x

Ilustrasi Menghidupi Tempat Ibadah: Pixabay

Iklan

Annisa Nur Fadhillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Maret 2022

Selasa, 7 Maret 2023 14:57 WIB

Tradisi Menulis Ulama Salaf

Bagaimana kita di era kontemporer dan teknologi serba canggih ini? Berapa judul kitab yang telah kita hafal dan telaah? Berapa karya ilmiah yang telah kita lahirkan? Logikanya kita bisa menghasilkan karya ratusan kali lipat prestasi dibanding para ulama terdahulu. Tapi realitasnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Imam Syafi’i -karena sangat miskinnya- menulis catatan ilmiahnya di atas pelepah kurma, tulang unta, bebatuan dan kertas yang dibuang orang. Sampai suatu saat kamarnya penuh sesak dengan benda tersebut dan tidak dapat menjulurkan kakinya ketika tidur. Akhirnya, beliau menghafal semua catatan itu dan benda tersebut dikeluarkan dari kamarnya. Karyanya yang terkenal adalah Al-Umm (fikih) dan Ar-Risalah (ushul fikih). Abu Manshur Muhammad bin Husain -karena sangat fakirnya- menulis pelajaran dan mengulangi bacaannya di bawah cahaya rembulan.

Imam Al-Bukhari tidur diatas tikarnya, bila terlintas di benaknya sebuah masalah, beliau bangun dari tidurnya, mengambil korek api dan menyalakan lampu, kemudian menulis hadis dan memberinya tanda. Ketika beliau menaruh kepalanya untuk tidur, terlintas kembali di hatinya sebuah masalah. Sekali lagi beliau menyalakan lampu kemudian menulis hadisnya dan memberinya tanda.

Hal itu beliau lakukan lebih dari 15-20 kali dalam satu malam. Semangat membara ini melahirkan kitab monumentalnya Shahih Bukhari yang mejadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an, yang ditulis selama 16 tahun. Ibnu Hajar al-‘Asqalani, menulis kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari berjumlah 17 jilid selama 29 tahun. Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menulis kitab Gharibul Hadits selama 40 tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama multidispilin ilmu. Majelis pengajiannya dijuluki dengan Majelis 300 Sorban Besar. Karyanya tersebar dalam berbagai fan ilmu, yang paling fenomenal adalah Ihya ‘Ulumuddin (4 jilid besar).

Imam An-Nawawi, seorang ulama yang sangat menakjubkan. Ia wafat pada usia 45 tahun dan belum sempat berumah tangga. Tapi kitab yang ditulisnya  beratus ribu halaman. Diantara karyanya yang terkenal adalah Al-Majmu’ dan Minhajuth thalibin (kitab fikih standar yang dipakai seluruh pesantren di Indonesia).

Inilah sekelumit semangat membara para ulama salaf yang notabene tidak mengenal media pembelajaran canggih; komputer, internet, infokus dan mesin cetak. Mereka tak mengerti istilah kurikulum yang selalu berganti warna bagai bunglon seperti, CBSA, KBK, KTSP.

Bagaimana dengan kondisi kita di era kontemporer dan teknologi canggih? Berapa judul kitab (buku) yang telah kita hafal dan telaah? Berapa karya ilmiah yang telah kita lahirkan? Logikanya --dengan berbekal media serba luks-- kita bisa menghasilkan ratusan kali lipat prestasi dibanding mereka. Tapi realitasnya, kita justru ketinggalan jauh ibarat jaraknya langit dan bumi. Akankah kita bangkit di tahun baru ini? Jadilah seorang yang kakinya di bumi, tapi semangatnya menjulang di ketinggian langit. Wallahu A’lam bishhsahwab  

*Diambil dari ringkasan terjemah kitab Qimatuzz zaman indal ulama`

           

 

Ikuti tulisan menarik Annisa Nur Fadhillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini