x

Ilustrasi Anak Indonesia. Foto: Freepik

Iklan

Sri Putri Siregar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 September 2022

Rabu, 12 Oktober 2022 07:55 WIB

Utang, Beban Warisan Anak Cucu Kita?

Alokasi belanja negara cukup besar mengingat kebutuhan prioritas pemerintah saat ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat kurang. Secara bersamaan, pemerintah mengatur komposisi belanja dalam APBN dengan prinsip bahwa setiap kali penambahan kapasitas APBN yang diperoleh dari utang, bila diukur dengan nilai ekonomi, manfaatnya harus lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dan mampu meningkatkan kapasitas ekonomi. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak jarang kita sering mendengar atau membaca selintingan anak dan cucu kita akan menanggung beban utang negara di masa depan. Beberapa ada yang berucap bahwa utang akan terus membengkak dan tak akan ada habisnya. Bagi siapapun yang mendengar atau membaca, hal ini mungkin menjadi menakutkan dan secara instan dapat hanya berfokus pada beban dan beratnya masa depan negeri ini.

Di sisi lain, masih sedikit narasi yang memaparkan alasan mengapa utang besar dan kemana tujuannya, apa target yang ingin dicapai di masa depan dan tentunya apakah  dikelola secara hati-hati.

Apabila melihat struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau sering dikenal dengan APBN, utang adalah salah satu instrumen dari pembiayaan dalam menutup defisit APBN. Defisit terjadi karena kebutuhan belanja negara yang lebih besar daripada pendapatan negara. Untuk itu, diperlukan instrumen pembiayaan dalam memenuhi kebutuhan kekurangan tersebut. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa Besar dan Arah Alokasi Utang 

Alokasi belanja negara cukup besar mengingat kebutuhan prioritas pemerintah saat ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat kurang. Secara bersamaan, Pemerintah mengatur komposisi belanja dalam APBN dengan prinsip bahwa setiap kali penambahan kapasitas APBN yang diperoleh dari utang, bila diukur dengan nilai ekonomi, manfaatnya harus lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dan mampu meningkatkan kapasitas ekonomi. 

Hasil dari alokasi belanja prioritas diakui memang tidak diperoleh secara instan, namun sektor ini dianggap mampu membangun kapasitas negara di masa depan. Berdasarkan berbagai penelitian, investasi di bidang pendidikan dapat menghasilkan return positif 10% dan bahkan lebih di beberapa kondisi dan karakter negara tertentu (Psacharopoulos dkk, 2004). Sementara itu di bidang infrastruktur publik akan menghasilkan return di antara 15-45% (dikutip dari tulisan ‘Investments in Infrastructure Bring High Returns dalam gradingstates.org). Langkah ini sudah dilakukan oleh Pemerintah, sebagaimana dapat dilihat dari struktur APBN selama ini, dimana tren alokasi belanja prioritas seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan perlindungan sosial (perlinsos) selalu meningkat setiap tahunnya (Dapat dilihat pada Grafik 1).

Data Tren Alokasi Belanja Negara

 

Dari grafik tersebut terlihat juga alokasi belanja yang sedikit berbeda di tahun 2020, dimana alokasi infrastruktur sempat menurun (terkontraksi 22,02% yoy) di saat alokasi sektor lain meningkat bahkan cukup drastis dari tahun sebelumnya untuk sektor kesehatan (51,67% yoy) dan perlinsos (61,48% yoy). Hal ini tidak terlepas dari respon Pemerintah dalam memprioritaskan masyarakat yang terdampak Covid-19 di tengah pendapatan yang turun drastis namun belanja yang meningkat signifikan. 

Kebutuhan belanja yang meningkat tajam menyebabkan kenaikan kebutuhan pembiayaan menjadi Rp1.193.293,8 miliar atau naik 196,8 persen dari tahun sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Kebutuhan mendesak di masa pandemi menuntut pemerintah menempuh langkah pelebaran batasan defisit yaitu lebih dari 3% (diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020) yang hampir ditempuh semua negara saat itu.  

Sebelum masa pandemi, masa pandemi (termasuk saat ini), hingga masa mendatang, utang digunakan sebagai alat (bukan tujuan) untuk membiayai defisit APBN, di mana alokasi pembiayaan ini untuk melindungi kepentingan masyarakat banyak yang bersifat mendesak dan tidak bisa ditunda. Dapat dibayangkan ketika dalam masa pandemi, negara berkomitmen tidak akan menambah alokasi pembiayaan merespon pandemi. Hal ini dapat menimbulkan biaya atau risiko yang lebih besar dan ujungnya menimbulkan kerugian sangat besar.



Bagaimana jika Pemerintah tidak berutang

Berbicara anak cucu akan menanggung utang, pertanyaan lainnya mungkin adalah apa yang akan terjadi kalau Pemerintah tidak menempuh langkah berutang. Belanja prioritas Pemerintah termasuk beberapa yang terlihat di grafik 1 kemungkinan turut akan dikurangi atau beberapa mungkin ditiadakan. Beberapa seperti alokasi ke sektor pendidikan misalnya fasilitas kesehatan, gaji tenaga pengajar, beasiswa; ke sektor kesehatan seperti anggaran ke tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, obat-obatan, BPJS; ke perlindungan sosial seperti program keluarga harapan, kartu sembako, BLT Desa, BLT minta goreng, bantuan PKL dan warung, ke subsidi seperti BBM, LPG, Pupuk, subsidi perumahan, listrik; dan ke sektor infrastruktur seperti bangunan, jalan, transportasi, jaringan, irigasi, dan lain lain dikurangi atau ditiadakan.

Pemerintah memberikan alokasi belanja untuk masyarakat tentu dengan alasan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh warga negara. Alokasi perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan, misalnya, diberikan untuk meningkatkan kualitas dan daya beli masyarakat dan akhirnya dapat mendukung pertumbuhan PDB negara. Infrastruktur dibangun untuk mendukung aktivitas ekonomi, mengurangi biaya logistik masyarakat, membangun minat investasi dan tentu ini semua juga berujung meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Dengan demikian, ketika belanja berkurang, maka dalam jangka pendek dan menengah akan berpengaruh kepada penurunan aktivitas ekonomi. Hal ini berujung dapat mengakibatkan PDB menurun, lapangan pekerjaan berkurang dan mengakibatkan pengangguran meningkat, kehidupan sosial terganggu (kriminalitas), dan dan kesenjangan meningkat.

Dengan utang, belanja prioritas Pemerintah yang bersifat mendesak atau tidak dapat ditunda untuk masyarakat dapat terus berjalan. Hal ini akan mampu menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi di masa mendatang dan jika ditunda, justru dikhawatirkan akan menjadikan beban yang lebih besar di masa depan.

Upaya Pemerintah Mengendalikan Utang dan Hasilnya

Dalam mengelola utang sebagai bagian sumber pembiayaan, Pemerintah terus menjaga prinsip dasar kehati-hatian agar tidak menjadi beban besar di kemudian hari. Sampai saat ini, Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang menerapkan batasan ketat utang sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Relaksasi terhadap batasan defisit untuk penanganan Covid-19 pun hanya bersifat sementara dan akan kembali ke batas maksimal 3% mulai tahun 2023 (sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020). Sementara itu, batasan utang 60% terhadap PDB tetap diberlakukan (tidak direlaksasi) sehingga utang tetap terkendali.

Dalam mengelola fiskal agar konsolidatif, Pemerintah juga menjalankan reformasi struktural di bidang fiskal, terbukti dengan lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Kebijakan ini diharapkan dapat menyokong pendapatan yang lebih kokoh dan belanja yang semakin lebih baik (spending better). Bersamaan dengan itu, Pemerintah melakukan strategi pembiayaan, beberapa diantaranya seperti menperdalam pasar keuangan domestik, alokasi pinjaman program secara selektif, mengutamakan pembiayaan dengan cost of fund dan risiko yang rendah dan terkendali, terus melakukan penjajakan pembiayaan kreatif seperti pelibatan pihak swasta, dan strategi pembiayaan lainnya.

Hasilnya, saat ini kebutuhan pembiayaan perlahan menurun. Hal ini terlihat dari pendapatan negara yang surplus dan belanja negara yang on-track (APBN KiTa edisi September 2022). Defisit APBN terhadap PDB selama pandemi berhasil ditekan di bawah target semula. Pada tahun 2020, defisit APBN menjadi 6,1% dimana target APBN sebesar 6,3%, dan pada tahun 2021 menjadi 4,6%, dari target APBN sebesar 5,7%. Adapun target defisit APBN 2022 sesuai Perpres 98/2022 juga menurun yaitu 4,5% (target awal sebesar 4,85% sesuai UU APBN 2022) dan saat ini realisasi defisit APBN berkisar 3.92% (outlook Laporan Semester I 2022). Sesuai UU APBN 2023 yang baru saja disetujui DPR, defisit APBN ditargetkan sebesar 2,85%. 

Kondisi fiskal yang resilient disertai penurunan defisit inipun mendapat apresiasi dari para lembaga pemeringkat kredit Internasional seperti Moodys, S&P, JCR Agency, R&I, dan Fitch. Selama masa pandemi hingga saat ini, posisi rating Indonesia ‘stabil’ atau berada di investment grade, dimana banyak negara pada masa saat ini mengalami penurunan posisi (downgrade).

Kebijakan Pemerintah berutang tidak hanya didasari kondisi dimana belanja Pemerintah yang lebih besar dibanding penerimaan, namun juga untuk menjaga momentum pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Belanja prioritas Pemerintah yang sebagian besar didukung pembiayaan melalui utang cukup besar, namun perlu dilakukan pada periode sekarang dan tidak dapat ditunda, sehingga mampu menjadi multiplier pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Jika belanja produktif itu ditunda, justru dikhawatirkan akan membuat beban yang lebih besar di masa depan. Tentunya, pengelolaan utang juga diupayakan agar terus terkendali disertai pengelolaan fiskal yang akuntabel dan prudent

Untuk itu, menjadi jelas bahwa berbagai langkah dan upaya Pemerintah yang dilakukan ini adalah untuk menuju masyarakat sejahtera dan masa depan yang lebih baik, bukan sebaliknya yaitu memberikan beban untuk anak cucu di masa depan. Tentunya, upaya dan langkah inipun memerlukan kerja sama dan integritas yang tinggi, tidak hanya dari sisi pemerintah, namun semua pihak termasuk swasta, pelaku usaha, dan seluruh lapisan masyarakat.

Ikuti tulisan menarik Sri Putri Siregar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB