x

Gambar oleh Hans dari Pixabay

Iklan

Almanico Islamy Hasibuan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 November 2021

Jumat, 10 Maret 2023 06:58 WIB

Desember Seperti Kunyit di Gulai Rendang

Seseorang yang menganggap bulan Desember seperti menemukan sepotong kunyit di gulai rendang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

             Aku sudah menyebutkannya di judulku. Bulan Desember itu bagaikan keberadaan kunyit di gulai rendang. Kau sering tertipu oleh bentuknya. Semua orang menantikan untuk menikmatinya, tetapi ada sesuatu, yang mana jika kau belum merasakannya, kau tidak akan mengerti. Aku bukanlah kelompok orang-orang itu. Kunyit itu telah aku gigit, kunyah, dan telan di hari itu.

            “Ayolah, semua orang akan pergi di hari itu!” Semua orang kecuali aku. Mahasiswa juga merupakan kelompok yang menantikan bulan ini. “Duluan saja. Aku punya shift di malam itu,” ujarku. Aku bukannya tidak ingin bergaul dengan Adit, temanku. Aku hanya tidak ingin keberadaanku membuat suasananya menjadi kelam. “Malam Tahun Baru? Kau kerja apa di malam itu?” Dia tetap bersikeras, begitu juga denganku. Dia kemudian pergi membawa pacarnya.

            “Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu?” Aku menambah uang jajanku sebagai pegawai paruh waktu di toko distro. Walaupun kami tutup lebih cepat, tetapi aku harap aku melewatkan malam itu. Namun, kebalikannya malah yang terjadi. Bosku ingin pergi berkencan, jadi dia menutup tokonya lebih cepat. “Hiduplah Andi! Pergi keluar,” ujarnya sambil menutup distronya. Aku hanya tersenyum. Aku akhirnya menghabiskan waktuku minum kopi di warkop.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

             “Aku lebih baik pulang,” ujarku yang melihat jam sudah menunjukkan satu jam sebelum pergantian tahun. Aku kemudian melihat mereka yang berjalan berlawanan arah dariku. Semua tentu saja akan mendatangi acara kembang api di tengah kota pas di jam 12 malam. Mereka bergegas ke arah sana, sedangkan aku bergegas mencari makan malam karena rasa lapar tiba-tiba. Aku harap jam 11 masih ada yang buka. Aku melihat rumah makan nasi padang yang tetap berdiri kokoh.

“Mas, pesan satu dibungkus,” ujarku. Abang itu mengisap panjang rokoknya sebelum membungkus nasinya. “Tinggal rendang?” Kau pasti bercanda.

             “Maaf Andi. Ibumu sudah tidak bisa tertolong,” ujar seorang dokter. Apakah semua ini salahku? “Kerusuhan di malam tahun baru ini memakan lima korban jiwa. Kerusuhan diakibatkan oleh salah satu kembang api yang terjatuh dan membuat semua orang panik,” ujar seorang wartawan. Bagaimana jika aku tidak keras kepala waktu itu? “Aku ingin melihat kembang api bu! Aku tidak ingin diejek oleh kawan-kawanku nanti bu!” Ibuku hanya bisa tersenyum dan akhirnya kami berdua pun pergi. “Aku pulang,” ujarku. Sejak hari itu, ucapanku saat pulang ke rumah selalu disambut oleh kesunyian malam.

             “Mari kita hitung semuanya! Satu! Dua! Tiga!” Aku melihat kembang api yang merah menyala, ledakannya membuat semuanya mengalir ke dalam benakku. Aku akhirnya menguatkan diri untuk makan di malam itu. “Sialan, malah dapat kunyit,”, ujarku sambil mendengar hiruk-pikuk di luar.

Ikuti tulisan menarik Almanico Islamy Hasibuan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB