x

Ilustrasi karya Stefan Kellers dari Pixabay.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 20 November 2022 08:01 WIB

Tiga Lewat Lima

Hampir segera setelah Yon tertidur, dia mulai bermimpi. Saat itu senja dan dia berdiri di atas singkapan batu pasir merah yang tersapu angin, mengintip ke kejauhan di bawah langit yang penuh dengan awan kelabu yang bergerak dipercepat. Dia memasuki tenda dan melihat sebuah meja kecil berdiri di salah satu dinding. Ada dipan di dinding seberang, ditutupi dengan kantong tidur yang setengah terbuka. Dia berjalan ke dipan dan berbaring. Cahaya lilin berkelap-kelip di atas kepala. Kemudian dia tertidur, dan hanyut ke dalam mimpi yang berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir segera setelah Yon tertidur, dia mulai bermimpi. Saat itu senja dan dia berdiri di atas singkapan batu pasir merah yang tersapu angin, mengintip ke kejauhan di bawah langit yang penuh dengan awan kelabu yang bergerak dipercepat.

Dia menarik kerah jaketnya melawan angin dingin. Sejauh yang dia bisa lihat ke segala arah adalah ngarai terjal dan bukit batu merah seperti tempatnya berdiri. Dia berbalik dan berjalan menyusuri punggung bukit menuju cekungan terlindung di batu, tempat tenda kanvas besar berdiri, jenis yang digunakan para pemburu di Afrika.

Dia memasuki tenda dan melihat sebuah meja kecil berdiri di salah satu dinding. Kertas-kertas tersebar di atasnya, di terangi cahaya lilin yang berkelap-kelip. Ada dipan di dinding seberang, ditutupi dengan kantong tidur yang setengah terbuka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia berjalan ke dipan dan berbaring, merasa sedikit bersalah karena dia tidak kembali bekerja di atas meja. Terdengar deru angin yang menggoyang kanvas. Cahaya lilin berkelap-kelip di atas kepala. Kemudian dia tertidur, dan hanyut ke dalam mimpi yang berbeda.

Kini dia berjalan cepat di sepanjang trotoar jalan pinggiran kota, memegang tangan putrinya yang masih kecil. Hari cerah dan dia sedang terburu-buru, sadar bahwa mereka terlambat dan istrinya sedang menunggu mereka. Mungkin khawatir dan mungkin marah. Dia menatap putrinya dan melihat bahwa dia menangis saat dia berjuang untuk mengikutinya. Dia berhenti dan berlutut di sampingnya, menyeka air matanya dengan jari-jarinya, bertanya mengapa putrinya menangis. Aku capek, katanya, aku capek.

Dia mendongak untuk melihat seorang lelaki tua berdiri di halaman rumput yang terawat di sebelah mereka. Pria itu memberi isyarat kepadanya. Yon dan putrinya melangkah ke halaman rumput dan berbaring di rerumputan yang sejuk. Pria tua itu pergi, dan keduanya menatap langit biru yang penuh dengan awan putih perak. Dia menunjukkan bentuk di awan dan putrinya tertidur di dadanya. Setelah beberapa saat, dia sendiri merasa mengantuk. Dia melawannya sebentar, dia tahu mereka sudah sangat terlambat sekarang. Tak mampu melawan rasa kantuknya, dia menutup matanya.

Dia membukanya lagi dan mengangkat kepalanya dari mejanya. Dia melihat sekeliling dengan cepat, bertanya-tanya apakah ada yang melihatnya tertidur, tetapi meja-meja lain di kantor itu kosong.

Saat itu sudah larut malam dan dia sendirian. Layar komputernya menyala menatapnya. Layar besar penuh dengan kolom berisi angka. Dia melihat keluar melalui jendela kaca besar, menatap pemandangan kota tengah malam. Deretan gedung pencakar langit membentang di kejauhan, lampu kuning menyala di ratusan jendela seperti miliknya. Dia kembali ke komputer, menemaptkan jari-jarinya ke papankunci. Dia harus menyelesaikan ini. Ini sangat penting. Semuanya tergantung pada apakah dia bisa menyelesaikannya di pagi hari atau tidak.

Dia mencoba untuk fokus pada layar, tetapi kepalanya tiba-tiba terasa sangat berat. Mungkin dia harus minum kopi, lagi, lalu kembali bekerja.

Tapi sebaliknya dia melipat tangannya lagi dan meletakkan dahinya kembali. Mungkin hanya beberapa menit lagi. Kemudian dia merasa bergoyang dan membuka matanya untuk menemukan dirinya mengambang di atas rakit tiup kecil, jenis yang biasanya ditemukan di kolam renang halaman belakang, tetapi sebaliknya dia berada di tengah laut yang luas dan tenang. Tidak ada daratan yang terlihat. Matahari bersinar terik, tetapi dia tidak merasa kepanasan. Nyatanya, dia merasa sangat santai, sangat tenang, damai dengan dirinya sendiri dan dengan dunia.

Tapi kemudian dia merasakan air mengalir di sisinya, rakit kehilangan udara karena bocor. Dia tenggelam.

Dia tidak panik, semuanya baik-baik saja. Saat dia berada di dalam air, dia menarik napas dan kemudian meluncur di bawah permukaan. Dia menahan napas dan tetap membuka matanya saat dia tenggelam, menyaksikan sinar matahari surut di atas saat dia turun melalui nuansa biru dan akhirnya ke dalam kegelapan.

Dia terbangun dengan kaget di tempat tidurnya, berkedip pada angka merah di radio alarm yang menunjukkan pukul 3:05.

Dia mendengar dengkur halus istrinya di sampingnya dalam kegelapan.

Dia tetap diam. Masih terlalu dini untuk bangun, dia harus mencoba untuk kembali tidur.

Dia bisa merasakan jantungnya berdebar, mulai melambat. Dia berpikir tentang mimpi-mimpinya yang mulai memudar, lalu dia bertanya-tanya apakah saat ini bukan mimpi itu sendiri.

Itu membuatnya khawatir sekejap. Dia merasa penting untuk bisa membedakan mimpi dari kenyataan, lalu dia merasa mengantuk lagi dan memutuskan bahwa itu tidak terlalu penting.

Berguling menjauh dari cahaya terang radio alarm dan kembali tidur, dia kembali ke mimpinya, atau mimpinya yang lain, jika itu adalah mimpinya.

Jauh di relung jiwanya, Yon ingin tahu apa yang akan dia temukan di sana.

 

Bandung, 18 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler