x

image: Blog Unik

Iklan

Astria Prameswari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 November 2021

Kamis, 23 Februari 2023 19:21 WIB

Apa Susahnya Bersepakat?

Tidak ada yang susah dalam menyusun kesepakatan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

APA SUSAHNYA BERSEPAKAT?

 

Saya malas mengajar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya enggan masuk kelas.

Mengapa siswa saya bandel dan tidak mau menurut?

Mengapa tugas yang saya berikan tidak pernah maksimal dikerjakan oleh siswa?

 

Bapak dan ibu guru pernah mengalami rasa kesal dan sebal, bukan? Lantas siapa yang harus disalahkan? Terkadang para guru menumpahkan kekesalannya kepada siswa karena dianggap bandel dan tidak mau menurut instruksi guru. Apakah benar pelabelan bandel tersebut dan kesalahan hanya akibat sikap siswa?

Tulisan ini tidak bertendensi memihak pihak manapun. Alangkah baiknya jika persoalan rendahnya motivasi belajar siswa, rendahnya motivasi mengajar guru, tidak sekadar menjadi bumbu aromatik diskusi ala-ala di tengah perbincangan para guru. Bahkan seringkali persoalan ini menjadi kalah pamor dibandingkan debat kusir topik kurikulum, kesejahteraan guru, regulasi ini dan itu. Motivasi belajar hanya jadi buntut persoalan pembelajaran.

Motivasi belajar tidak terlalu penting. Salah! Siswa selaku subjek belajar akan memiliki hasil belajar yang optimal jika memiliki motivasi belajar yang tinggi. Terasa muluk-muluk hanya sekadar mengedepankan kehebatan guru dalam berorasi di depan kelas, tetapi siswanya tidak menyukai performa kapten kelasnya. Berlebihan juga jika hanya koar-koar tentang model, metode, materi, media yang keren, tetapi tidak pernah ingin mengetahui seberapa mau siswa untuk mengikuti alur belajar guru. Seberapapun besar energi yang dikeluarkan guru untuk merancang pembelajaran, tetapi siswa menolak, apa hasilnya selain lelah?

Apa lagi yang kerap dijadikan kambing hitam? Padatnya jam mengajar menjadi salah satu alasan yang dipakai oleh guru. Selanjutnya, posisi jam mata pelajaran seperti jam-jam terakhir pun menjadi alibi guru untuk tidak dapat membuat siswa bersemangat dalam belajar. Akhirnya guru mendapatkan penolakan-penolakan di dalam kelasnya sendiri.

Motivasi belajar tidak sekadar terlihat pada siswa yang dapat tertawa saat pembelajaran. Pembelajaran yang hanya haha hihi dan membuat siswa santai sering disalahpahami sebagai pembelajaran yang memotivasi siswa dan menyenangkan. Akan tetapi, saat belum ada hasil belajar yang tampak nyata tentu pembelajaran tersebut belum dapat dikatakan sebagai pembelajaran yang berhasil.

Mari kita berkenalan dengan kata kesepakatan dalam pembelajaran. Bersepakat memiliki hubungan dengan optimalisasi hasil belajar. Kesepakatan ini dibangun secara bersama-sama oleh guru dan siswa. Guru dapat menawarkan kontrak pembelajaran di awal semester. Kontrak tersebut berisi lamanya proses pembelajaran, cara mempelajari materi ajar, variasi media belajar yang akan dipakai, sampai dengan bentuk penugasan yang dijalani oleh siswa. Kesepakatan dapat dibangun sesuai kondisi dan kompetensi kelas. Siswa dapat mendiskusikan kemampuan belajar dengan tawaran guru. Kesepakatan yang terbangun secara demokratis akan menjadikan siswa lebih dewasa dan percaya diri dalam mengambil keputusan dalam belajar.

Apa jadinya jika kelas yang tidak mampu menjalani penilaian secara Computer Based Test atau asesmen digital lalu guru tiba-tiba melakukan Penilaian Harian menggunakan aplikasi asesmen digital? Apa jadinya jika kelas tidak mampu mencerna teks-teks tertentu untuk dipelajari, tetapi guru memaksakan teks tersebut untuk dapat dianalisis? Apa jadinya kelas yang dipaksa belajar menggunakan variasi sumber belajar semisal buku paket, modul ajar, atau sumber lain, tetapi kelas tidak berdaya secara ekonomi? Di mana posisi suara siswa untuk dapat mempertimbangkan semua ini?

Tampaknya kita perlu selangkah untuk lebih dekat dengan andragogi. Andragogi atau pembelajaran orang dewasa ini merupakan pendekatan belajar yang lebih melibatkan siswa dalam menentukan alur pembelajaran. Siswa diposisikan sebagai orang dewasa yang berhak memiliki keputusan untuk mendampingi keputusan guru. Dengan demikian, segala ilmu pengetahuan yang didapatkan siswa bukan atas hasil pemaksaan guru kepada siswa. Namun, juga merupakan hasil keputusan siswa.

Kesepakatan ini berbeda dengan aturan. Aturan dibuat oleh salah satu pihak dan bersifat sebagai suatu keharusan. Jika tidak dipatuhi, maka akan ada sanksi. Seringkali sanksi tersebut juga menjadi bentuk pemaksaan kepada siswa.

Di sisi lain, bersepakat juga perlu dilakukan secara disiplin oleh guru dan siswa. Misalnya, kesepakatan untuk tidak boleh terlambat tidak hanya dilaksanakan oleh siswa, tetapi juga oleh guru. Pembelajaran akan dilakukan pada pukul 07.00 dan jika ada pihak yang terlambat, perlu dilakukan kesepakatan. Pihak guru menawarkan kesepakatan A dan siswa dapat mempertimbangkannya. Pihak siswa juga berhak menawarkan kesepakatan lain terkait keterlambatan. Siswa dilatih untuk berani menentukan keputusan yang dapat diperrtanggungjawabkan.

Kesepakatan yang juga dirancang oleh siswa diharapkan dapat bermanfaat bagi peningkatan motivasi belajar. Kesadaran internal siswa untuk belajar dan mempertimbangkan segala konsekuensi yang muncul, dapat bertumbuh dengan lebih baik. Kesepakatan ini hanyalah persoalan menjalin komunikasi dengan siswa. Apa susahnya?

 

Ikuti tulisan menarik Astria Prameswari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler