x

Iklan

Abdul Mukhid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Oktober 2022

Jumat, 6 Januari 2023 06:48 WIB

Singa Padang Karautan (2)

Sebuah Cerita Bersambung dengan Latar Sejarah Berdirinya Kerajaan Singhasari...sebagian tokoh dan cerita bersifat fiktif...dan cerita ini tidak bisa digunakan sebagai rujukan sejarah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

BAGIAN SATU: TUMENGGUNG RUPAYANA
PERTEMPURAN DENGAN SINGA PADANG KARAUTAN

Episode sebelumnya di sini

PERTEMPURAN DENGAN SINGA PADANG KARAUTAN

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

           Panji Sumekar segera meloncat ke tempat dia mengikut kuda yang ditungganginya tadi. Semua mata tertuju ke arah yang dituju senopati muda itu.

            “Benar, tidak ada, Gusti,” Panji Sumekar meneguhkan yang disampaikan prajurit tadi.

            Tumenggung menarik napas panjang. Semua orang menjadi tegang. Namun belum hilang ketegangan mereka, tiba-tiba mereka dikejutkan seperti auman singa.

            “Grarr…grarr!”  Suara itu terdengar amat keras dan berulang-ulang. Semua terpana. Beberapa prajurit sempat juga bergidik bulu kuduknya. Suara itu benar-benar menggetarkan.

            “Itu auman singa,” kata seorang prajurit pada temannya.

            “Bukan, itu suara manusia,” sela sang tumenggung. “Siapkan pedang kalian!”

           Semua orang menyiapkan senjatanya, tak terkecuali sais kereta. Hanya tumenggung yang berdiri berkacak pinggang tanpa senjata. Sebilah keris masih terselip di pinggangnya. Sementara para prajurit tampak mulai ketakutan. Barangkali cerita hantu yang sering mereka dengar itu mulai merayap dalam pikiran masing-masing. Untuk beberapa lama suara auman itu tak terdengar lagi. Yang terdengar kemudian adalah suara ringkik kuda, disusul suara tawa membahana.

            “Hua…ha…ha….hua…ha…ha!”

            “Itu dia,” sais kereta menunjuk ke sebuah gundukan tanah. Di sana seseorang telah menunggangi kuda putih milik tumenggung. Wajahnya tidak tampak jelas karena ditutupinya dengan kain selempang. Karena jaraknya yang agak jauh hanya lekuk tubuhnya yang kelihatan. Tampaknya dia seorang lelaki muda yang perkasa. Pemuda itu menarik tali kekang kuda putih. Kuda itu meringkik lagi.

            “Apakah kuda ini yang kau cari Tumenggung Rupayana?”                                                     Tumenggung Rupayana tersentak mendengar namanya disebut pemuda itu.                        “Ataukah kesebut saja sebagai Tumenggung Ganter, wilayah yang kau kuasai?”                     “Sopan sedikitlah, anak muda. Turun dari kuda kalau kau bicara sama orang tua!”

           Pemuda itu turun dari kuda. Kemudian dia menggiring kuda itu menuruni gundukan tanah, menuju ke arah rombongan. Serta merta para prajurit siap sedia menghunus pedang, tetapi pemuda itu tetap berjalan tenang. Dia berhenti sekitar tiga batang tombak dari tumenggung. Sekarang tumenggung bisa mengamati pemuda itu dengan lebih jelas. Kuningnya kuning langsat. Tingginya sedang, sedikit lebih tinggi dirinya. Namun wajahnya dibebat kain hitam, dan hanya menyisakan mata.

            “Siapa kau anak muda?” sergah sang tumenggung.

            Di luar dugaan, pemuda itu menjawab dengan sebuah auman yang menggetarkan. Auman itu sangat keras dan dilambari dengan tenaga dalam. Pedang-pedang prajurit serentak jatuh. Hanya pedang senopati yang tidak jatuh. Dengan keteguhan sikap prajurit mereka segera memunguti kembali pedangnya.

            “Hmm…kaukah Singa Padang Karautan itu?” tanya tumenggung tak goyah sama sekali oleh auman pemuda itu.

           “Ya. Dan sebagian orang menyebutku Hantu Padang Karautan. Ha…ha…ha…tentunya kau tak percaya kalau aku ini hantu bukan?”

            “Aku tak peduli. Berikan kudaku,” jawab tumenggung ketus.                                                   “Hei…di sini bukan kau yang menentukan, Tumenggung. Ini daerah kekuasaanku!”         “Tidak bisa. Ini adalah bagian dari kerajaan Khadiri. Dan aku sebagai salah satu punggawa kerajaan akan menangkapmu karena sudah membuat resah masyarakat.”

            “Ha...ha…ha...ha!” tawa pemuda itu kembali menggelegak. “Sekali lagi kuingatkan bahwa ini adalah daerah kekuasaanku. Aku yang menentukan. Dan aku menginginkan kudamu, Tumenggung. Segeralah enyah dari sini sebelum aku berubah pikiran dan tak kubiarkan kalian pergi dalam keadaan hidup.”

            “Omong kosong! Ayo serang anak-anak, jangan biarkan dia lolos!” teriak Tumenggung Rupayana.

            Serta merta para prajurit dan sais kereta itu mengepung pemuda itu dalam sebuah lingkaran. Sementara Panji Sumekar dan Tumenggung Rupayana mundur menjaga jarak.

            “Kalian akan menyesal,” kata pemuda itu sambil melebarkan kaki untuk mengambil kuda-kuda.

            Serta merta para prajurit berhambur menyerang dengan pedang di tangan. Namun begitu mendekat mereka serasa menerjang angin ribut yang menggulung. Mereka semua jatuh terjengkang. Bahkan tiga dari mereka terkapar tak bernyawa. Sedangkan yang lainnya terduduk dengan mulut mengeluarkan darah, dan pedang jatuh di tanah. Satu di antara mereka dengan pedang tertancap di dadanya. Tumenggung dan senopati terperangah melihat kejadian itu. Mereka tak mengira kalau prajurit mereka bisa kalah begitu cepat: hanya dalam satu jurus. Sementara Singa Padang Karautan itu tetap berdiri di tempatnya dengan tegap dan tenang. Pemuda itu tersenyum. Sebuah senyum kemenangan sekaligus ejekan. Senopati Panji Sumekar merasa geram. Dia memberanikan diri untuk maju.

            “Mereka bukan tandinganmu. Hadapilah aku!”

            “Se-no-pati…Panji Sumekar,” pemuda tersenyum mendekat. “Senang sekali bisa bertemu denganmu. Aku dengar kau bukan hanya senopati andalan katumenggungan Ganter, tetapi juga salah seorang senopati pilih tanding kerajaan Khadiri.”

            “Hmm…rupanya kau sudah tahu siapa aku,” Panji Sumekar memberanikan diri menatap mata pemuda itu. “Sekarang sebut siapa namamu agar tak menyesal jika aku mencabut nyawaku.”

            Tawa pemuda itu kembali menggema. Bukan tawa biasa. Tawa itu mengandung wibawa dan kekuatan tenaga dalam yang amat dahsyat. Tumenggung Rupayana dan Panji Sumekar dapat merasakannya.

            “Jangan bercanda senopati. Kau tentunya pernah mendengar tokoh dunia persilatan yang tangguh semacam Gagak Gumilang. Dia dapat dengan mudah aku kalahkan. Kau tentunya bisa mengukur diri.”

            Gigi Panji Sumekar bergemeretuk. Dia merasa dilecehkan. Kedua tangannya mulai mengepal dengan geram.

            “Atau begini saja,” kata pemuda itu. “Aku punya sebuah permainan menarik. Kita akan berperang tanding. Kalau kau bisa membuka cadarku, aku akan membiarkanmu hidup.”

            “Baiklah, aku terima tantanganmu!” teriak Panji Sumekar.

       Senopati muda itu menyarungkan pedangnya, lalu mengambil ancang-ancang. Tangannya diangkat ke atas, mata terpejam, dan kaki kanan di hentakkan ke tanah tiga kali. Mulutnya komat-kamit membaca mantra.

            Sementara itu, Tumenggung Rupayana mundur beberapa langkah untuk menyaksikan pertarungan dari jarak jauh. Tak berapa lama kemudian…Tubuh Panji Sumekar melenting di udara, kemudian menghujani Singa Padang Karautan dengan pukulan dan tendangan. Namun pemuda bercadar itu bergeming. Dia tak menggeser posisinya. Dengan mudah dia menangkis gelombang serangan Panji Sumekar dengan kedua tangannya.            Setelah sekitar sepuluh jurus tanpa hasil. Panji Sumekar segera melenting ke belakang dan menyiapkan jurus baru.

            “Lumayan juga ternyata kau Panji Sumekar,” kata pemuda bercadar itu. “Tapi Aji Sapu Angin tidak banyak artinya bagiku. Ayo kerahkan seluruh kemampuanmu!”

            Tumenggung Rupayana yang mengamati pertarungan itu bisa menebak kalau Panji Sumekar akan mengeluarkan salah satu jurus andalannya: jurus sri gunting. Tumenggung itu manggut-manggut seolah mengiyakan bahwa itulah salah satu cara agar senopatinya itu bisa membuka cadar pemuda misterius itu.

            Panji Sumekar melesat di udara, tetapi tanpa diduga pemuda iru menyongsongnya terbang menangkis serangannya. Senopati muda itu terkejut sesaat, namun dia segera menyerang kembali dengan jurus-jurus sri gunting. Sementara pemuda itu juga bergerak di udara dengan gagah bagaikan seekor burung elang, menyambar-nyambar untuk mematahkan serangan lawannya. Sumekar meningkatkan bobot serangannya tetapi masih juga belum mampu menembus benteng pertahanan lawan. Lima belas jurus berlalu, dalam sebuah kesempatan tiba-tiba pemuda itu berhasil menghantam dada Panji Sumekar. Senopati itu jatuh terlempar beberapa batang tombak. Namun dengan senopati andalah Ganter itu berusaha tetap berdiri di atas kedua kakinya. Dia merasa dadanya agak sesak dan mata berkunang-kunang. Namun dia segera bisa menguasai. Luar biasa, pukulannya sangat kuat. Selain itu, ilmu meringankan tubuhnya jauh di atas Aji Sapu Angin yang dikuasainya. Gigi Panji Sumekar bergemeretuk, digenggamnya erat pedang yang terselip di pinggang.

            “Ayo, tidak usah ragu-ragu. Cabut saja pedangmu,” tantang pemuda itu.

            Panji Sumekar meloloskan pedangnya. Sementara dari kejauhan Tumenggung Rupayana diam-diam menyiapkan ajian kalau-kalau senopatinya itu terdesak atau nyaris celaka. Kendati itu perang tanding, dia tidak rela kalau anak buah andalannya itu mati begitu saja oleh orang tak dikenal.

            Pertarungan bertambah seru. Panji Sumekar menyerang dengan jurus-jurus pedang yang amat berbahaya. Sebaliknya pemuda yang dijuluki Singa Padang Karautan itu berkelebat ke sana-ke mari dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa. Beberapa jurus berlalu. Tak satu pun dari serangan Panji Sumekar yang mengenai sasaran. Namun suatu ketika sabetan pedang senopati itu sedikit merobek cadar pemuda aneh itu. Kendati tak sampai wajahnya tersingkap, Singa Padang Karautan tampak geram. Secepat kilat dia melenting ke belakang, menggosok-gosokkan kedua tangannya di udara sambil komat-kamit. Selama satu dua detik Panji Sumekar sempat terdiam. Sebaliknya, tanpa membuang waktu pemuda maju lagi. Kali ini berbalik menyerang dan menghantam tangan Panji Sumekar yang memegang pedang hingga pedang itu jatuh. Singa Padang Karautan menarik napas dalam-dalam dan mengarahkan pukulan ke dada Panji Sumekar. Pada saat itulah benturan hebat terjadi.

            Blaar!

            Terdengar seperti suara petir menggelegar. Singa Padang Karautan terjengkang ke belakang beberapa langkah. Dia tetap berdiri tegak. Namun cadarnya secara tak sengaja tersingkap. Sementara di pihak lain, ternyata yang terpental bukannya Panji Sumekar, melainkan Tumenggung Rupayana. Dia jatuh dalam posisi terduduk sambil terbatuk-batuk. Rupanya tadi sang tumenggung menghadang serangan yang diarahkan ke Panji Sumekar.

            “Kau curang, Tumenggung,” pemuda itu amat kesal. “Bukankah kau tahu kalau ini perang tanding, dan kau tak boleh ikut campur?”

            “Aku hanya berusaha menyelamatkan nyawa anak buahku,” kata sang tumenggung dengan terbatuk-batuk. “Kalau aku tidak ikut campur, dia bisa menemui ajalnya di sini.”

            Suasana hening sesaat. Hening tapi tegang. Tumenggung Rupayana berusaha mengatur napasnya. Dia tidak mengira pukulan pemuda itu bisa mengalahkan aji brajamsuti miliknya. Kemudian dia berkata lagi.

            “Ilmumu luar biasa anak muda. Katakan siapa kamu dan siapa gurumu!”

            Singa Padang Karautan tertawa keras. Tumenggung dan senopati mengamati wajah pemuda itu. Pemuda yang gagah dan tampan. Kulitnya putih bersih dan badannya kekar. Tingginya sedang. Sedikit lebih pendek dibandingkan Panji Sumekar.

            “Dengar para gedibal Kadhiri. Para cecunguk Dandang Gendhis,” kata pemuda itu sinis. “Aku tak punya guru. Guruku alam semesta dan para dewata sendiri. Dia Padang Karautan inilah aku menempa diri dan mengolah jiwa raga.”

            Tumenggung Rupayana bisa merasakan ketajaman dan wibawa dari kata-kata pemuda itu. Dadanya berdetak keras. Mungkin itu disebabkan benturan tenaga dalam yang dahsyat tadi. Ditambah lagi dengan kata-katanya yang tajam dan mengandung wibawa yang kuat. Tumenggung mencoba menatap mata pemuda tetapi dia merasa seperti kalah wibawa. Kemudian dengan kekuatan batinnya, dia melihat sesuatu yang bersinar dari dahi pemuda itu. Sinar putih bersemu kuning keemasan. Lalu dia beranikan bertanya pada pemuda itu.

           “Siapa namamu dan dari mana asalmu, anak muda?”

           Pemuda itu tersenyum ramah.

           “Baiklah, agar kalian tidak penasaran. Dengar baik-baik. Namaku A-rok. Ken Arok. Asalku?”

            Arok tidak langsung menjawab. Dia tersenyum lebar, kemudian mendekati sang tumenggung.

            “Ingatkah kau peristiwa yang kau alami bersama sahabatmu yang sekarang tinggal di Pakuwon Tumapel?”

            Tumenggung Rupayana mencoba mengingat-ingat peristiwa yang dimaksud anak muda di hadapannya itu.

            “Konon itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu. Di lereng Gunung Kawi. Tanyakan kepada sahabatmu itu, Arya Pulung, apa yang telah terjadi kepada Astia, kembang dukuh Pangkur.”

            Astia? Tumenggung Rupayana mencoba memeras ingatannya. Namun sebelum dia bisa mengingat dengan jelas semuanya. Ken Arok berkata lagi.

            “Sudahlah. Pergilah kalian dari sini. Bersyukurlah aku tidak membunuh kalian. Jangan coba-coba berpikir menangkap aku. Katakan kepada para petinggimu…Mahisa Walungan, Guber Baleman, bahkan Dandang Gendhis sendiri. Kalau mereka ingin menangkapku, bawalah pasukan segelar sepapan. Kalau cuma mengirim orang seperti kalian, jangan mimpi!”

        “Ambillah kuda, Panji Sumekar. Bonceng aku. Aku tak sanggup berkuda sendiri.”             “Baik, Gusti.”

            Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di atas punggung kuda.

           “Pergillah sebelum akau berubah pikiran,” kata Ken Arok setengah memerintah.                     “Selamat tinggal anak mas, Ken Arok,” kata Tumenggung Rupayana.

            Ken Arok diam tak menjawab. Panji Sumekar segera menghentakkan tali kekang dan memacu kuda dengan keras. Setelah jarak beberapa batang tombak, mereka mendengar sebuah auman keras. Itulah auman Singa Padang Karautan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Abdul Mukhid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler