x

Iklan

Mochamad Bayu Ari Sasmita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Oktober 2022

Senin, 31 Oktober 2022 06:01 WIB

Menara

“Apa yang telah kami perbuat sehingga kami harus menerima malapetaka seperti itu?”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit.” Maka, mulailah mereka membangun kota. Mereka membuat batu bata dengan tanah yang mereka gali di sekitar sana: mencetaknya, mengeringkannya, kemudian membakarnya di malam hari, lalu mereka susun batu bata itu satu per satu. Pertama mereka mengungguli tinggi pohon kelapa, kemudian gunung, dan lalu menembus awan. Terakhir, mereka berencana untuk menggapai langit yang tak pernah tergapai oleh umat-umat sebelum mereka.

Menara itu telah menjadi kota itu sendiri. Setiap warga kota tinggal di dalamnya, di dalam ruangan-ruangan terpisah, semacam sebuah apartemen raksasa. Mereka membangun rumah tangga di sana, bekerja untuk memproduksi barang dan jasa dari dalam menara, dan sebagainya. Kehidupan mereka maju dan tidak ada orang kelaparan di sana. Tidak ada penduduk di dalam menara yang menjadi pengemis atau pencuri. Pejabatnya juga tidak ada yang korup. Sebuah kota yang ideal, sebuah kota yang diimpikan oleh kebanyakan manusia. Kehidupan mereka berpusat pada menara itu.

Setiap orang yang masuk akan diperiksa dengan ketat oleh penjaga gerbang di dasar menara. Tidak boleh ada benda berbahan metal. Setiap benda dengan bahan seperti itu akan ditahan di luar sampai urusan mereka di dalam selesai. Tidak ada kompromi. Penjaga-penjaga itu tidak bisa disuap sebagaimana penjaga-penjaga di masa umat-umat terdahulu. Mereka tidak ingin insiden pengeboman menara atau gedung tinggi atau semacamnya dari masa umat terdahulu terluang kembali hari ini. Hanya orang bodoh saja—yang lebih bodoh dari keledai—yang enggan belajar dari sejarah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka dapat melihat langit sudah begitu dekat dengan mereka dari jendela-jendela kaca yang terpasang pada setiap sisi menara. Mereka terlena oleh pencapaian itu dan mengadakan pesta untuk merayakan keberhasilan mereka sejauh ini. Pekerjaan membangun menara agar benar-benar menembus langit berhenti untuk sementara waktu. Anggur-anggur dihidangkan, mereka mabuk sampai lupa diri. Pertama mereka meminum anggur sampai mabuk, kemudian mereka memperkosa para perempuan yang bukan istri mereka, dan membunuh sesamanya jika berselisih. Pesta berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.

Beberapa di antara mereka, yang dalam kondisi mabuk berat, mengeluarkan sebuah patung anak sapi yang terbuat dari emas murni. Dia mengajak yang lain untuk mengelilingnya, juga memujinya sebagaimana mereka memuji Tuhan. Mereka berkata bahwa patung anak sapi emas itulah yang membantu mereka selama ini. Saat itulah, pria tua berjanggut putih kedatangan tamu dua pemuda tampan.

Tapi jangan kalian kira bahwa pria tua berjanggut putih ini hidup sebagaimana orang-orang lain yang berada di dalam menara. Orang-orang di dalam menara telah memenjarakannya. Dia dipenjara seumur hidup di ruang bawah tanah menara. Ruangan itu dijaga ketat, hanya beberapa orang yang boleh menjenguknya. Ada pun kesalahannya adalah dia menyerukan untuk menghentikan proyek pembangunan menara itu. Baginya, menurut wangsit yang dia terima, Tuhan akan murka karena manusia hendak merangkak naik ke atas. Tempat manusia adalah di bawah, itu kodrat mereka dan tidak boleh dilanggar untuk selama-lamanya. Tapi mereka menganggap pria tua berjanggut putih itu sebagai tua bangka yang berisik, bagian dari umat-umat terdahulu yang bodoh dan tidak waras. Dia kemudian dikurung di penjara bawah tanah setelah segenap orang di menara bersepakat di pengadilan publik. Di dalam sana, makan dan minum terjamin, meskipun kualitasnya di bawah yang dimakan oleh orang-orang di dalam menara. Satu-satunya yang direnggut darinya adalah kebebasan, terutama kebebasan untuk menyuarakan kebenaran dari Tuhan.

Ketika dia meringkuk di sudut penjara bawah tanah, dua pemuda tampan datang kepadanya. Pria tua berjanggut putih terkejut dan segera bangkit. Dia menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dari dua pemuda tersebut.

“Kamu pastinya bingung dengan cara kami masuk ke sini dan melewati penjaga yang tidak bisa disuap itu. Tapi tidak perlu terlalu memusingkan hal semacam itu,” kata salah satu di antara mereka. “Kami adalah dua utusan Tuhan yang dikirim kepadamu untuk memberi peringatan akan datangnya malapetaka.”

“Malapetaka?” tanya pria tua berjanggut putih.

“Sebuah angin sedang dalam perjalanan menuju menara ini. Dia, atas izin Tuhan Yang Mahakuasa, akan merobohkan menara ini. Menghancurkannya menjadi puing-puing. Menerbangkan serpihan-serpihannya seumpama bulu yang tertiup angin.”

“Apa yang telah kami perbuat sehingga kami harus menerima malapetaka seperti itu?”

“Membangun menara. Kamu sudah tahu akan hal itu dan karena itulah kamu berada di sini. Kalian hendak mencapai langit. Itu adalaha perbuatan angkuh. Kalian hendak menyibak sesuatu yang seharusnya tidak kalian sibak. Itu adalah perbuatan angkuh. Ditambah kalian telah melakukan tiga dosa besar: mabuk, memperkosa, dan membunuh. Terakhir, mereka menyembah sesuatu selain Tuhan padahal sesuatu itu tidak dapat mendatangkan manfaat atau bencana. Hanya pertobatan yang sanggup menghapus segenap dosa tersebut. Tapi bertobat adalah sesuatu yang begitu berat untuk kalian lakukan karena kalian begitu mencintai kehidupan padahal ia, jika saja kalian tahu yang sejatinya, tidak lebih dari tumpukan kotoran ternak di kandang-kandang ternak kalian. Begitulah gambaran dunia sesungguhnya jika kalian sedikit saja berpikir.”

“Tidak ada cara lain?”

Kedua pemuda tampan itu menggelengkan kepala.

“Bagaimana jika hanya ada lima puluh orang di antara kami yang bersedia untuk bertobat?”

Sebuah pesan masuk ke pikiran kedua pemuda tampan itu. Salah satu dari mereka langsung meneruskan pesan itu kepada pria tua berjanggut putih.

“Jika ada lima puluh orang saja di antara kalian yang bersedia untuk bertobat, Tuhan akan mengampuni kalian.”

“Bagaimana kalau hanya sepuluh orang saja yang bertobat?”

Sebuah pesan kembali masuk ke pikiran kedua pemuda tampan itu. Salah satu dari mereka langsung meneruskan pesan itu kepada pria tua berjanggut putih.

“Jika ada sepuluh orang saja di antara kalian bersedia bertobat, Tuhan akan mengampuni kalian.”

Kemudian, pria tua berjanggut putih kembali menawar, “Bagaimana kalau hanya ada lima orang saja yang bertobat?”

Sekali lagi, sebuah pesan masuk ke pikiran kedua pemuda tampan itu. Salah satu dari mereka langsung meneruskan pesan itu kepada pria tua berjanggut putih.

“Jika ada lima orang saja di antara kalian yang bersedia memohon ampun dengan sebenar-benarnya permohonan ampun kepada Tuhan, Dia Yang Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang akan memberikan ampunan kepada kalian. Dan janganlah kamu, pria tua berjanggut putih, menawar lagi karena ini adalah penawaran terakhir yang bisa Kami berikan kepada kamu.”

“Aku akan pergi kepada mereka dan menyampaikan hal ini. Tapi apakah kalian berdua bersedia membantuku?”

“Itu memang sudah diatur. Kami akan membawamu ke permukaan dan selebihnya adalah urusanmu. Jika sampai senja tiba tidak ada lima orang di antara mereka yang bersedia bertobat, maka segeralah pergi meninggalkan menara. Pergilah ke tempat-tempat orang yang taat dan bergabunglah bersama mereka. Dengan begitu, kamu akan menjadi golongan orang-orang yang selamat di dunia.”

Kemudian kedua pemuda tampan itu mencengkeram tangan pria tua berjanggut putih, masing-masing di kiri dan kanan. Sebelum pria tua berjanggut putih berkedip, mereka sudah berada di tengah-tengah kerumunan orang yang berpesta. Kedua pemuda tampan itu lenyap dari pandangan dan tinggallah pria tua berjanggut putih seorang diri di tengah-tengah orang-orang yang ingkar kepada Tuhannya. Tanpa menunggu lama, dia segera serukan peringatan akan datangnya bahaya tersebut dan cara untuk menangkalnya. Tapi Tuhan memberi petunjuk kepada sesiapa yang Dia kehendaki. Tidak satu pun di antara mereka yang mendengar. Mereka dimabukkan oleh anggur, musik, dan perempuan. Seruan pria tua berjanggut putih tidak mencapai telinga mereka, apalagi hati mereka. Tidak ada waktu lagi. Ketika pria tua berjanggut putih menengok ke sebuah jendela, dia menyaksikan matahari telah condong ke barat, langit yang tadi berwarna kebiruan kini menjadi oranye gelap. Dia telah menjalankan tugasnya, menyerukan peringatan. Ada pun jika seruan itu tidak didengar, itu bukanlah tanggung jawabnya lagi. Maka, segeralah dia menuruni menara itu. Tidak perlu waktu lama karena dia menggunakan elevator untuk sampai ke dasar. Tidak ada penjaga di sana. Penjaga-penjaga itu juga terlena oleh pesta. Dia keluar dari pintu gerbang dan mendapati dua pemuda tampan tadi berdiri menunggunya. Mereka perlu menyampaikan satu pesan terakhir.

“Kamu, pria tua berjanggut putih, hanya perlu pergi ke barat. Jangan pernah menoleh ke belakang, apa pun yang terjadi. Kamu hanya perlu menaati pesan ini. Semoga kamu mengingat pesan ini sehingga kamu termasuk golongan orang-orang yang selamat.”

“Aku mendengar dan menaatinya.”

Pergilah pria tua berjanggut putih dan lenyaplah kedua pemuda tampan tadi hingga tak bersisa. Selama pria tua berjanggut putih berjalan ke barat, dia mendengar lolongan minta tolong. Air matanya menetes. Dia merasa kasihan. Dia begitu ingin kembali dan menyelamatkan siapa pun yang masih dapat dia tolong. Tapi Tuhan menyelamatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya dan menghancurkan siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Pria tua berjanggut putih tidak tahan. Bahkan, jika mereka adalah orang-orang yang telah memenjarakannya, dia tidak bisa membiarkan mereka binasa begitu saja. Pasti, pikirnya, pasti ada cara lain untuk menyelematakan mereka. Dia berhenti berjalan, kemudian berbalik untuk menyaksikan kehancuran menara yang hampir mencapai langit itu. Menara itu, perlahan hancur mulai dari atas. Puing-puing jatuh seperti air hujan yang turun dari awan. Angin yang entah datang dari mana bertiup kencang menghantam menara itu dan merobohkannya. Pria tua berjanggut putih menangis melihat kehancuran menara itu, juga ketika mendengar lolongan memilukan dari orang-orang di dalam menara yang begitu keras dan mengibakan. Hingga kemudian sebongkah dinding dari menara itu kemudian dibawa angin untuk menghantamnya sampai dia terpental dan kemudian tak sadarkan diri untuk selama-lamanya. Dua pemuda tampan tadi masih berada di antara bumi dan langit untuk menyaksikan peristiwa itu. Setelah nyawa pria tua berjanggut putih itu ditarik oleh seorang di antara kaum mereka, kedua pemuda tampan itu naik ke langit untuk mengabarkan segala yang telah mereka lihat. Begitu sampai di hadapan-Nya, Dia berpesan kepada kedua utusan itu: “Aku akan mencantumkan kisah ini di dalam kitab suci berikutnya.”

Mojokerto, 28 Mei—31 Agustus 2022

Ikuti tulisan menarik Mochamad Bayu Ari Sasmita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler