x

ilustrasi bullying

Iklan

Astria Prameswari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 November 2021

Rabu, 5 April 2023 06:14 WIB

Stop Perundungan dan Tegakkan Pembelajaran Berdiferensiasi

Banyak contoh salam kasus perundungan pihak sekolah turut serta di dalamnya. Seringkali pengawasan guru dan warga sekolah sangat lemah saat terjadi perundungan di area sekolah. Pihak sekolah kerap mengaku tidak tahu jika terjadi perundungan. Mereka baru kelabakan saat korban melaporkan dan kasusnya diketahui publik. Mengapa harus menunggu laporan dahulu untuk menangani kasus perundungan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia sedang darurat perundungan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2022 melaporkan sepanjang tahun itu terdapat lebih dari 226 kasus kekerasan terhadap anak yang juga disebabkan oleh perundungan. Jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat hingga 2023.

Sebut saja kasus siswa SD di Banyuwangi yang bunuh diri karena sering diejek tidak memiliki bapak oleh teman-teman sekolahnya. Ada juga kasus perundungan siswa SMA di Ciwidey, kasus perundungan siswa SMP di Malang yang dilakukan oleh teman sendiri.

Kasus terbaru yang tersebar di media sosial menunjukkan kasus perundungan juga dilakukan oleh guru. Dalam sebuah video yang beredar terlihat tayangan seorang guru perempuan menampar siswa SMA yang ketahuan merokok. Selanjutnya, guru tersebut mengajak siswa lain ikut menampar temannya tersebut. Apa yang salah sebenarnya dengan berbagai kejadian tersebut?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perundungan adalah segala bentuk kekerasan yang diberikan kepada orang lain dalam bentuk verbal atau nonverbal. Perundungan verbal misalnya ejekan, sindiran, ucapan sarkas, cibiran, dan lain-lain. Perundungan verbal biasanya akan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi, yakni perundungan nonverbal atau kekerasan fisik. Misalnya, pukulan, tendangan, tamparan, bahkan keroyokan beramai-ramai. Perundungan itu biasanya dikenakan kepada pihak yang cenderung lemah, sendiri, dan tidak mampu melawan.

Sayangnya, dari berbagai contoh kasus perundungan di atas pihak sekolah turut serta di dalamnya. Seringkali pengawasan guru dan warga sekolah sangat lemah saat terjadi perundungan di area sekolah. Pihak sekolah tidak jarang menyatakan tidak tahu jika terjadi perundungan. Mereka baru akan turun tangan saat korban melaporkan yang dialaminya. Mengapa harus menunggu laporan dahulu untuk menangani kasus perundungan? Tindakan preventif edukatif seharusnya dilakukan lebih awal oleh sekolah untuk mengantisipasi kejadian perundungan.

Perundungan tidak boleh dianggap remeh oleh siapapun. Dampak gunung es yang kerap diabaikan adalah menyangkut kesehatan psikologis. Dampak ini memang tidak kasat mata sehingga sering dianggap tidak ada. Efek psikologis perundungan bersifat kumulatif. Artinya akan terlihat jelas dalam beberapa saat kemudian. Rasa traumatik korban akan menganggu periode kehidupan selanjutnya. Trauma tidak mau bertemu dengan orang lain, trauma untuk mau bersosialisasi, trauma untuk belajar, dan kesulitan mendapatkan motivasi dalam segala hal. Penanganannya pun bukan hal mudah karena harus melibatkan pihak profesional untuk dapat membantu.

Apapun dalihnya, sekolah tidak boleh menjadi lembaga legitimasi segala bentuk perundungan. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak yang harus menjadi lembaga pelindung dari perundungan. Jargon Sekolah Ramah Anak selayaknya betul-betul terealisasi dengan kolaborasi seluruh warga sekolah. Sekolah Anti Perundungan juga harus terwujud dan dipahami dengan baik oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan siswa.

Salah satu implementasi riil yang dapat dilakukan oleh guru di kelas adalah kompetensi mendalam untuk memahami prinsip diferensiasi siswa. Siswa harus dimaknai sebagai  manusia cerdas yang unik. Kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa tentu berbeda satu dengan lainnya. Apresiasi yang dapat diberikan guru kepada realitas perbedaan tersebut adalah dengan melakukan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran yang memahami segala bentuk perbedaan yang ada di dalam internal siswa sehingga guru mampu menyajikan layanan pembelajaran yang berbeda pula.

Bagaimana melaksanakannya? Pahami bentuk diferensiasi yang dimiliki siswa. Misalnya, perbedaan gaya belajar, perbedaan strata ekonomi yang dapat mempengaruhi keberdayaan akses sumber dan media ajar, perbedaan latar belakang sosial keluarga, dan perbedaan kondisi medis siswa seperti deteksi kebutuhan khusus semacam autis, disleksia, ADHD, dan lain-lain. Guru sebaiknya tidak malas mengenali bentuk perbedaan yang lazim hadir di kelas-kelas.

Setelah mendeteksi bentuk perbedaan yang ada pada siswa, guru berpikir memilih dan memilah materi ajar yang sesuai dengan kondisi per siswa. Sumber ajar pun diperhitungkan agar tidak menjadi beban. Media pembelajaran perlu dipikirkan masak-masak sebelum digunakan untuk siswa. Tidak semua media belajar berteknologi tinggi mampu melayani kebutuhan belajar siswa. Semua harus berdasarkan pengamatan dahulu.

Banyak PR para guru di Indonesia terkait perundungan ini. Guru juga harus menghadapi derasnya arus perkembangan informasi tanpa saringan yang setiap saat dapat mempengaruhi pola pikir siswa. Derasnya gim-gim berbau kekerasan turut andil dalam pergerakan perundungan yang akhir-akhir ini marak terjadi.

Guru harus bekerja keras, bekerja sama, dan terus belajar menghadapi realitas perundungan. Solusi pembelajaran berdiferensiasi tampaknya harus segera dimantapkan agar menjadi salah satu kontribusi guru dalam penanganan perundungan di sekolah. Pembelajaran berdiferensiasi juga dapat memahamkan siswa tentang arti perbedaan.

Ikuti tulisan menarik Astria Prameswari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu