x

Ilustrasi Tertawa. Karya Gerhard dari Pixabay.com

Iklan

Mochamad Bayu Ari Sasmita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Oktober 2022

Kamis, 3 November 2022 19:38 WIB

Perihal Tertawa

Ketika mendengar kata-kata pemimpin apel mengenang Bung Besar tadi, hampir saja aku tertawa. Segera kukusai diriku ketika melihat seorang petugas kepolisian di bawah pohon tajam mengawasi aku. Kalau telanjur tertawa, mungkin sekarang batok kepalaku sudah berlubang, Kebebasan memang hampir tidak ada (lagi) di sini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika mendengar kata-kata pemimpin apel pagi, hampir saja aku tertawa. Segera kukusai diriku ketika melihat seorang petugas kepolisian yang berdiri di bawah pohon dengan mata tajamnya mengawasi diriku dan sekian orang yang hadir di lapangan kantor pemerintahan untuk mengenang kembali Bung Besar. Kalau telanjur tertawa tadi, mungkin sekarang batok kepalaku sudah berlubang, otakku akan menjadi santapan para gagak, dan keluargaku masuk daftar orang yang diawasi dan kehilangan kebebasan mereka, meskipun kebebasan hampir tidak ada (lagi) di sini.

Kami, para pegawai kantor pemerintahan, mengikuti apel pagi untuk memperingati seratus tahun kematian Bung Besar. Beliau adalah pendiri negeri ini, pemersatu, pahlawan, dan entah apa lagi julukan mengagumkan yang disematkan kepadanya oleh para pemujanya. Semua orang harus menghormatinya tanpa terkecuali. Membicarakan hal-hal yang buruk tentang dirinya, walau sedikit, hanya akan membawamu ke jeruji besi. Itu masih tergolong ringan. Yang paling buruk, mereka akan melubangi batok kepalamu. Atau menggantung lehermu di alun-alun untuk menjadi contoh bagi warga negara lain bahwa tindakan-tindakan yang melecehkan negara (Bung Besar pernah berkata l’état c’est moi dalam salah satu pidatonya) akan mendapatkan hukuman berat tanpa perlu diadili terlebih dahulu.

Mereka melarang kami untuk tertawa atau sekadar menunjukkan ekspresi bahagia selama sepuluh hari ke depan sejak hari ini. Semua orang harus bersimpati, orang-orang harus terlihat murung dan sedih sebagai wujud rasa kehilangan terhadap Bung Besar. Sepuluh hari penuh tanpa diperbolehkan tertawa, “Pemerintahan otoriter juga ada batasnya,” kataku dalam hati. Itu adalah hal yang baru saja diterapkan. Pada peringatan-peringatan yang telah lalu, hal semacam itu tidak ada. Pimpinan pusat menganggap bahwa semangat nasionalisme rakyat mulai rapuh dan harus diperkuat lagi. Tidak menunjukkan ekspresi kebahagiaan atau bahkan tertawa untuk memperingati hari kematian Bung Besar merupakan hal yang dianggap penting untuk memperkuat jiwa nasionalisme yang sempat melemah karena pemerintah sebelumnya tampaknya terlalu memanjakan rakyat, tampak kurang tegas sehingga apa pun tuntutan rakyat segera dia kabulkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

***

Apel berakhir pukul delapan. Hampir mati aku berdiri selama satu jam di bawah terik matahari bulan Juli. Matahari sudah begitu terang, udara juga gerah. Aku tidak sedang mencari-cari alasan untuk kemalasanku mengikuti apel semacam itu, tapi matahari benar-benar seperti terasa di dekat ubun-ubun. Bola panas raksasa itu seolah begitu dekat dengan kami, seperti yang pernah diceritakan oleh para pemeluk agama di suatu tempat ketika manusia mengikuti pengadilan terakhir.

Untungnya, sebagai kompensasi, mereka memberikan kami istirahat selama setengah jam. Aku dan dua orang temanku pergi ke kantin untuk melahap sesuatu. Sarapan tadi pagi rasanya telah terbakar oleh cahaya matahari di lapangan tadi. Aku memesan dua potong roti lapis (mungkin ini terdengar sedikit rakus) dan segelas kopi. Kedua temanku juga memesan hal yang sama, tapi salah satu dari mereka yang tidak begitu suka sayur memesan roti lapis dengan telur saja.

“Apa mereka benar-benar akan melakukan itu?” tanyaku membuka pembicaraan, tentu saja aku harus melirik ke segala penjuru terlebih dahulu sebelum bertanya seperti itu kepada mereka. Meragukan keputusan pusat juga merupakan tindakan yang pantas mendapatkan hukuman. Seseorang bertanya karena ada sesuatu yang meragukan dari sesuatu yang diketahui atau dipahaminya.

Kedua temanku saling berpandangan selama beberapa saat. Mereka terlihat gugup ketika bertanya tentang hal itu. Harus kuakui, mereka berdua memang terlalu pengecut. Aku yakin, mereka berdua tidak akan bisa bertahan hidup di negara bebas. Bagi mereka, dapat dilahirkan di negeri seperti negeri kami yang dipayungi hukum super ketat merupakan anugerah terbesar. Mereka akan hidup dengan mudah jika ada kekuatan besar di atas mereka yang menggerakkan setiap gerak mereka seperti pertunjukkan boneka di pasar malam.

“Sebaiknya kita tidak membicarakannya.”

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya bertanya,” kataku.

“Bertanya artinya meragukan. Keraguan dilarang di sini. Kau yang paling tahu tentang hal itu. Kau lulus tes dengan predikat peserta terbaik.”

“Hei, ayolah. Coba pikirkan ini baik-baik.” Aku mencondongkan kepalaku kepada mereka dan mereka berdua juga melakukan hal yang sama. “Pikirkan baik-baik, pernahkah kalian tidak tertawa sekali pun selama sehari?”

Keduanya saling berpandangan lagi, kemudian menatap kepadaku sambil menggelengkan kepala masing-masing. Cara mereka menggelengkan kepala benar-benar seperti telah diatur dalam sebuah sistem dan sistem itu terpusat pada markas besar tentara nasional.

Namun, aku cukup mengerti dengan ketakutan mereka. Ayah masing-masing dari mereka pernah dieksekusi di alun-alun karena menulis sesuatu yang berbahaya bagi kedaulatan negara. Ayah masing-masing dari mereka telah menyelundupkan sebuah naskah esai ke luar negeri dan diterbitkan oleh sebuah media paling liberal di negeri yang paling liberal pula. Esai itu menceritakan kehidupan di dalam negeri ini yang penduduknya tidak bisa memiliki kehendak sendiri. Mereka yang lahir di negeri ini harus bersedia menyerahkan kehendaknya demi bisa terus menghirup udara “bebas”, tulis mereka berdua.

Aku pernah membaca esai itu dengan perangkat komputerku di rumah yang kuatur agar bisa mengakses tentang hal-hal dari luar; seorang teman yang suka mengotak-atik komputer membantuku dalam hal ini. Artikel itu bisa dibaca secara gratis. Itu adalah tindakan yang cukup berisiko. Jika polisi siber mengetahui jejak digitalku, mereka pasti sudah mengetuk pintu rumahku dan menyeretku ke alun-alun untuk menggantung leherku di sana. Kemungkinan terburuk berikutnya, istri dan putriku mungkin akan dikirim ke kamp kerja paksa atau sekadar mendapatkan cap sebagai orang yang diawasi dan harus melapor sekali setiap dua puluh empat jam ke pos polisi terdekat.

“Sepuluh hari tanpa tertawa adalah sesuatu yang menggelikan,” lanjutku. “Apa kalian yakin bahwa mereka juga tidak tertawa selama sepuluh hari? Jangan-jangan ….”

“Sudahlah, ayo cepat makan. Waktu kita tidak banyak,” kata salah satu dari mereka, keringat menetes dari keningnya. Itu bukan keringat karena terkena cahaya matahari dari tempat apel pagi tadi. Aku yakin dia telah menyekanya sesaat setelah apel selesai tadi.

Kantor selesai pukul tiga sore. Untungnya, negeri ini masih menerapkan kerja delapan jam sehari. Setidaknya, itu hal yang patut disyukuri dari negeri ini, meskipun terlalu banyak hal yang harus dikeluhkan.

***

Seusai bekerja, aku tidak pernah pergi keluyuran, terlebih setelah aku menikah. Tidak ada yang lebih menggembirakan daripada bertemu istri dan anak perempuanku yang masih berusia tujuh tahun, dia baru saja masuk sekolah dasar. Aku selalu menolak setiap tawaran dari rekan-rekanku untuk nongkrong di kafe atau pergi ke bioskop untuk menikmati sisa hari setelah bekerja keras; tidak ada film yang cukup bagus karena saking banyaknya sensor di generi ini. Kupikir, semua itu merupakan hal-hal yang dilakukan oleh para bujangan, atau paling tidak dilakukan oleh mereka yang tidak bahagia dengan pernikahannya, tidak menyukai rumah yang menjadi tempat tinggalnya. Aku berbeda dengan mereka dari segala aspek. Aku begitu bahagia dengan pernikahanku dengan istriku.

Namun, untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun pernikahanku, aku tidak bahagia ketika pulang ke rumah. Istri dan putriku terlihat lesu. Ruangan juga terkesan muram. Putriku sedang duduk di lantai sambil melukis wajah Bung Besar yang dia contoh dari buku pelajarannya. Mungkin itu tugas sekolah. Tidak seperti biasanya, dia tidak datang kepadaku dan berteriak, “Ayah!” dan kemudian merangkulku dan kemudian minta gendong. Sementara itu, istriku mendengarkan radio yang memutar lagu-lagu memilukan, lagu-lagu nestapa tentang pahlawan yang gugur di medan perang. Aku tidak suka suasana semacam itu, juga lagu-lagu nestapa yang didengarkan istriku sambil sesekali menyeka air matanya dengan tisu.

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

“Sekarang peringatan kematian Bung Besar,” jawab istriku. Dia tidak beranjak sama sekali dari tempatnya. Radio masih memutar lagu-lagu nestapa. Ingin sekali aku membanting radio itu sehingga berhenti memperdengarkan lagu-lagu nestapa itu untuk selama-lamanya.

Aku tersenyum, tapi istriku langsung bereaksi. Dia melotot kepadaku. Tentu, itu bukan pertama kalinya dia melotot kepadaku.

“Itu tidak sopan,” katanya dengan geram.

“Aku hanya tersenyum. Lagi pula, ini di dalam rumah, rumahku sendiri. Semua orang boleh melakukan apa pun di rumahnya sendiri.”

“Tidak peduli tempatmu berada, tetap saja itu tidak sopan. Hormatilah Bung Besar!”

“Persetan.”

“Jaga ucapanmu. Atau mereka akan menjemputmu.”

“Mereka? Sudahlah. Aku sangat lapar sekarang.”

Istriku kemudian beranjak untuk menyiapkan makanan untukku. Belum waktunya makan, tapi menahan tawa rupanya perlu tenaga yang lebih besar. Di kantor, aku sering saling lempar lelucon dengan beberapa orang di kantor. Kemudian aku beralih kepada putriku.

“Apa yang kaulukis?” tanyaku kepada putriku. “Biar ayah melihatnya.”

“Bung Besar.”

“Bagus sekali.” Aku yakin, putriku cukup berbakat untuk melukis. Kalau perlu, aku akan mendorongnya untuk terus melukis dan menyuruhnya membuat pameran-pamerannya sendiri suatu hari nanti. Sebuah pameran yang menampilkan lukisan yang keluar dari hatinya, bukan berdasar kepatuhan dan puja-puji terhadap pemimpin dan negara.

Beberapa saat kemudian, istriku memanggilku. Makanan telah siap di meja, aku beranjak dari lantai untuk duduk di depan meja makan. Istriku duduk di seberangku. Dia tidak ikut makan, mungkin masih kenyang.

Ketika aku menyantap makananku, kuceritakan kepada mereka berdua tentang kedua sahabatku yang ketakutan. Aku hampir tertawa ketika bercerita. Tapi, begitu menyadari bahwa aku sedang berada di rumah, aku biarkan diriku tertawa. Tertawa selepas-lepasnya. Hahahahahaha. Mungkin, itu adalah akumulasi tawa yang kutahan seharian tadi.

Istriku ketakutan mendengar tawaku, dia segera menutup telinganya. Putriku melakukan hal yang sama, dia bahkan juga menangis sejadi-jadinya seolah tawaku adalah tawa raksasa yang hendak memakan seorang gadis cilik seperti dalam cerita dongeng.

“Mengapa kau menangis, Cilik?” tanyaku.

“Kau sadar apa yang telah kaulakukan?” tanya istriku.

Setelah mendengar pertanyaan istriku, aku tidak sadarkan diri lagi. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah ruangan putih yang tampak tanpa pintu dan jendela. Tangan dan kakiku terikat. Kemudian, sebuah pengumuman yang didahului nada riang yang membuatku tertawa terdengar. Pengumuman itu dibacakan oleh suara lembut seorang perempuan. Pengumuman itu berisi tentang tanggal, tempat, dan cara eksekusiku. Tidak lupa, suara itu juga menjelaskan tentang aturan yang telah kulanggar. Entah mengapa, aku kemudian tertawa setelah pengumaman itu berakhir dan tidak ada suara lagi di sekitarku.

Aku tidak ingin kalah dari mereka. Kudengar, di masa lalu, ada seseorang yang tertawa sampai meninggal dunia. Kuharap aku bisa seperti dia. Jika itu berhasil, mereka tidak akan pernah bisa mengeksekusiku. Dengan demikian, aku tidak pernah takluk dari mereka. Itu akan menjadi kemenangan besar, sebuah kemenangan manis yang layak ditulis dalam buku sejarah.

Mojokerto, 16 Desember 2021—2 November 2022

Ikuti tulisan menarik Mochamad Bayu Ari Sasmita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu