x

Sumber ilustrasi: shutterstock.com

Iklan

Orang Kubus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Jumat, 30 Desember 2022 18:57 WIB

Di Bawah Langit yang Menangis


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sayang, Aku bisa membayangkan dirimu dari kejauhan bahkan bisa merasakan kehadiran jiwa dari seorang gadis yang suci. Hari ini cuaca sedang hujan dan aku teringat saat-saat pertama kali kita bertemu; di depan halte bus dekat sekolah kita, tempat kita menuntut ilmu dan menemukan kisah asmaraloka, cinta kasih dalam dunia.

Aku masih ingat ketika diriku yang lugu menyuarakan kata demi kata sembari berharap balasan darimu. Ya, bila dilihat dari sudut pandang apapun, aku adalah seorang remaja yang polos dan tidak tahu apa. Tapi, kau melirik kepadaku dengan senyuman manis layaknya gula. Ya, ya, dan ya; aku tidak menyangka kamu mau berbicara kepadaku.

Setelah itu kita berbicara mengenai banyak hal, mengenai kondisi pertemanan kita, hobi yang kita sukai, dan film yang ingin kita tonton. Aku bahkan masih ingat ketika kita berdebat kecil mengenai kandidat ketua OSIS yang ingin kita pilih. Ah— itu adalah waktu yang sangat indah dan hanya kita berdua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, ‘tak lama setelah itu hujan yang lebat dan mendinginkanmu selama beberapa waktu telah reda, jiwa kita berpisah satu sama lain tapi tidak dengan hati kita yang telah disatukan oleh sesuatu yang dinamakan dengan asmaraloka. Setidaknya, kita semakin dekat satu sama lain.

Setelah hujan reda, bunga-bunga terbasuh oleh angin hujan, begitu pula dengan sarang laba-laba, daun pepohonan, dan langit berwarna jingga oleh mentari sore. Semuanya yang ada pada sore hari telah terbasuh oleh air hujan yang suci yang dikirimkan oleh Tuhan. Bagiku dunia seperti telah dilahirkan dalam satu hari dan saat itu pula bunga-bunga cinta bermekaran. Melahirkan kisah bagi kita-kita ini, Sayangku.

Malam harinya, aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Apakah nanti kita akan menghabiskan waktu bersama di gunung, seperti Soe Hok Gie dan kekasihnya? Atau akankah kita pergi menuju Taman Bermain sembari menjilati es krim dengan rasa vanilla, seperti Okiso dan Yui dalam sebuah cerpen yang pernah kubaca? Selama semalam aku tidak bisa tidur, Sayang. Memikirkanmu yang tengah membelaiku dalam angin-angin cinta yang terbasuhi oleh kasih sayang.

Ketika mentari terbit dari ufuk timur kita kemudian berjumpa di sekolah dengan seragam putih-abu, pada akhirnya hari-hari biasa kita lalui bersama sembari menuliskan cerita dalam benak kita. Sayang, aku ingat kau pernah berkata demikian saat kita berdua berjalan di jalan Mustafa:

“Lampu-lampu berkelipan di Kota ini, aku bisa merasakan kesendirian dari orang-orang terpinggirkan serta para Waisya yang kebingungan dalam mencari nafkah. Rudi, sayangku. Aku ingat ketika kita pertama kali bertemu, kau begitu polos dan lugu tapi itulah yang kusukai jauh begitu dalam hingga ke lembah Mandalawangi. Aku tahu kita begitu berbeda dalam banyak hal kecuali dalam cinta. Biarlah rasa sendirian dan kebingungan ini terobati olehmu, ketika kau mendekapku maka hendaklah mendekapku dengan lebih erat; lebih mesra. Beruntunglah manusia-manusia yang telah menemukan jati diri mereka.”

Lantas dirimu lalu memeluk diriku dengan sangat erat. Aku bisa merasakan kain rajutan yang menjagamu dari dinginnya angin malam, jari dan lengan kecilmu yang melingkari pinggangku bahkan terasa sangat hangat sekali, dan yang terakhir adalah harum dirimu yang seperti bunga Edelweis; sungguh sangat memikat orang-orang termasuk diriku. Tidak lama setelah itu, jantungku berdegup dengan kencang bahkan pipiku sampai memerah tapi sentuhan lembutnya berhasil menenangkan diriku. Tidak sadar mulutku berkata sesuatu kepada manusia yang memberikan kasih sayang yang hangat.

“Anna. Banyak sekali manusia yang pergi untuk mengejar mimpi mereka bahkan rela mengelilingi dunia sampai tujuh kali. Tapi, sayangku yang bernama Anna. Aku hanya ingin berbicara denganmu selama seharian penuh, memelihara kucing di Rumah kita yang malas dan lucu atau mungkin membesarkan anak-anak kita sebagaimana orang tua membesarkan aku dan juga dirimu. Anna cintaku. Ada ribuan serdadu yang gugur di Ukraina dan ada ribuan manusia yang merasa gagal setelah ditolak dari Universitas. Tapi, perlu kutegaskan sekali lagi bahwa aku hanya ingin menua bersamamu maka Anna; selama Tuhan memberikan waktu kepada kita, peluklah aku dengan erat. Hargailah waktu yang Tuhan berikan karena waktu tidak bisa dibeli.”

Pada malam yang biasa nan sunyi itu kita berpelukan dengan hangat. Ah— waktu-waktu yang indah sekali kita bahkan sampai meneteskan air mata, langit yang membawa awan-awan juga terharu dengan kami hingga membasuh kami berdua dalam dinginnya suasana Kota. Anna, malam itu adalah malam di mana besok kita berdua akan merayakan hari kelulusan dari bangku SMA. Teman-teman akan meninggalkan kita berdua dan fokus untuk mengejar impian kita. Walaupun begitu percayalah padaku, Anna. Bahwasanya diriku tidak akan meninggalkanmu sendirian, kita akan terus bersama karena ikatan dan janji ini sangatlah kuat dan tidak akan terputus. Bersama kita ‘kan lalui badai yang lebat.

Ketika hari kelulusan itu tiba, kita menghabiskan waktu untuk terakhir kali bersama teman-teman. Menyanyikan lagu dengan riang sembari menangis bersama-sama, memakan makanan hangat sembari bercerita tentang masa lalu. Anna, aku ingat kau selalu memandangku pada hari itu walaupun aku bersama dengan teman sepergaulanku tapi bagaimanapun itu hari terbaik kita, iya ‘kan? Itu adalah saat di mana kita merasakan gairah muda yang tidak akan bisa diulangi. Tapi, waktu-waktu indah memang cepatlah berlalu setelah hari kelulusan dan menyanyikan lagu perpisahan, kau lalu mengemasi barang-barangmu dan pergi ke Kota nan jauh itu. Tentu aku membantumu mengemasi koper dan membawanya menuju ke Stasiun kereta.

Saat menunggu itulah kita bersenda gurau untuk terakhir kali, Anna. Melihat wajahmu yang penuh dengan gelak tawa dan rambut pendekmu, bagiku kau adalah Anna yang dulu, dia yang menemaniku di Halte hingga rasa-rasa cinta itu bermekaran. Kuda besi itu lalu tiba di Stasiun, kita berdiri dan sebelum kau naik, dirimu menghadiahiku kecupan manis di pipiku. Anna, kau lalu tertawa kecil melihat wajahku yang memerah, seperti gadis-gadis dalam novel dan film. Mungkin gadis cantik seperti dalam fiksi itu benar adanya. Kuda besi itu lalu berbunyi dengan keras tanda bahwa dirimu akan pergi meninggalkanku yang sebatang kara.

Anna. Lama sekali aku mendengar dirimu akan sampai di kota tujuan, aku mulai mengkhawatirkanmu bahkan sampi esok dan esok lusanya lagi tidak ada kabar tentangmu. Rintik-rintik hujan lalu mengguyur kediamanku, diiringi dengan derap langkah seseorang dari sebuah mobil. Seorang pria yang memakai jas hitam dengan membawa payung, dia mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu.

Lantas, aku segera membuka pintu hingga terlihatlah dia yang memakai jas hitam itu. Pria itu hanya memberikan sebuah amplop dengan noda darah, tidak sampai aku mengetahui identitas dari pria itu, dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata sekalipun.

Aku lalu membuka amplop yang berisi kertas itu. Oh Tuhan, begitu banyak sekali bercak darah yang ada di kertas ini. Entah kenapa ada rasa sesak di dadaku, ada pula rasa sedih sehingga kedua mataku tercipta air mata. Tuhan, kuatkanlah aku serta dia; dan langit menangisi kepergian cinta.

“Rudi, kau adalah permataku. Bertahanlah karena sebentar lagi aku akan bertemu denganmu lagi. Jagalah dirimu baik-baik, Rudi-ku tercinta.”

-Anna

Ikuti tulisan menarik Orang Kubus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler