memiliki peran penting. Pak Efendy menceritakannya dengan rinci, tapi aku tidak dapat memahaminya secara sains, karena itu terdengar absurd.

Setelah terbebas dari waktu untuk sesi bimbingan skripsi dan mendengar pengalamannya, aku segera meninggalkan rumah tersebut, selayaknya seorang penyembah petapa pintar. Namun Pak Efendy tidak mengantarku sampai pintu, karena keadaan di luar sedang rinai.

Pak Efendy meminta maaf atas ketidaknyamanannya, lalu menjelaskan bahwa dia memiliki alergi kronis terhadap hujan. Dia juga menambahkan bahwa plastik-plastik yang menyelimuti langit rumah, itu bertujuan untuk menangkal air hujan yang masuk melalui atap rumah yang bobrok. Pak Efendy menjelaskannya dengan penuh kecemasan yang tidak dapat kuanalisa, dan itu dapat kusaksikan langsung dari wajahnya.

****

Beberapa hari telah berlalu, dan hari berganti jadi minggu. Segala keanehan dan ketakutan mulai terlihat. Itu terjadi saat sesi bimbingan skripsi kedua, di mana aku mendatangi rumah Pak Efendy saat hujan deras, dan menyaksikannya secara perlahan mengalami kehilangan pijakan fisik. Wajahnya memucat tidak sehat; suaranya hampa dan tidak jelas; serta tubuhnya terlihat ada kemunduran konstruktif yang intensif. 

Aku terkejut dan panik melihat keadaannya. Namun Pak Efendy berusaha menenangkanku, bahwa itu hanyalah efek samping jika dia berinteraksi dengan hujan. Lantas aku segera menawarkannya untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Tetapi Pak Efendy menolak tawaranku, dan meminta untuk segera memulai sesi bimbingan skripsi. 

Selama sesi itulah, aku merasakan adanya perubahan yang menyedihkan pada diri Pak Efendy. Ekspresi dan konversasinya beralih jadi ironi mengerikan yang menciptakan penolakan halus dalam batin dan logikaku. Banyak pernyataan Pak Efendy yang tidak dapat kumengerti, karena semua terdengar lemah dan rancu, seperti orang yang sedang mengigau. 

Pak Efendy menyadari hal itu, sehingga dia segera mengakhiri sesi dan memintaku kembali datang tulat; karena berdasarkan laporan cuaca di hari itu adalah cerah. Akan tetapi, sebelum aku meninggalkan rumah, Pak Efendy memintaku untuk memeriksa plastik-plastik di langit rumah, demi memastikan bahwa semua dalam keadaan baik. Lantas aku mengikuti perintahnya. Dengan hati-hati aku memeriksa plastik-plastik tersebut dan membenarkannya jika ada yang salah.

Secara keseluruhan, dia menjadi dosenku yang membingungkan dan terkadang mengerikan. Tetapi karena rasa hormat ­serta belas kasihan; aku tidak bisa mengecewakannya; apalagi meninggalkannya begitu saja tanpa acuh.

****

Suasana kepanikan, keganjilan, serta kengerian kian meningkat dan tidak dapat dijelaskan. Itu terjadi saat aku kembali ke rumah Pak Efendy di hari yang telah ditentukan. Ternyata laporan cuaca yang diberitakan meleset. Hari itu terjadi hujan cukup deras di tempat tinggal Pak Efendy. Walhasil aku menyaksikan rumah Pak Efendy menjadi sangat bau tidak sedap; semacam bau dari zat kimia atau obat-obatan herbal yang tidak dapat kupahami. Di sisi lain, aku juga mendapati Pak Efendy yang tampak kacau, sedang meminum obat-obatan aneh tanpa adanya bantuan.

Arkian, Pak Efendy menyadari kehadiranku, lalu dia memintaku dalam kondisi masih murka dan penuh kekecewaan, untuk segera membantunya merapikan semua plastik di langit rumah, sekaligus membersihkan tiap genangan air. Lantas aku segera mengiyakan dan melakukan apa yang dia perintah.

Selama aku merapikan semua plastik di atap rumah dan membersihkan tiap genangan; Pak Efendy bergegas masuk ke kamar tidur dan mengisolasi diri untuk beberapa saat. Aku tidak tahu apa yang terjadi; tapi aku mendengar serangkaian suara lemah – menahan sakit – dari balik pintu kamar tidur itu, sehingga membuatku bergidik dan resah.

Seusai melakukan perintahnya, aku lekas mendatangi dan mengetuk pintu kamar tidur, untuk memberitahu bahwa semua telah beres. Beberapa waktu kemudian, dengan kondisi lemah dan cacat, Pak Efendy keluar dengan pakaian tertutup. Kelihatannya dia sedang menutupi sesuatu; semacam luka aneh di kulitnya; yang tertangkap secara sekilas oleh mataku.

Arkian, kami segera melanjutkan sesi bimbingan skripsi yang tertunda. Namun kali ini terasa lebih parah dan tidak kondusif daripada sebelumnya. Semua revisi yang dilakukan Pak Efendy sangat berantakan, tidak konsisten, dan membingungkan. Parahnya lagi, dia melakukannya dalam keadaan sangat tidak stabil, baik secara fisik maupun mental.

Di akhir sesi, aku kembali menawarkannya untuk diperiksa ke dokter, karena keadaannya sangat memprihatinkan. Namun Pak Efendy merespon tawaranku dengan emosi campuran, antara marah dan takut yang keras. Dia takut dan benci perawatan medis para dokter, yang dinilai kurang kompeten dan hanya menciptakan pengisolasian tidak berguna yang menyiksa.

Lalu aku menawarkan solusi lain, yaitu agar dia pindah ke tempat baru yang lebih aman. Lagi-lagi solusi itu direspon dengan sinis. Dia mengaku sudah beberapa kali pindah rumah kontrak, akibat kondisi ekonomi yang fakir dan tidak stabil. Keadaan kian buruk saat pandemi, sehingga dia terpaksa menetap di sebuah rumah kontrak murah, tapi tidak aman maupun nyaman untuknya. Terlebih lagi keuangannya menurun secara dramatis selama pandemi berlangsung.

Jawaban Pak Efendy tidak memberiku pilihan, selain menaruh belas kasihan tidak berarti. Walaupun begitu, aku juga merasa kondisi ini sudah tidak kondusif. Sebab – di samping rasa belas kasihanku – aku juga tidak ingin skripsiku jadi terhambat. Maka aku melapor ke pihak fakultas, dan mereka berjanji akan mencarikan solusi. Entah itu mengganti dosen pembimbing, atau mereka akan membantu permasalahan Pak Efendy.

****

Lalu di minggu terakhir bulan Oktober, kekacauan sekaligus kengerian datang secara mencengangkan, ketika aku hendak menjalani sesi bimbingan skripsi ketiga. Saat itu laporan cuaca mengumumkan, bahwa akan ada hujan badai di Jayaprasasti, yang berlangsung selama seminggu. Menurutnya, hujan badai itu adalah yang terparah selama satu dekade terakhir.

Awalnya aku tidak mempercayainya, karena laporan cuaca yang diberitakan sering meleset. Namun, semua berubah saat aku melihat kondisi awan yang gelap seperti magrib, padahal masih menjelang tengah hari. Angin bertiup kuat, sampai menggoyangkan beberapa pohon di pinggir jalan. Renjis kilat mulai bermunculan dan mengeluarkan suara guntur yang meneror semesta. Melihat panorama itu, seketika pikiranku terbang ke Pak Efendy, dan menjadi khawatir tanpa sebab. Apalagi pihak fakultas belum memberi kabar apapun kepadaku.

Sesampainya di rumah Pak Efendy, aku mendapatinya dalam keadaan nanar. Sebab plastik-plastik yang menyelimuti langit rumahnya telah rusak akibat dimakan binatang-binatang pengerat, maupun serangga lainnya. Kali ini Pak Efendy benar-benar kehilangan ketenangannya.

Segala upaya amatirku untuk memperbaiki plastik-plastik yang cacat itu tidak membuahkan hasil. Sebab kerusakannya cukup parah dan harus diganti dengan yang baru. Walhasil kemarahan dan ketakutan Pak Efendy membengkak, sehingga menjadi sebuah porsi yang aneh. Dia mulai melontarkan kalimat-kalimat rancu yang berhubungan dengan kematian. 

Aku tidak paham dengan apa yang dia maksud, dan berusaha sekeras mungkin untuk menenangkannya, sebelum aku memutuskan untuk pergi mencari plastik pengganti. Saat aku bergegas pamit untuk pergi mencarinya, Pak Efendy menyempatkan diri untuk menulis di atas selembar kertas. Aku tidak tahu apa yang dia tulis, tapi itu terkesan sangat penting dan emosional.

****

Aku telah menelusuri tiap toko yang ada di dekat rumah Pak Efendy, tapi aku gagal mendapatkannya. Stok yang kucari telah habis ataupun belum tersedia. Alhasil aku segera memutar otak; dan mendapatkan ide, untuk membeli lakban tahan air demi menyegel kecacatan pada plastik-plastik tersebut. 

Akhirnya aku berhasil mendapat lakban tersebut di sebuah toko alat perkakas, tapi jaraknya lumayan jauh dari rumah Pak Efendy. Setelah membeli dengan jumlah yang cukup banyak, seketika hujan turun sangat dahsyat; sampai-sampai merusak jarak pandangku terhadap lingkungan sekitar. Bahkan angin bertiup sangat bengis, sampai merobohkan beberapa motor yang terparkir di pinggir jalan.

Sontak aku jadi panik dan bergegas menerjang murka hujan, menghiraukan segala nasehat orang-orang di sekitarku. Aku melaju dengan cepat – penuh kehati-hatian – menuju ke rumah Pak Efendy dan berdoa agar dia baik-baik saja.

Akan tetapi – teror kelam telah mendahuluiku – sesampai di rumah Pak Efendy, aku menyaksikan kondisi yang sangat kacau. Genteng-genteng atap rumah mulai tersapu dan terlempar tidak keruan, akibat tiupan badai hujan yang dahsyat. Lantas aku segera masuk ke dalam rumah, dan memanggil Pak Efendy. Namun tidak ada balasan; tidak ada suara; hanya ada suara guntur dan air yang mengalir masuk tanpa gangguan ke dalam rumah, melalui langit-langit rumah yang koyak. 

Kemudian aku segera menelusuri tiap sisi rumah, tapi aku masih tidak menemukan Pak Efendy. Sampai akhirnya aku tiba di depan kamar tidur Pak Efendy, karena itu satu-satunya tempat yang belum kukunjungi. Aku lantas mengetuk pintunya beberapa kali. Tetapi masih tidak ada balasan. Kalakian aku berusaha memutar gagang pintu kamar tersebut – yang tidak terkunci – dan mendorongnya. 

Saat itulah hembusan bau tidak sedap yang tidak dapat kumengerti mulai menghembus keluar. Itu seperti percampuran bau amonia, galium, darah, dan beberapa zat lainnya yang tidak dapat kupahami. Sampai-sampai aku merasa mual.

Aku mendorong lebih dalam pintu kamar tersebut, sambil menahan nafas sebisa mungkin. Alhasil aku mendapati sebuah pemandangan yang mengerikan dan melampaui akal sehatku. Pemandangan di dalam sana membuatku bergetar ngeri, yaitu sebuah tubuh manusia yang terbaring dan melebur di atas kasur, akibat terkena air hujan yang mengalir melalui langit rumah yang bobrok. Itu terlihat seperti organik yang disiram oleh cairan asam. Aku tidak bisa dan tidak berani mengatakan apapun demi mendeskripsikannya lebih dari itu.

Di samping tubuh itu, terdapat selembar kertas penuh tulisan tangan yang diolesi secara mengerikan dengan cakaran, yang seolah sedang menyusun kata-kata terakhir secara tergesa-gesa. Aku menyempatkan diri untuk membaca tulisan di dalam kertas itu, sebelum terjatuh pingsan akibat tidak dapat menahan bau, sekaligus kengerian yang ada di depan mataku. Kertas itu bertuliskan;

"Akhirnya… Tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk bertahan hidup. Aku kira kamu sudah tahu akan pengalamanku saat menjadi sukarelawan medis untuk konflik di Suriah. Di mana ada praktek biologis rahasia dan ilegal. Iya… Tubuhku ini adalah hasil rekayasa biologis, pelestarian buatan. Sebab aku sudah mati delapan tahun yang lalu akibat serangan bom."

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB