x

Sumber ilustrasi: ft.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 6 Februari 2023 20:16 WIB

Ketika Dusta

Orang datang padaku dan meminta agar keinginan mereka dikabulkan. Apakah mereka tak tahu bahwa percuma saja berbohong? Tapi aku tak suka kebohongan, karena aku bisa melihat kebenaran. Umumnya mereka datang, duduk dan menceritakan kisah-kisah mereka yang penuh dengan kepalsuan bersalut gula. Oh, aku tetap dapat mengabulkan keinginan mereka. Sayangnya mereka tak tahu risiko apa yang didapat dengan berbohong.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Orang datang padaku dan meminta agar keinginan mereka dikabulkan. Apakah mereka tak tahu bahwa percuma saja berbohong? Tapi aku tak suka kebohongan, karena aku bisa melihat kebenaran.

Umumnya mereka datang, duduk dan menceritakan kisah-kisah mereka yang penuh dengan kepalsuan bersalut gula. Oh, aku tetap dapat mengabulkan keinginan mereka. Sayangnya mereka tak tahu risiko apa yang didapat dengan berbohong.

Perempuan itu datang dengan suaminya. Meski aku tak pernah mengikuti gosip infotainment, aku tahu siapa mereka. Perempuan itu menangis dengan anggun, mungkin seperti adegan-adegan sinetron yang diperankannya. Dia kehilangan cincin berlian pemberian suaminya, pewaris tunggal orang terkaya versi mingguan bisnis lokal. Sang suami menjelaskan bahwa ia telah melaporkan ke polisi. Persetan dengan sang suami.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Anda yakin menginginkan cincin itu kembali?” tanyaku pada si wanita.

“Tentu saja. Cincin itu saya dapatkan dari rumah lelang Sotheby!” tuntut sang suami.

Aku mengabaikannya.

"Apakah Anda benar-benar ingin mendapatkan kembali cincin itu?" kembali aku bertanya pada si istri.

"Tentu saja," katanya masih terisak-isak tanpa air mata. "Saya tak tahu, bagaimana cincin itu bisa hilang!"

Sang suami melingkarkan lengannya di pundak istrinya, menatapku lurus dan berkata bahwa dia akan membayar berapapun yang saya minta asal cincin yang hilang itu dapat ditemukan.

"Baiklah. Malam ini cincin itu akan ditemukan," kataku mendesah.

Wanita itu tersenyum. Dia tak sadar harga yang akan dibayarnya sangat mahal. Harga untuk sebuah kebohongan pasti mahal. Aku tak mungkin membuat semua orang senang.

Klien berikutnya seorang ayah dengan putrinya yang masih remaja. Sang ayah menunjukkan foto seorang pemuda tampan, calon menantunya. Aku tak tertarik. Dengan melihat foto saja, aku bisa mengetahui masa lalu seseorang hingga memprediksi masalah apa yang akan ditemuinya di masa depan. Aku lebih memusatkan perhatianku pada dada sesak dan nafas memburu penuh amarah si gadis remaja.

"Apa yang kau inginkan?" aku bertanya padanya.

Gadis itu hanya diam, menundukkan wajahnya menatap keramik lantai. Pikirannya berputar-putar seperti lubang hitam yang sewaktu-waktu dapat meledak bagai super nova, tapi ia tak mampu mengungkapkannya menjadi kata-kata. Aku melihat sekuntum kuncup bunga bintang tumbuh dalam jiwanya. Ini kesempatanku.

"Baiklah," kataku. "Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan."

Dia mengangkat kepalanya, menatapku penuh tanda tanya.

"Kamu akan kuliah," aku menjelaskan.

Ayahnya menatapku tak percaya, sebelum akhirnya tersentak bagai tersadar dari sebuah mimpi.

"Tentu saja," bisiknya.

Kemudian dia menyobek-nyobek foto yang tadi disodorkannya padaku dan membuangnya ke dalam keranjang sampah. Gadis itu melongo. Dia memandangku kebingungan. Kuncup putih kecil itu meledak menjadi bintang cemerlang. Aromanya yang semerbak mengisi relung hatiku, membuatku bahagia karena menemukan sebuah kejujuran.

Menjelang malam, aku mendapatkan pengunjung terakhir hari ini. Dia datang berdua dengan tukang pukulnya yang ditinggalkan berjaga di luar. Wajahnya sering muncul di televisi dan koran.

Dia tersenyum padaku, memandang sekeliling ruang kerjaku dan duduk di depanku bagai seorang raja menempati singgasana dan aku hanyalah seorang hambanya.

"Saya mendengar bahwa Anda adalah seseorang yang dapat mengabulkan keinginan menjadi kenyataan."

"Memang."

"Bisakah Anda menjadikan saya Presiden?”

Aku memutuskan untuk diam beberapa saat untuk membuatnya tegang sementara aku berpikir.

"Tidak," akhirnya aku menjawab. " Harga yang harus dibayar terlalu tinggi. "

Dia tertawa terkekeh-kekeh. Ketegangannya langsung mencair. Aku melihat bayangan naga di belakangnya.

"Tidak ada harga yang terlalu tinggi. Sebutkan berapa yang Anda minta."

"Aku tak butuh uang. Harga yang aku maksud adalah, seumur hidup harus melakukan kebenaran dan hanya kebenaran. Tidak ada lagi kebohongan. "

Dia tersenyum.

"Saya orang jujur."

"Anda setuju untuk melakukan kebenaran seumur hidup?"

"Tentu saja," katanya, menunjukkan giginya yang rapi hasil ortodontist terbaik yang bisa dibayar dengan uang. Kunjungan ke puskesmas hanyalah kamuflase.

Auranya berbau busuk.

"Hanya itu? Aku bisa membayar lebih."

"Ingat," kataku, "setelah permintaan disetujui tidak boleh dibatalkan."

"Jadi Anda benar-benar bisa mengabulkannya, menjadikan saya Presiden?”

"Pasti," jawabku padanya. Deal. Ia telah mengunci takdirnya, sudah bukan tanggung jawab saya lagi untuk seterusnya.

***

Aku lelah, sungguh-sungguh lelah lahir dan batin. Aku muak dengan bau lendir kebohongan yang meleleh di seluruh jalanan kota. Saatnya aku harus pergi.

Lewat tengah malam nanti, perempuan itu akan datang dengan wajah pucat membawa tangis yang lebih keras dari tadi. Tangis yang muntah dari hatinya yang busuk. Ia akan menggedor pintu rumahku dengan cincin berlian di jari manisnya. Cincin yang dikembalikan oleh polisi setelah menangkap seorang lelaki—pria pengeretan selingkuhannya—yang menerima pemberian cincin itu darinya. Dia akan menggedor pintuku sampai buku jarinya berdarah dan airmatanya mengering, tapi tak akan ada yang membukakan pintu untuknya.

Setelah menjadi presiden, politikus itu akan mencariku ke seluruh sudut-sudut bumi. Para sponsornya akan membunuhnya ketika ia tak lagi mampu berbohong. Negara akan menjadi sedikit lebih baik, tapi dia akan membenciku dan membongkar setiap celah-celah untuk menemukanku. Dia tak akan berhenti mencariku sebelum mati.

Aku mengepak tas perjalananku dan melupakan mimpi-mimpiku tentang sebuah rumah yang nyaman. Bagiku tidakkan pernah ada rumah, tidak juga kampung halaman.

Aku melangkah menuju gelap malam berusaha tak mengganggu tidur satu manusia pun, menyelinap menuju lintasan rel kereta, menunggu lokomotif lambat yang menghela gerbong pengangkut sapi yang akan menjadi tumpanganku. Aku akan menuju ke kota entah, menjadi aku yang baru sampai akhirnya timbunan kebohongan di sana membuatku tak betah dan kembali mengepak tas, melangkah menuju gelap malam, menyelinap menuju lintasan rel kereta menunggu lokomotif lambat menghela gerbong pengangkut sapi, berusaha tak mengganggu tidur satu manusia pun.

Dunia ini bukan tempat untuk orang-orang yang menyukai kebenaran sepertiku.

Dunia milik mereka para pembohong.

 

Bandung, 10 Maret 2017 - 6 Februari 2023

 

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB