x

Sumber ilustrasi: shutterstock.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 2 November 2022 13:11 WIB

Pria yang Berciuman seperti Suaminya

Itu jauh lebih daripada yang dia harapkan ketika akhirnya terjadi, tadi malam setelah rapat usai. Para bos telah pulang, staf yang lebih muda menghilang untuk kencan dan pesta di bar. Jadi tinggal mereka berdua, berdiri di tengah dinginnya Lembang. Dingin yang menusuk tulang bahkan tanpa belaian angin. Tubuhnya hangat, itulah masalahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Itu jauh lebih daripada yang dia harapkan ketika akhirnya terjadi, tadi malam setelah rapat usai.

Para bos telah pulang, staf yang lebih muda menghilang untuk kencan dan pesta di bar. Jadi tinggal mereka berdua, berdiri di tengah dinginnya Lembang. Dingin yang menusuk tulang bahkan tanpa belaian angin. Tubuhnya hangat, itulah masalahnya.

Tapi, tentu saja, mereka telah memabngun situasi ini selama berminggu-minggu sebelumnya. Argumen tentang Ceng Li Him versus Genefarma, senyum ketika bos mulai ribut, janji untuk menghindari minuman pasca-kerja setelah malam itu mereka terlalu banyak menghabiskan gin tonik. Lalu dia dengan lembut dan hati-hati meletakkan tangan di pahanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pikiran pertamanya saat bibir mereka bertemu adalah bahwa dia mencium seperti Erwin. Awalnya, pikiran itu membuatnya senang: Bagaimanapun, Erwin adalah pencium yang handal. Namun sekarang dia merasa kecewa: betapa sia-sianya mencium seseorang yang bukan suaminya, padahal rasanya sama saja.

Namun, pada saat itu, yang dia rasakan hanya membuat ciuman terlarang tampak anehnya benar, tak berdosa, seolah-olah, dalam arti halus yang tentang dia sebagai seperti dan tidak seperti pasangannya.

Dia bukan bayangan cermin Erwin, meskipun tubuhnya entah bagaimana mengingatnya: lengan yang kokoh, dada melebar, kaki pensil, dan lidah yang bergerak dengan sendirinya seperti ular kobra yang terpesona bunyi seruling. Begitu yang dia rasa dengan mata terpejam, telapak tangannya menempel di rahang. Hanya baunya yang berbeda: keringat masam dan ujung jari berbau apek tembakau.

"Dia mirip kamu, hanya beda suku—dan seleranya lebih bgus,"katanya menggoda Erwin, setelah bekerja shift pertama bersamanya di Menara Athena, lima bulan yang lalu. Suaminya menaikkan volume sound system yang mengalunkan rilis lagu band indie terbaru sebagai tanggapan, goresan luka tertoreh bersama senyumnya.

Tapi ternyata lebih dari itu. Dengan cepat, tentu saja, dia mulai mengisi kekosongan—bukan dalam diri Erwin, tetapi dalam dirinya dengan Erwin. Bukan potongan-potongan yang benar-benar dia sadari telah hilang, hanya kesepian kecil yang mendalam ketika sebuah lukisan membuat hatinya berdebar dan dia hanya akan mengatakan "Mmm," atau lagu jazz membuatnya ingin berdansa dengan seseorang yang menyukai lagu jazz atau tarian.

Apakah itu membuatnya merasa kurang setia bahwa dia berciuman seperti Erwin? Pikiran itu menusuknya sekarang saat dia duduk di Tahu Sumedang Haji Ateng. Segelas yoghurt kejunya masih tinggal setengah, kabut gin tonik telah menipis.

Dia mengaduk kopinya, menunggu rasa bersalah datang, namun sudah sadar bahwa itu membuatnya berdiri. Masalahnya adalah, semuanya menjadi sangat masuk akal.

Tidak ada pertanyaan untuk dijawab. Sabtu ini dia akan kembali ke kehidupan baru yang lama di Jakarta, menjawab penawaran melalui telepon dari mantan bos yang akan menjadikannya manajer kali ini.

Dan dia dan Erwin akan menghadiri acara reuni lainnya yang diselenggarakan teman-temannya untuk hari Jumat di sebuah bar di Kemang.

Dia bisa melihatnya sekarang bagaimana semuanya akan berlangsung: sindir menyindir satire politik yang lucu, senyum sembunyi-sembunyi ketika Erwin tak meilhat, janji untuk tetap berhubungan yang tidak diharapkan oleh keduanya.

Ke depannya, kejadian semalam tidak akan menjadi lebih membara, hanya akan meredup: kunang-kunang berkelap-kelip di hutan kehidupan normal saat mereka berbaur, menggoda, berpapasan satu sama lain dalam perjalanan ke toilet atau bar.

Dia dan Erwin akan mengobrol, tertawa, dan minum secara proporsional, sebelum pulang pada saat yang tepat: kereta komuter, bukan bus malam, sepanjang perjalanan pulang.

Dan ini tidak akan menjadi akhir yang tidak bahagia, katanya pada dirinya sendiri. Karena dia sangat mabuk. Mereka sudah cukup lama mengenalnya, cukup lama untuk mengenalinya. Dan dia tak lagi khawatir seperti dulu. Dia mencintai Erwin sepenuhnya dan bahagia. Dari awal mereka berkencan hingga delapan tahun terakhir. Dia tahu dia akan selalu begitu, dengan perasaan tak terhindarkan yang sama persis dengan ciuman yang menghanyutkan tadi malam.

Jadi perasaan ini—apakah cinta atau sesuatu yang lain seperti itu—untuk pria yang mencium seperti suaminya, harus  berasal dari tempat yang berbeda di dalam dirinya.

Dari  suatu tempat yang dalam dan kehausan, tetapi di luar jangkauannya.

 

Bandung, 2 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler