x

Iklan

Astria Prameswari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 November 2021

Rabu, 28 Februari 2024 06:59 WIB

Omon-Omon Kampanye untuk Guru

Kampanye para capres di 2024 sangat banyak. Salah satunya menyinggung tentang permasalahan guru. Janji-janji kampanye seperti peningkatan kesejahteraan guru masih menjadi iming-iming menarik bagi para guru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap perhelatan pesta demokrasi, guru selalu menjadi sasaran empuk janji-janji kampanye para kampanye. Entah itu pemilihan kepala daerah hingga pemilihan orang nomor satu di negeri ini alias pemilihan presiden, selalu ada janji manis kepada para guru. Janji apa yang paling populer diteriakkan? Kami akan menaikkan gaji guru, Kami akan sejahterakan para guru, Kami akan perhatikan beban kerja guru. Akan tetapi, tahu sendiri bagaimana kenyataannya?

Tahun 2024 bukanlah era purbakala yang dunia masih memiliki rumah dari batu, makan dedaunan hasil kebun belakang rumah, menyembelih ayam hasil peliharaan nenek. Ya, 2024 adalah tahun di mana dunia sudah bermain artificial intelligence, bermain augmented reality. Semua realitas-realitas teknologi yang juga diwajibkan dikonsumsi dan dikuasai oleh para guru di Indonesia. Mari, kita amati bahwa regulasi pendidikan terbaru rasa-rasanya sangat akrab dengan penggunaan aplikasi-aplikasi dan teknologi digital! Kalau tidak mengakses aplikasi tertentu, guru akan dikatakan gaptek, tidak mau adaptasi, malas belajar, dan sebutan-sebutan lainnya. Sebutan yang mengarah pada stigma bahwa guru Indonesia adalah profil pendidik yang malas belajar.

Guru yang tidak mengakses Portal Merdeka Mengajar akan mendapat pertanyaan, Kemana saja selama ini? Masak aplikasi begitu saja tidak bisa akses? Ah, ketinggalan informasi kalau tidak baca konten PMM. Ada lagi yang bisa menambahkan? Oh ya, ada lagi! Punya HP dipakai dong untuk yang bermanfaat. Hati-hati tidak buka PMM dicatat kepala sekolah. Guru yang tidak pernah buka PMM akan dihentikan tunjangan sertifikasinya. Aduh!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para guru bukan malas. Mereka hanya kekurangan motivasi yang bersumber dari urusan dana. Guru yang ada di daerah 3-T tentu tidak akan memprioritaskan menggunakan media pembelajaran digital atau mengakses aplikasi semacam PMM. Mereka butuh perangkat seperti ponsel, laptop, dan komputer yang pertanyaan berikutnya menjadi uangnya dari mana? Guru daerah 3-T akan lebih memilih membujuk para siswanya yang enggan datang ke sekolah daripada sibuk ikut webinar atau pelatihan-pelatihan yang berbuntut menguber sertifikat saja. Guru-guru itu sudah kehabisan energi untuk menempuh puluhan kilometer agar dapat datang ke tempat mengajar. Mereka juga kehabisan motivasi saat akan mengajar di sekolah, tetapi tidak ada aliran listrik apalagi jaringan internet, keterbatasan buku pelajaran, dan sulitnya menghadapi medan jalanan yang aduhai. Sekali lagi harus disampaikan bahwa para guru itu bukanlah orang malas.

Selanjutnya muncul pertanyaan apakah ada pihak yang benar-benar peduli menggali problem guru Indonesia dengan sejujur-jujurnya? Jikalau ada, maka apakah ada yang benar-benar memikirkan jalan terbaik untuk para guru? Jalan keluar yang tentunya bukan sekadar omon-omon. Para guru sudah kenyang dari zaman menteri A sampai menteri Z selalu menyantap sajian janji-janji yang berkaitan dengan kesejahteraan.

Contoh janji-janji yang didengar para guru saat kampanye presiden pada Februari kemarin. Janji pertama, Kami akan berikan tambahan gaji untuk setiap guru sebesar dua juta rupiah setiap bulan untuk setiap guru. Janji kedua, Kami akan kurangi beban administrasi guru-guru. Janji ketiga, Kami akan berikan beasiswa pada anak-anak guru dan dosen. Janji-janji lainnya, Para guru akan ditingkatkan kompetensinya dengan diikutkan berbagai pelatihan dan seminar. Janji-janji yang layak diapresiasi seandainya memang betul-betul terwujud dengan adil dan merata.

Ayo, kita bicarakan tentang salah satu janji tentang peningkatan kompetensi guru! Kita semua sudah mengenal adanya Program Guru Penggerak (PGP). Program pelatihan pada guru-guru tertentu yang lolos seleksi untuk belajar selama enam bulan sehingga saat selesai pelatihan mendapat gelar Guru Penggerak. Program yang sebenarnya bagus, tetapi pada kenyataannya justru menjadi program yang diselewengkan oleh beberapa pihak. Para guru yang akan maju sebagai Calon Guru Penggerak harus mendapat persetujuan kepala sekolah sebagai pemberi rekomendasi. Akibatnya, hanya guru-guru yang disenangi kepala sekolah yang boleh maju untuk mengikuti seleksi. Apalagi muncul kebijakan bahwa para Guru Penggerak adalah pihak yang lebih berhak menjadi kepala sekolah. Akhirnya, program ini menjadi program rebutan sampai banyak yang rela membayar agar dapat lolos dalam Program Guru Penggerak ini. Tujuan utama untuk peningkatan kompetensi guru, tetapi diikuti dengan tidak meratanya hak kompetensi itu kepada seluruh guru, mungkin akan lebih baik jika dipikirkan alternatif jalan keluar lain. Misalnya, dengan adanya pelatihan-pelatihan yang dapat diikuti oleh seluruh guru di Indonesia tanpa terkecuali. Mengapa demikian? Ingatlah bahwa ada hak siswa untuk mendapatkan ilmu berkualitas dari para guru berkualitas dan kompeten juga. Apakah hanya siswa dari Guru Penggerak saja yang berhak mendapat kualitas pembelajaran? Tentu tidak. Semua siswa di seluruh Indonesia sangat berhak mendapat pembelajaran dan guru yang kompeten.

Janji tersebut setali tiga uang dengan upaya pemberian beasiswa pascasarjana bagi guru. Sebut saja Beasiswa Pendidikan Indonesia yang dikelola secara kolaboratif antara LPDP dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beasiswa yang bertujuan memberikan hak peningkatan kompetensi ternyata mendapatkan ketidaksepakatan di level kepala sekolah dan dinas pendidikan. Guru tidak perlu kuliah S2 dan S3, memangnya mau jadi dosen? Mohon bantu para guru, dong! Sudahi masalah mereka yang bertubi-tubi dengan memasukkan program logis yang diikuti aksi riil yang langsung menjadi jalan keluar bagi guru.

Masalah gaji guru juga rasanya bosan untuk dibahas. Tahun 2024 yang masyarakatnya ramai memamerkan ponsel Iphone, eh ternyata masih ada guru di Indonesia yang mengayuh sepeda butut saat akan menuju sekolah. Era kebangkitan teknologi, tetapi masih dihiasi amplop berisi rapelan gaji guru 3 bulan berisi 425 ribu. Gaji yang diiringi doa kebaikan, Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Ikuti tulisan menarik Astria Prameswari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu