x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Sabtu, 10 Desember 2022 16:52 WIB

Membacamu dari Tepi Jurang

Sebuah prosa pada masa abad pertengahan menjadi catatan tentang bagaimana cinta; terpatahkan, demi menjaga suatu sistem yang lebih luas; sistem bermasyarakat, sebagai kerangka sosial yang akan selalu membutuhkan perubahan, perkembangan, hingga penghabisan. Bahwa, realita ini serupa musim yang setia memaknai cinta sebagai artifisial realita, sebagai yang tragedi. --untuk setia memperdebatkan makna cinta hingga kebenaran absolut atas babad Tantu Panggelaran yang bersifat personal selain percaya bahwa kita semua; masih berdenyut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjelang tengah malah, pada Jumat di minggu kedua Desember. Seseorang bertanya; “apa makna cinta dalam hidup manusia?” [Yesa, 09 Desember 2022]

Saya, tentu saja, tidak mudah menjelaskan satu kosakata ini menjadi susunan kalimat yang mampu menyampaikan bahwa cinta adalah A, cinta adalah M, cinta adalah Z. Namun, hal ini mengingatkan saya akan kosakata “amour” yang awal kemunculannya dalam literasi sekitar tahun 1300an.

Hanya saja, saya dan mimpi; hijau di pulau Hiri saat lautan bertegur sapa pada tebing.

Sebuah prosa pada masa abad pertengahan menjadi catatan tentang bagaimana cinta; terpatahkan, demi menjaga suatu sistem yang lebih luas; sistem bermasyarakat, sebagai kerangka sosial yang akan selalu membutuhkan perubahan, perkembangan, hingga penghabisan. Bahwa, realita ini serupa musim yang setia memaknai cinta sebagai artifisial realita, sebagai yang tragedi.

False face must hide what the false heart doth know.” [Macbeath, Shakespeare]

Dan, bisa jadi, inilah realita yang sedang kita hadapi bersama dalam proses meruang “cyberwarhingga menjadi “cyber warfare, yang bukan lagi kepemilikan sistem jaringan tersembunyi selain menjadi praktek nyata atas psikososial, yang menjadi pola kognisi pada kerangka terasing; pandemi.

Ada bahasa literasi yang masih tetap menyusun ulang, budaya bahasa untuk tradisi bahasa di masa depan, untuk kembali melihat spirit hidup sebagai arsitektural yang bersifat “meta” dan “fragile”.

Pertanyaan saya: “Bagaimana manusia memaknai cinta sebagai hidup?”

*

Saya selalu merindukan sesuatu yang begitu jauh seperti saya merindukan sahabat saya, Yesa, untuk sesuatu yang artifisial tentang Sulawesi, sebab saya mengerti bahwa itulah mimpi yang saya terima sebagai sesuatu yang imajiner, yang begitu jauh untuk dapat diraih di antara gelombang lautan yang teramat gaduh di musim penghujan.

Mungkin, suatu hari, waktu akan memberi rasa damai dalam berbagai kesempatan agar saya dapat mengunjunginya di sisi timur Indonesia. Begitu pula, seorang kawan yang masih tetap setia berbagi alam Maluku kepada mereka yang mendiami pulau Jawa.

Kembali pada kosakata “cinta”, bagaimana tepat di masa kini yang akhirnya menjadi “hancur” dan tidak lagi memberikan makna tentang eksistensi manusia atas kehidupan sungguhlah menyedihkan. Seperti saat harus melafalkan dua kalimat untuk susunannya yang berbeda:

"Bagaimana manusia memaknai cinta sebagai hidup?” [Yesa]

"apa makna cinta dalam hidup manusia?" [Okty]

Bahwa perjalanan peradaban manusia yang terlampau jauh dan rumit untuk diukur telah menjadikan manusia harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menjadi peradaban "zombie" saat memasuki abad digital. Masa teraleniasi atas dirinya telah dialihkan dengan demikian halus di masa era “great depression” menuju perang dingin, di mana perubahan pola bermasyarakat dan pola struktur bahasa mengalami perubahan besar-besaran. Demikian pula terhadap Bahasa Indonesia. Ini bukanlah hal-hal seputar tidur pulas atau drama selain penolakan apa yang hidup dan dilalui selama hidupnya.

Seluruh “sistem jaringan” ini, tanpa disadari, menjadikan manusia membunuh dirinya sendiri.

Lantas, bagaimana saya harus melihat yang tetap hidup di tempat yang paling jauh dan tidak tersentuh adalah sesuatu yang harus saya akui sebagai “spook” dan “dead”, bagaimana saya menata pengalaman personal yang bersifat spiritualistik menjadi cara paling dekat untuk kembali menyusun kognisi agar “hope” tidak “dying”?

Keputusasaan menjadi solusi untuk terus melawan diri sendiri yang meyakinkan bahwa manusia ingin perdamaian namun realitanya tidak demikian, manusia, secara bersosial, memilih berbicara lantang tentang kesederhaan, perdamaian, kasih sayang, penerimaan, dengan praktek nyata menjadi perang dan pembunuhan.

Bahasa literasi, telah “damage” bersama dengan menipisnya hidup di otak saat hati meminta pulih, tidak akan sanggup menjadi jembatan bersosial, hanya itu yang pada akhirnya saya pahami di bulan Desember. Pengorbanan dan jalinan sosial tidak seindah Maluku atau pulau-pulau lain yang menjadi keberagamaan tempat saya dilahirkan, di tanah Jawa. Apa yang hidup dalam misteri di dunia yang jauh, dunia belantara, dunia samudra, dunia angkasa, tidak mampu menjadi pengetahuan bagi manusia.

Manusia, sebagai yang individualitas, memilih penghancuran apapun di dalam dirinya, dan juga, berpesta untuk apapun yang mengelilinginya, begitu pula mimpi menjadi cara melanjutkan hidup di keseharian sebagai obsesi bertujuan dengan mengabaikan hal-hal paling rahasia, dan di sanalah, makna kekeluargaan hancur dengan penuh sadar dan indah. Bagi yang menghendaki kematian sebagai satu-satunya cara penghukuman atas kesalahan membaca.

Desain yang terlampau cerdas tentang masa, kita semua terbata-bata menyusun “great restart”.

*

Sebuah dokumentasi wawancara Ken Jacobs menjadi jam-jam pengisi hari sebelum Yesa dan saya bertukar kabar tentang gaduh dan cinta. Dunia yang terbingkai tidak lagi absolut di antara fotografi maupun lukisan, sebab hidup sewujud sinema, sewujud gerak, sewujud putaran tanpa akhir. Di saat pemangku sistem birokrasi dunia dunia; agama dan militer, terlalu gelisah dalam menyusun yang matematis untuk yang sistematis, untuk perang yang belum berakhir di antara Kristen dan Islam.

Ada luka yang tidak akan mampu disembuhkan oleh waktu selain yakin/”trust”.

Ada pedih yang tidak akan sanggup disulam oleh udara selain nrimo/menerima/”acceptance”.

Ada hidup yang tidak perlu digugat dalam setiap babad selain memaafkan/”forgiving”.

Ada cinta yang tidak perlu bertanya atas kompleksitasnya selain pengorbanan/”sacrifice”.

Ada satu yang tidak membutuhkan selain laku tentang damai/"pacifying".

Sebagaimana kaum pastoral mengabadikannya ke susunan puisi yang mengaduh, saat para penyair Islam mengembangkannya ke dalam seni kaligrafi di abad baru, di masa lampau. Keduanya menjadi sahabat yang tidak lagi memperdebatkan ideologi sebagai jalan hidup selain bersilaturahmi di antara cakrawala yang terlalu rahasia untuk menjadi penabur benih apatis, dan hingga pencipta fanatis.

Duka, bisa jadi, tidak butuh jawaban yang pasti, sebab hidup memanglah tentang asimetris.

*

Sementara Hermann Hesse pernah menyampaikannya, bahwa: “If I know what love is, it is because of you”, manakala kita semua dihadapkan dengan “One hope is too like despair. For prudence to smother”. [Thomas Hardy]

Sementara Sabtu datang dalam renjana mentari yang menawarkan teduh; ada airmata yang terjatuh menuntut karnaval, sebelum tahun berganti digitnya di antara Roman Ridder – Through The Ocean untuk setia memperdebatkan makna cinta hingga kebenaran absolut atas babad Tantu Panggelaran yang bersifat personal selain percaya bahwa kita semua; masih berdenyut.

 

- Jakarta, 10 Desember 2022

 

Lampiran:

- Amour: [ https://www.etymonline.com/word/amour ]

- Meta: [ https://www.etymonline.com/word/meta- ]

- Pulau Hiri: [ https://porostimur.com/pulau-hiri-menyimpan-sejarah/ ]

- Ken Jacobs: [ https://www.youtube.com/watch?v=CEVss-csGF8 ]

- Roman Ridder: [ https://www.youtube.com/watch?v=GeQCkYU7Hac ]

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 menit lalu

Terpopuler