Dari Januari ke Januari
Beberapa bunga memekarkan cinta, beberapa kali, lalu mati Sementara pelukan tetap di sana mengekalkan luka, sambil sesekali menyeka air mata yang tak berhenti mengalir
Kemudian sepasang kaki meragu, perkara jejak-jejak di trotoar itu, yang ingin dikenang, atau paling tidak, tak cepat-cepat terlupakan
Di kepalamu senyumku jatuh, kesedihan tak henti-hentinya menghantam rasa, sesaat suatu senja di Januari berbisik kepadaku :
"Kenakan kain hitam itu, Dien, sebentar lagi kita akan berpuisi di dalam makam."
***
Pagi dini hari ketika kau mengirimiku pesan pendek
Nyeri sampai ke hati, pukul tiga dini hari, sesaat setelah sebuah pesan pendek membangunkanku dari mimpi yang ganjil
Kemudian rindu menggigil, sesuatu dalam kepalaku pecah, kepingannya serupa puzle yang harus kembali disusun dengan berbagai pertanyaan—apakah kita akan kembali utuh? Atau akankah luka-luka ini akan sembuh?
Lalu kesedihan mencoba berlari menjauh, lalu menangis.
Ah selalu seperti ini, seperti yang pernah aku kira, cinta ini selalu saja menyakiti dirinya sendiri
***
Suatu musim yang (mungkin) terlupakan
Dulu, aku dan kamu sepakat bahwa ada yang lebih manis dari gula-gula, senyum-senyum kita yang saling memeluk
Sesaat gelombang pasang datang, segala tenggelam dalam bah yang tiba-tiba menghantam
Dan selimut tak paham, ia tak pernah cukup menghangatkan beku ruang tunggu, lalu menjelma sunyi dari rindu yang dikurung kecemasan
***
Luka-lukaku, laki-lakiku
Aku kehilangan sesuatu yang pernah kumiliki, semacam cinta, atau mungkin benar itu cinta, entahlah..
Dicuri waktu dengan tergesa-gesa
Laki-lakiku, masih ada di sana, di hari lalu
Luka-lukaku, beranak pinak semakin banyak
Lantas kutemukan bayanganku sendiri di antara hari yang pasi
***
Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.