x

Bapak Muaral: Penyandang difabel yang bekerja sebagai penjahit

Iklan

Sofiatul Iftitah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2022

Jumat, 18 November 2022 06:47 WIB

Menunggu Pemerintah Kabupaten Jember dalam Mendukung Usaha Mandiri Difabel

Bapak Muaral dan Ibu Sugianti adalah penyandang tuna daksa yang memiliki usaha jahit mandiri di Jember. Dalam mengembangkan usaha mandiri tersebut, mereka menghadapi keterbatasan modal. “Sing jelas kalau bantuan modal enggak ada, cuma di-survei terus,” kata Bapak Muaral.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Difabel merupakan sebutan bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau psikis sehingga mereka memiliki kemampuan dan cara berbeda dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Keterbatasan itu kian terbatas pula peluang kerja yang dapat mereka ambil. Namun, bukan berarti para penyandang difabel tidak bisa mandiri. Seperti sepasang suami-isteri yang kami temui di Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Bapak Muaral dan Ibu Sugianti, misalnya, mereka penyandang tunadaksa tapi mandiri secara ekonomi.

Bapak Muaral dan Ibu Sugianti adalah penjahit. Mereka membuka usaha mandiri dengan mengandalkan keahlian yang dimiliki. Usaha jahit tersebut sudah dirintis sejak 2013. Biasanya mereka menerima pesanan mulai dari pakaian perorangan, seragam pengajian, hingga seragam sekolah. Pelanggan mereka juga cukup luas.

Usaha mereka tidak hanya dikenal di wilayah Ambulu, namun sudah sampai ke luar pulau Jawa, seperti Bali. Hal ini tak lepas dari bantuan teman-teman sesama penyandang difabel di komunitas Perpenca yang turut andil dalam mempromosikan usaha jahit ini. Usaha ini mereka kembangkan hanya dengan modal pribadi, mengandalkan tempat tinggal mereka sebagai tempat produksi dan belum melibatkan orang lain atau karyawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam mengembangkan usaha mandiri tersebut, tentu terdapat kendala yang mereka hadapi, yakni terbatasnya modal. Mereka belum pernah mendapatkan bantuan modal dari pemerintah.  “Sing jelas kalau bantuan modal enggak ada, cuma di-survei terus,” kata Bapak Muaral.

Kendala lain yang mereka hadapi adalah pelayanan listrik. Sebelumnya listrik di rumah mereka berdaya 450 watt. Untuk kebutuhan proses menjahuit, beliau meminta PLN untuk menaikkan dayanya menjadi 1300 watt. Untuk itu, setiap bulannya, mereka mengeluarkan uang pembayaran listrik sekitar Rp 200 ribu untuk 1300 Watt. Namun daya yang mereka dapatkan ternyata hanya 900 Watt sehingga Bapak Muaral mengalami kerugian mengingat pengeluaran tersebut cukup besar. Daya yang didapatkan tidak penuh sehingga jika digunakan untuk menyalakan mesin jahit bersamaan tidak kuat. Padahal listrik menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh Bapak Muaral untuk mengerjakan pesanan pelanggan.

Bapak Muaral telah mendatangi ke kantor PLN untuk menurunkan daya listrik dan memperoleh harga yang sesuai. Namun nihil. “Cuma itu thok masalah listrik itu, karena saya sudah masuk ke PLN Ambulu. Saya gak ditemui oleh Kepala PLN-nya, yang nemuin saya cuma satpamnya terus. Jadi intinya saya tidak minta sumbangan gitu. Karena ini dayanya besar 1300 tapi dibuat mesin hidup semua ditambah lagi mesin geranda ini malah gak kuat, gak sesuai dengan daya. Ini udah lama kejadian ini,ujar Bapak Muaral.

Masalah ini cukup memberatkan Bapak Muaral karena biaya operasional jadi tinggi. “Ini kan kehilangan daya 400 Watt-lah saya. Jadi sangatlah beratlah bebannya untuk saya, setiap bulan tuh Rp200 ribu. Kalau beli Rp100 ribu saya dapatnya  63 KWH-nya. Itupun paling lama 11 hari itu udah habis, udah bunyi. Jadi beli lagi 100 ribu lagi. Paling lama 200 ribu itu untuk 26 hari, ya kadang 28 hari. Gak pernah sampai 1 bulan.”

Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Peran memuat hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang sesuai dengan kedudukannya sehingga peran dan kedudukan tidak dapat dipisahkan. Peranan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Prof. Dr. Soerjono Soekanto juga menuliskan bahwa kadangkala dijumpai individu dalam masyarakat yang tidak mampu melaksanakan peran yang telah diharapkan masyarakat kepadanya.

Gejala tersebut terjadi karena adanya kecenderungan yang kuat untuk lebih mementingkan nilai materialisme daripada spiritualisme. Padahal dalam suatu interaksi sosial, yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Jika tidak, akan menimbulkan hubungan timpang yang tidak seharusnya terjadi, seperti salah satu pihak cenderung mementingkan haknya, sedangkan pihak yang lain hanya memiliki kewajiban.

Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu badan pelayanan publik yakni PLN. Seperti yang dialami oleh Bapak Muaral dimana beliau telah menjalankan kewajibannya untuk membayar listrik sesuai tagihan yang diberikan oleh pihak PLN. Namun pada realisasinya hak beliau tidak didapatkan besaran tegangan listrik yang diterima tidak sesuai dengan tagihan yang telah dibayarkan sehingga berpengaruh terhadap usaha jahitnya.

Dalam kasus ini, Bapak Muaral telah berusaha menyuarakan keluhannya di Kantor PLN Kecamatan Ambulu tetapi tidak mendapatkan respon ataupun tindakan apapun. PLN yang seharusnya melaksanakan perannya dalam memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat yang mengeluhkan layanan listriknya, justru mengabaikan itu. Pihak PLN di Kecamatan Ambulu masih kurang responsif dalam mendengarkan keluhan masyarakat, terlebih dari seorang penyandang difabel yang hanya ingin mendapatkan pelayanan untuk pengembangan usahanya.

Hal ini perlu menjadi catatan penting bagi pemerintah, karena mereka belum benar-benar mengimplementasikan peraturan daerah yang telah dibuat yakni Perda No 7 Tahun 2016 paragraf 4 tentang perluasan lapangan kerja pasal 62 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib memberikan pembinaan, bantuan serta akses permodalan untuk usaha mandiri yang dijalankan oleh penyandang disabilitas. Dan juga belum terpenuhinya hak difabel sebagaimana yang tertera dalam Perda Kabupaten Jember Nomor 7 Tahun 2016 pada bagian ke-15 mengenai hak pelayanan publik pasal 19. Pemerintah harus lebih peduli melihat permasalahan masyarakat di lapangan, khususnya para penyandang difabel yang berusaha bertahan mengembangkan usaha mandirinya tanpa bergantung pada uluran tangan orang lain. Penyamarataan hak perlu diterapkan, terlebih hal ini sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk melayani masyarakat dan memberikan kemudahan ketika mengalami kendala dalam mendapatkan hak pelayanan publik.


Penulis: Diana Oktavinda, Sofiatul Iftitah, Jakfar Sadiq


 

Ikuti tulisan menarik Sofiatul Iftitah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler