x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Rabu, 1 Februari 2023 19:30 WIB

Percakapan Imajiner (44)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melepaskan 

 

Terkadang melepaskan adalah sebaik-baiknya mencintai. Membiarkan mimpi terbang, jauh dan semakin jauh, tak terengkuh.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Katanya, kita tak harus bersama, kan? Perempuan itu mengangguk mengerti, sekalipun tubuhnya menggigil menahan dingin yang tiba-tiba memeluknya.  

Di dalam laci, surat-surat cinta tumpang tindih di antara harap dan debu setebal buku jariku. Lalu, pada Desember nanti saat lonceng gereja bernyanyi, perempuan itu hanya akan mendengar kudusnya sepi, dan sebuah sajak yang menahan nyeri.

 

 

 

*** 

 

 

Katanya, rindu pintar memanfaatkan waktu

 

Katanya, rindu pintar memanfaatkan waktu. Dan benar, sekeras apa pun aku berusaha melenyapkan, rindu selalu menang. Dibawanya aku pada sebuah padang yang asing, yang hanya ada aku dan ramai pikiranku sendiri. 

Katanya, rindu pintar menaklukkan ruang. Dan benar, sejauh raga pergi ia selalu mengikuti. Serupa bayang-bayang yang jatuh di meja kerja, bangku ruang tunggu bandara, gerbong-gerbong kereta, mendung langit sore, layar ponsel dan buku-buku yang sedang kubaca. Atau tiba-tiba muncul saat seorang teman yang jauh menelpon dan mengabari bahwa dia akan menikah Desember nanti. Dia bilang, "Rindu itu berkat sekaligus kutukan, sayang. Jika terlalu berisik, maka tenangkanlah dengan doa-doa." 

Aku ingin menjadi kanak-kanak yang sederhana, yang tak mengenal rumitnya rasa. Suka atau tidak suka, tak ada lara. Berlari dan bermain sepuasnya, menjalani cinta tanpa syarat apa-apa. 

Suatu pagi sebelum subuh kutemukan rindu yang menjelma udara dalam kamarku, mungkin disusupi cemburu, menyesàkkan. Hey, di sana kulihat senyumnya, jantungku berdegub keras sekali! Tiba-tiba ia berkata, "Menguatlah dalam terjangan gelombang, dalam benturan demi benturan yang menyakitkan, dalam angin jauh yang menarik ulurkan harapan. Hati kita adalah kesucian milik-Nya, kita hanya sedang berusaha untuk layak membaginya dengan seseorang yang tepat. Jangan memaki ya, Dien. Jangan menangis karenanya. Jangan membuatnya semakin kering oleh kesedihanmu. Menguatlah, Dien, menguatlah demi apa-apa yang telah kau bisikkan dalam Novena setiap malam. Demi racikan bahagia yang sempurna. Demi cinta yang menghidupkan sekaligus membunuh kutukan. Entah bagaimana nanti, kumohon jangan menyerah. Jangan." 

Ah rindu, aku menangis... 

Semesta, bolehkah pelukan itu untukku? Sebentar saja. Ingin kucuri hangatnya, lantas menyimpannya diam-diam, dalam-dalam. Dan kepada usia yang terus berkurang, jika tidak sekarang, nanti pasti akan kita temukan di mana hari berlalu tanpa kecemasan dan pertanyaan, "Kau apakah mencintaiku"? 

 

010818

 

 

***

 

 

Gelang 

 

Malam ini aku tersenyum memandang gelang-gelang di dalam kotak kecil, pemberian seseorang dari kota jauh. Gelang yang pernah kuinginkan. Dan untuk yang ke lima kalinya, kubaca surat yang terselip di antara gelang-gelang itu. 

"Sengaja kukirimkan banyak warna meski aku tahu kau menyukai merah dan hitam. Semua hasil tanganku sendiri. Yang biru itu juga spesial, semoga kau suka. Jangan lupa mengingatku ya." 

Dan benar, dengan gelang itu aku mengingatmu lebih banyak dari biasanya. 

“Tetaplah di sana, Dien, di tempat yang bisa kulihat. Jangan pergi tanpa mengabari, bahagia atau tidak, aku selalu ada untukmu." 

Pada getir rasa, aku tersenyum. Mencoba berdamai dengan apa-apa yang meninggalkan luka. 

 

 

*** 

 

 

Pertemuan kita, singkatnya seperti ini.. 

 

Pertemuan kita, singkatnya seperti ini.. 

"Hai.." 

"Hai.." 

"Masih ingat padaku?" 

"Bagaimana bisa aku lupa?" 

"Oh, thanks. Kabarmu?" 

"Seperti yang kamu lihat. Kamu sendiri apa kabar?" 

"Lumayanlah." 

"Oh.."

 

Lalu sepi. Percakapan terhenti. Masing-masing kepala seramai ibukota, sesibuk jam kerja, serumit perasaan berpura-pura. Lalu gerimis datang. Sebelum berlari menuju mobilnya, diberikannya aku pelukan seraya berkata, "Untuk menggugurkan rindu, Dien." Lalu gerimis jatuh di mataku, satu-satu. 

 

 

 

*** 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler