x

Sumber ilustrasi: lovethispic.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 13 Desember 2022 20:37 WIB

Lensa Kamera

Air mata keluar dari kelopaknya yang terkatup saat dia mengingat kembali menit-menit terakhir: kepanikan yang tiba-tiba saat tanah runtuh di bawahnya, perasaan pusing saat dia mencondongkan tubuh ke depan, terkejut saat Anjas tepat meraih tangannya dan mereka jatuh berbalik kembali, berguling ke rumput semak di puncak tebing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Air mata keluar dari kelopaknya yang terkatup saat dia mengingat kembali menit-menit terakhir: kepanikan yang tiba-tiba saat tanah runtuh di bawahnya, perasaan pusing saat dia mencondongkan tubuh ke depan, terkejut saat Anjas tepat meraih tangannya dan mereka jatuh berbalik kembali, berguling ke rumput semak di puncak tebing.

Tapi ini bukan alasan dia menangis.

Apa yang kamu pikir kamu lakukan, begitu dekat dengan tebing jurang? Tidak, tidak perlu repot-repot memberi tahuku. Kamu hendak mengambil foto lain. Lihat dirimu. Kamu bisa saja mati, tapi kamu tetap tidak melepaskan kamera sialan itu, kan? Kamu tidak melihat apa-apa kecuali apa yang tampak melalui lensa kamera sialan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan kemudian Anjas melompat dan pergi untuk melepaskan Arka yang kebingungan dari stroller-nya.

Tami berbaring diam, merasakan bobot dingin kamera di tangannya, halus dan meyakinkan. Benda itu adalah garis batas hidupnya di dunia tempat dia mengapung, melayang lepas.

Kadang-kadang dia bertanya-tanya, bagaimana jika dia tidak selamat saat melahirkan Arka yang menakutkan, dan memandang suami dan anaknya dari alam lain. Dia menyingkirkan pikiran itu, mengingatkan dirinya sendiri bahwa karena dia hampir mati, Anjas akan menjadi sendirian mengasuh Arka. Bukan dirinya dengan malam-malam yang panjang mengganti popok yang tak ada habisnya, kebosanan luar biasa mendengarkan nyanyian lagu anak-anak.

Teman-temannya akan dengan iri bergunjing tentang Anjas sebagai bapak yang baik, dan dia, Tami, hilang dari pembicaraan.

Satu hal yang bisa dia lakukan adalah mengambil foto. Mula-mula hanya dengan ponselnya saat dia bersandar di sofa, melihat Arka berguling telungkup di atas perlak bayi, lalu, saat dia tumbuh lebih kuat, Tami memakai kamera Canon yang dibeli untuk bulan madu mereka di Langkawi. Kakek-nenek yang menyayangi Arka menyukai album foto yang dia kirimkan kepada mereka.

Tamu yang datang selalu mengomentari rangkaian gambar berbingkai indah yang menghiasi dinding mereka.

Tami sangat bangga dengan kontribusinya kepada keluarga, catatan bulan pertama putra mereka untuk dinikmati bersama di masa depan.

Tapi bagaimana dengan saat ini?

Dia menggigil dalam belaian angin asin, mengakui untuk pertama kalinya kebenaran kata-kata Anjas. Bahkan sebelum memiliki kamera, dia tidak benar-benar terlibat dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Fokusnya memikirkan tentang komposisi, cahaya, kegunaan hitam dan putih, atau bahkan sepia.

Perlahan Tami membuka matanya dan bangkit dengan bertelekan pada satu sisi, memandang ke seberang untuk melihat Anjas dengan sabar membimbing langkah Arka yang goyah melewati rumput. Secara naluriah, Tami mengangkat kamera untuk menangkap sketsa keluarga yang sempurna, tetapi, saat dia menatap melalui jendela bidik, dia menyadari bahwa gambarnya tidak lengkap.

Dia memasukkan kamera ke dalam tasnya dan bergegas berdiri untuk bergabung dengan anak dan suaminya.

 

Bandung, 13 Desember 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler