x

Iklan

Didi Adrian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Februari 2023

Selasa, 14 Maret 2023 07:32 WIB

Terima Kasih

Rupanya rentetan ucapan yang dilayangkan Kamisol ke berbagai situs kristiani dan jejaring sosial terdeteksi pengurus paroki Bunda Penebus, tempat ia misa setiap minggu pagi. Ketua Lingkungan tempat domisili Kamisol mendengar info dari mulut ke mulut bahwa ada umat paroki mereka yang mengalami krisis iman.  Para pengurus paroki juga khawatir, rentetan ucapan syukur Kamisol yang sempat trending bisa memberi pengaruh buruk pada perkembangan iman umat mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Mau pasang iklan pak!” pinta Kamisol 

“Boleh, iklan apa, kolom apa baris?” tanya balik karyawan iklan majalah  KASIH.

“Iklan ucapan syukur dan terimakasih,” sahut Kamisol.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Oh, itu iklan halaman Kudus: Kumpulan Doa Khusus. Ukuran standar 1 kolom kali 10 baris, BW (black and white) tarifnya 55 ribu rupiah,” terang karyawan tersebut.

“Ya boleh, ini isi ucapannya,”  Kamisol menjawab sembari menyodorkan secarik kertas dan uang 60 ribu kepada karyawan majalah tersebut.  

Karyawan itu beranjak dari duduknya. Ada meja setinggi dada memisah mereka. Berhadap-hadapan dengan Kamisol. Menerima sodoran kertas. Tengkuk menekuk dan kacamata persegi bingkai tebal. Setengah menggantung susah payah mencari gayutan. Batang hidungnya kempis, hanya ujungnya yang berkembang tiga. Ia membaca isi tulisan di kertas. Kemudian mengambil uang Kamisol. Entah dibaca sepenuhnya atau tidak.

Waktu sekian detik koordinasi antara otak dan mata kita jarang sinkron. Setengah konsentrasi menghadapi secarik kertas mini. Seperti halnya menghadapi slip pembayaran di konter-konter super market.  Hanya sekelumit data pokok yang tersangkut di otak. Bagi karyawan iklan tersebut, hal itu adalah kata-kata terimakasih dan siapa pengirimnya. Rutin beribu-ribu kali seperti pola berulang dalam otaknya. Setiap kali ada pemasang iklan. Isi ucapan lengkap sama dan standar menurutnya.

Beberapa puluh detik dipandanginya si karyawan. Benak Kamisol  langsung membuat penaksiran. Lelaki paruh baya dengan rambut yang mulai menipis. Disigar ke belakang membuat paras dahinya makin mengkilap. Seperti kulit buah apel habis dilap kencang-kencang.  

Umurnya bisa jadi sepantar dengan aku. Kembali ke kursinya, karyawan itu menulis cepat-cepat pada slip tanda terima. Kemudian membuka laci. Ada 5 ribu rupiah untuk kembalian. Berhadapan dengan Kamisol lagi. Cekatan.

“Ini, kembalian dan tanda terimanya. Jadwal terbit sebulan 2 kali, jadi iklan ucapan Bapak terbit minggu depan, ya?” ujarnya ramah layaknya konsultan di akhir sesi konsultasi.

“Ya, terimakasih,” balas  Kamisol setengah berbalik badan. Pergi.

Seminggu berlalu. Hari itu hari Jumat. Makan siang.  Kamisol duduk menghadapi sepiring nasi rames dan majalah KASIH edisi baru. Tangan kanan: mengangkat satu sendok nasi, sayur dan lauk bergerak naik ke mulutnya. Tangan kiri: membuka-buka lembar dalam malajah KASIH. Jari jempolnya  bergerak cepat. Mencari-cari halaman tertentu.  Halaman Kudus. Bola matanya bergerak cepat. Atas ke bawah. Seperti menelisik pengumuman undian berhadiah. Tak lama. Paras mukanya berubah beriak-riak. Sebutir kerikil nyemplung ke kolam. Tangan kanan berhenti menyendok. Pupil matanya membesar. Iklan kolomnya dimuat. Pojok kanan bawah. Terbaca: Puji syukur dan terima kasih kepada Bunda Mulia Yang Kudus atas tidak terkabulnya doa-doa saya.  

Sekali lagi, pelan-pelan: Puji syukur dan terima kasih kepada Bunda Mulia Yang Kudus atas tidak terkabulnya doa-doa saya. Tertanda: Anton Kamisol. Kamisol tersimpul menyeringai. Jika ditambahkan voice over, mirip tawa hyena (hyaenidae). Mungkin .

Seminggu yang lalu. Tampak dekat:  si karyawan iklan majalah KASIH. Dahinya berkilap. Memegang carikan kertas. Kacamatanya masih di muka. Tapi sudah merosot jauh. Tinggal ditahan cuping hidung besarnya. Menunduk dalam. Membaca iklan ucapan Kamisol rupanya. Kali ketiga dia membacanya. Setengah tak percaya, setengah ragu. Ada juga geli.  Lebih banyak cemas.


Kecemasan yang direkayasa. Keraguan yang menggelayuti jaringan syarafnya. Jembatan gantung keberatan beban. Berayun-ayun. Ragu. Cemas. Aktivitas metabolik tubuhnya mulai bekerja. Detak jantung meningkat, napas pendek-pendek. Seperti tungku kereta api uap ditambahi kayu bakar, tambah kecepatan. Pori-pori kulit dahinya juga bereaksi. Bulir air mikroskopis merembes. Keringat.


Proyektor di benaknya menyala. Waktu itu dia baru 10 tahun. Kelas 5 SD. Di depan pintu kelasnya. Mematung diam. Sudah seperempat jam. Air mukanya pasi. Cemas. Ragu. Tubuhnya lembab, wajahnya kuyup. Keringat. Sengak masam metabolisme anak-anak. Kalau bisa menangis, dia mau. Tapi malu. Hari itu hari Jumat. Giliran kelasnya masuk siang. PR minggu lalu harus dikumpul. Dia ingat kalau dia lupa. Buku PR nya tertinggal di rumah. Dia baru tahu di depan pintu kelas. Pelajaran sudah mulai. Pas pegang handel pintu. Batal. Disergap ingatan tiba-tiba. 


Kilas cepat: seorang koboi melompat gagah.  Menyergap segerombolan sapi liar dari kudanya. Seekor sapi sial jatuh terguling. Melenguh cemas. Takut. Sama takutnya dengan dirinya. Kini suhu tubuhnya turun. Dingin sekali siang itu. Dari lubang kunci terselip suara gurunya, guru Berhitung pak Barwoto. Menggelegar menyerbu telinganya.

“Mantri..!”

“Mantri Yohanes!” 
“Tidak masuk, pak!” sahut teman sebangku Mantri,  Suryanti. 


Perempuan mungil mirip miniatur manekin. Yang besar hanya bola matanya. Tapi namanya indah: Kamelia Kanti Suryanti. Kata dia, ibunya ingin dia secantik bunga kamelia. Mantri tak tahu bunga kamelia. Dia hanya tahu kamel itu unta. Seperti merek di kemasan rokok bapaknya. Ada gambar unta. Jauh panggang dari api.


Cemas itu tak pernah mati. Hanya tidur-tidur ayam. Sebenarnya kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat. Cemas Mantri dibumbui ragu. Jika iklan ini lolos atau jika iklan ini tidak lolos. Lolos: manajer iklan atau dewan redaksi akan memanggil dia. Mulai ditanya-tanyai. Tidak lolos: pemasang iklan komplain. Sudah bayar iklan tak muncul. Klaim. Digugat. Masuk surat pembaca. Timbang-timbang. Mengusap-usap dahi lebarnya. Garuk-garuk. Tidak ada yang gatal. Tarik napas. Hembuskan. Lolos!


Manusia boleh berharap, alam punya kehendak lain. Hari Senin.  Pagi-pagi.  Mantri baru sejenak tiba di mejanya. Tombol on komputer dipencet. Seperti bel bangun tidur. Ada langkah-langkah berat mendekat. Pak Ruben datang.  Atasan Mantri, manajer iklan dan promosi, Ruben Putuhena.

“Pak Mantri, sudah ini ke ruangan saya, ya.”

“Ya pak!”


Mantri melangkah gontai. Seperti jam bandul kehabisan batere.  Di ambang pintu ruangan Ruben yang sudah menunggu. Kilas cepat: pelampung pancingan tersentak-sentak. Menggelinjang di muka air. Beriak-riak tertahan tali. Ruben senang. Senang yang diharap tiba. Senang selesai menanti, seperti tinggal menyebat ke atas pancing yang dikejut-kejut dari bawah.

“Pak Mantri!”

“Ya pak..”

“Saya hari Sabtu dipanggil wakil dewan redaksi,  ibu Yenni Samari.” 


Dia berhenti bicara. Mengambil sesuatu di meja. Majalah KASIH terbaru.  Mesin pikir di balik dahi Mantri mulai hidup. Praduganya cocok. Ruben langsung membuka halaman dalam. Halaman Kudus.  Posisi majalah dibalik kearah Mantri. Slow motion: telunjuk pak Ruben seperti ada yang menuntun. Ke pojok kanan bawah. 


Telinga Mantri langsung berdenging. Suara kaca pecah, jeritan. Ada tawa hyena sayup-sayup. Ada telunjuk diacung-acung. Telunjuk bu Bardi. Jeritan juga bu Bardi. Seperti suara kanvas rem basah roda truk.  Pedal remnya diinjak berulang-ulang. Ada remah-remah beling di teras rumah. Kaca sebelah jendela depan rumah bu Bardi bolong. Bergurat-gurat. Seperempat. Sebelah lagi utuh. Mantri kecil terdiam memucat. Slow motion: telunjuk mengacung-acung dan bentuk bulat tak simetris mulut bu Bardi. Hening sekali rasanya. Melihat telunjuk dan jendela bergantian. Telinganya berdenging. 

Lemparannya ke buah di pohon mangga meleset. Menghantam sebelah jendela rumah bu Bardi. Tetangga belakang istri polisi. Otot lehernya mengajak menoleh. Kerumunan temannya cekikikan di balik pohon. Tawa hyena lagi. Ingat minggu lalu. Ingat si pemasang iklan.


“Pak Mantri?” 

“Iya, ya... Bagaimana pak?”

“Bu Yenni, menanyai saya, kenapa  iklan seperti ini bisa lolos? 
Ini tidak baik buat majalah KASIH, citra kita bisa terpengaruh pak. Lebih luas lagi, ini bisa berpengaruh juga pada keimanan kita. Masak iklan ucapan syukur karena doa tak terkabul?  Baru kali ini saya baca iklan seperti ini. Sebentar lagi kalau pihak gereja membaca, kita mesti bilang apa? Menurut pak Mantri gimana, bisa menjelaskan, pak?”


Cuping hidung  Mantri membesar. Kembang kempis. Menyedot udara sebanyak-banyaknya. Sistem saraf Mantri mengirim sinyal.  Sistem pernapasannya mulai memberi energi aliran udara dengan volume dan tekanan yang cukup.  Aliran udara dari paru-paru ini oleh struktur jaringan wajah dan mulut pak Mantri dimodifikasi menjadi simbol suara yang dikenal sebagai bicara. 


“Terus terang saya baru tahu  iklan ucapannya berbunyi seperti itu pas saya input dan placing ke kolom-kolom halaman  Kudus. Mau saya batalkan, orangnya sudah bayar dan saya khawatir kita di-komplen dan masuk surat pembaca.”

Ruben: “Kenapa kamu tidak bilang saya dulu?”

Mantri: “Deadline terbit waktu itu sudah mepet pak!”

Ruben: “Iya, tapi…hhh. Sekarang kita harus cari solusinya,  biar kita siap saat dipanggil dewan komisaris atau malahan dewan paroki! Hhh… “

Ruben terus menghela napas. Membuang gas karbondioksida metabolisme tubuhnya. Kereta uap akan berangkat. Cerobongnya mendengus-dengus kencang. Menendang ribuan kubik jelaga hitam ke atas.


“Begini saja,” sambung Ruben cepat, “Besok atau pas terbitan majalah KASIH berikutnya, kamu pasang iklan ralat, menyatakan bahwa iklan ucapan doa nomer sekian sekian yang dipasang oleh pak Anu, dianggap batal dan tidak ada. Anggap saja kekeliruan pasang. Titik.”

“Ya pak,” tukas Mantri bersicepat. 


Lega tekanan masalah selesai. Kilas cepat: tekanan kerumunan ratusan itik riuh rendah. Menumbur bilik pintu yang akan dibuka. Tekanan yang lepas begitu sekat penghalang dibuka. Mengalir berduyun-duyun ke arah yang sama. Arah kebahagiaan.


Mantri kembali ke ruangannya. Satu masalah selesai. Seribu temannya mungkin akan tumbuh. Semoga tidak. Karena itu ditambahnya bobot kelegaan pada neraca masalahnya. Agar bobot ragunya berkurang. Untung pak Ruben orang yang bijak. Tidak pernah mempermasalahkan masalah. Kalau anak kunci hilang, bukan kenapa hilang tapi dimana hilangnya. Mari kita cari. Selalu dibereskan dengan pendekatan problem-solusi.  

Redaksi majalah KASIH berkantor di sebuah rumah. Teduh dan asri dengan taman yang lebar. Taksiran Mantri rumah kantornya ini menempati area sekitar lima ratus meteran. Meja Mantri bersebelahan dengan dua bilik jendela. Satu berkaca gelap dan satu kaca nako. Saat pagi hari dia senang duduk menyampingi jendela.  Memandang ke hamparan taman depan kantornya kala suntuk. Membuka sedikit bilah-bilah nako. Angin segar dari taman menelisip masuk. Bau tanah, rerumputan basah,  wangi aneka bunga menyeruak datang berbaur dengan aroma tumpukan daun tusam basi. Parfum alam yang  merangsang sensor-sensor penciuman membawa pesan ke permukaan otaknya. Nyaman.

Taman itu menjadi rumah banyak makhluk hidup.  Ekosistem buatan manusia itu seperti sejumput firdaus kecil. Jendela Mantri pas berposisi tusuk sate dengan gerbang masuk. Tapi dia senang. Mengapit koridor jalan masuk, di saf depan kanan kiri ramai berjajar lidah mertua. Tepi daunnya berlarik kuning, meliuk-liuk mencucuk kencang ke atas.  Selapis rendah di belakangnya ramai bergerombol perdu mini sutera Bombay. Karena  kelopak bunganya halus seperti sutera, dengan warna pink terang, putih atau oranye. Perdu berdaun jarum ini tampak begitu bahagia saat pagi hari. Di bawah sorot cerah mentari mereka akan ramai-ramai mempertontonkan keindahannya. Pandainya  mereka berterimakasih pada alam.

Di deret belakang segaris pagar depan aneka bunga lily setia menanti. Semenjak jaman Yunani kuno bunga ini sudah terkenal. Warnanya kalem, harumnya khas.  Bunga ini sering ditanam sebagai tanaman hias atau bunga potong. Namun selain dikagumi karena bentuk bunganya yang cantik, ada beberapa jenis lily terkadang ditanam lalu dipanen hanya untuk diambil umbinya saja.

Jika di sisi-sisinya dikurung barisan flora cantik, di tengah petak tengah taman itu tumbuh menjulang pohon tusam Sumatera (Pinus merkusii). Di negeri asalnya, saat musim dingin  daunnya selalu berwarna hijau sehingga pohon ini menjadi lambang keberuntungan.  Bahkan Mantri pernah membaca, di zaman dulu orang Cina mempunyai tradisi meletakkan ranting daun pinus di depan pintu masuk untuk dewa yang menjaga pintu. Mantri setuju dengan ide tersebut.

Di tanam pas di pekarangan depan,  bukan soal dewa penjaga pintu yang penting baginya. Dia senang udara jadi sejuk. Satu lagi dia senang bau daun tusam basi yang bertumpuk di bawah pokoknya. Kendati sudah terpisah jauh bergenerasi dari induknya di negeri dingin, pohon tusam ini tetap menjaga kearifan lokal dirinya, rajin berdaun dan tetap hijau. 

Pada sayap kiri pekarangan, tumbuhlah beberapa pohon ketapang. Karena tajuk dan daunnya lebar, dia bermanfaat meneduhi area parkir latar depan. Pohon ini paham betul,  sebaik-baik makhluk adalah yang bermanfaat bagi alam dan sesama. Penampilannya yang paling mengesankan saat warna daunnya yang berubah dari hijau kuning hingga merah padam seronok sebelum akhirnya rontok. Seolah menyampaikan pesan kegundahan hati yang pilu sebelum berpisah dengan induknya. Tidak banyak tanaman tropis yang daunnya mengalami perubahan warna begitu sensasional seperti ini. 

Merindang tinggi besar di sayap kanan taman adalah pohon flamboyan. Jika musim berbunga pada bulan yang berakhiran -ber, dia benar-benar pesolek alam. Merias diri sejadi-jadinya dengan asesoris merah scarlet beronce-ronce penuh sekujur tubuhnya. Cantik tak terperi. Bunganya berbentuk seperti anggrek dan mekar dalam sebuah kumpulan yang padat dan rapat. Keindahan bunganya makin mencorong saat mereka mekar bergerombol. Begitu langit cerah, flamboyan berbunga akan menjadi sosok depan yang kontras dengan latar luas biru lazuardi. Bunga-bunganya seperti berpendar merah berkilau. Memandanginya berlama-lama, dada penuh oleh getaran suasana romantis dan melankolis.  Pantaslah kalangan pecinta pohon berbunga menyebut flamboyan sebagai tanaman terindah di dunia.

Penampilannya acap mengundang tamu serangga-serangga pencari madu atau burung madu Sriganti (Nectarinia jugularis). Tubuh rampingnya kuning kehijauan elok aerodinamis hingga ke paruh. Kita tahu dia datang saat nyanyian tunggal melengking nyaring terdengar susul menyusul.  Satu lagi suara yang dihapal Mantri luar kepala. Cericip pendek-pendek kadang menjauh, kadang mendekat cepat. Tanda berkejar-kejaran. Itulah burung gereja. Tempat ini adalah taman bermain, bercengkerama, mencari makan dan bercinta. Tempat ini adalah saksi sejarah otentik turun temurun burung ini. Daftar tamu si flamboyan panjang.

Mulai terang tanah hingga seperempat juring perjalanan matahari siang. Muncul duluan kupu-kupu mutiara, mengepak-epak kecil berburu rezeki. Kepakan kecil untuk efek yang besar. Tak lama kemudian datanglah si pekerja,  lebah madu. Dari seragamnyapun kita tahu bahwa dia benar-benar pekerja tulen. Sama semua: berdada kuning, perut garis hitam putih horisontal. Di bagian dunia manapun juga sama, kaum pekerja ditandai dari seragam.

Kemudian berjajar rapi di bawah pohon flamboyan,  tumbuh subur tumbuhan perdu langka yang juga rajin berbunga. Biasa disebut sangitan atau kerak nasi (Sambucus Javanica). Ujung daunnya runcing dengan tepi bergerigi, warna permukaan atas hijau tua sedangkan permukaan bawahnya berwarna hijau muda. Bunganya kecil-kecil, putih kekuningan, berkumpul membentuk payung majemuk. Bunganya ramai menggerumbul seperti nasi atau jika berkesempatan memandang dari jauh di atas langit seperti rerimbun kelompok jemaah bermukena. Sudah itu baunya harum pula. 

Sejumput firdaus kecil juga menjadi habitat banyak makhluk tanah. Dari yang merayap sampai berumah di dalamnya. Semut saja paling tidak ada 4 jenis: merah, hitam, rangrang dan api.  Jenis makhluk paling rapi dan disiplin.  Hanya ada 3 kelas dalam masyarakat mereka: pekerja, pejantan dan ratu. Entah mereka kenal ide Marxisme atau tidak. Yang makin jelas lagi, jenis boleh beda tapi tapal batas jelas.

Mereka membagi koloni dan sarang-sarangnya secara teratur.  Kata koloni mengingatkan sejarah kelam penuh keringat, air mata dan darah abad-abad lalu . Saat tuan-tuan kolonialisme dari Eropa berbagi jatah daerah koloni di Asia dan Afrika. Kalau semut bekerja keras untuk kemakmuran komunitas sendiri dan sang ratu sendiri juga, kolonialisme bekerja keras mengisap kemakmuran tanah koloni dipindah ke negeri induk mereka dan sang ratu (jika ada).  Satu koloni dapat menguasai dan memakai sebuah daerah luas untuk mendukung kegiatan mereka.  Itu sebabnya koloni semut disebut superorganisme dikarenakan koloni-koloni mereka yang membentuk sebuah kesatuan. 

Mantri senang berlama-lama nangkring di lincak depan kantornya. Sambil leyeh-leyeh atau baca buku angkat sebelah kaki di pagi hari saat kantor belum mulai.  Tengah asyiknya tenggelam dalam damai, suara deru motor masuk halaman. Berhenti di bawah ketapang. Ada tamu datang, sepagi ini. Mantri berdiri. Menunggu siapa gerangan datang. Tak lama, dia segera mengenali: si pemasang iklan minggu lalu! Ada apa lagi?

“ Pagi pak..”

“ Ya, selamat pagi,” jawab Mantri sopan.

“ Saya mau pasang iklan lagi, pak!”

“ Oo, ayo, ke ruangan saya dulu,” ajak  Mantri

Tiba di ruangan kerja Mantri, si pemasang iklan segera menyodorkan carikan kertas lagi. 
Mantri berdiri menerima carikan. Dibaca sejenak. Membetulkan gagang kacamata. Menumpukan tangan pada meja pemisah. Kemudian:

“Hmm.. begini pak, eh.. pak …?” kejar pak Mantri.

“Kamisol… Anton Kamisol,” tegas Kamisol.

“Iya… pak Anton. Iklan Bapak yang minggu lalu sebenarnya menyalahi ketentuan redaksional disini, majalah KASIH. Menurut peraturan, kami sebenarnya tidak diperbolehkan memuat iklan seperti itu..”

Mantri melanjutkan: “Nah.. karena sudah keburu terbit,  saya sekarang harus bertanggungjawab dengan menerbitkan iklan ralat!” 

“Ralat apa..?” Apa yang diralat, pak?”  Kamisol keheranan.

“Ralat bahwa iklan semacam itu dianggap salah cetak dan semacamnya, begitu..” terang pak Martin. 

“Jadi mohon maaf, kalau Bapak bermaksud pasang iklan seperti itu lagi, kami terpaksa menolak. Peraturan tidak mengizinkan saya menerima iklan seperti itu… Sekali lagi maaf , tidak bisa pak!” tegas Mantri.

“Oo, ya sudah. Tapi salah dimana iklan saya ya..?”  Kamisol mengelus-elus batang hidungnya.

Mantri tak menjawab. Mengangkat bahu dan alisnya berbarengan. Senyum.
Kamisol beranjak pergi. Sambil mengelus pipi kemudian menggaruk kepala. Setelah deru motor menghilang, baru Mantri duduk. Menghadap komputer. Tangan kanan: memegang mouse komputer, kiri: membuka folder daftar kerja harian.

Kamisol cepat-cepat sampai kantor. Belum sempat duduk. Meletakkan tas. Menyeduh segelas teh dari air panas dispenser. Duduk.  Menghidupkan komputer. Menyaksikan signal cursor on. Kedip-kedip. Isi kepalanya juga berkedip-kedip. 
Salah apa ya, iklan saya minggu lalu. Kalau salah kenapa diterbitkan? Ah, taulah.. coba bilang dari minggu lalu, saya nggak repot-repot kesana.. 

Sepagian hingga siang pikiran  Kamisol tak fokus. Beberapa tugas dalam daftar kerja dia tunda. Istirahat makan siang dia pun cepat-cepat, lantas kembali ke komputernya. Browsing situs-situs kristiani. Saya mau pasang iklan lagi. Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara sampaikan doa.


Kamisol bekerja sebagai staf Komunikasi dan Pengembangan di sebuah lembaga nirlaba internasional. Deskripsi pekerjaannya mengharuskan dia harus banyak berurusan dengan arus informasi, media on-line, advokasi, sebagai narasumber dan poin perantara antar organisasi vis-à-vis.  Dialah jembatan penting untuk menyeberangi sungai ketidaktahuan akan aktivitas organisasinya.

Dialah pemandu para penyeberang agar sampai ke tonggak pengetahuan sepak terjang dunia kerjanya. Dia piawai menulis, diskusi, berbagi kisah dan membingkainya menjadi enak dicerna awam, menyampaikan pendapat dan pendengar yang baik.  Namun kilap kinerjanya di kantor berbanding terbalik dengan atmosfir di rumah. Sederet keterampilan kantorannya menjadi  mercon basi saat sudah berhadapan dengan mertuanya. 

Kamisol menjelang 40 tahun. Menikah saat umur 30.  Istrinya selisih 2 tahun lebih muda. Pekerja kantoran biasa dengan keahlian di tata buku dan nyambi sebagai agen asuransi. Putri mereka ada dua. Dia masih tinggal bersama mertua, ibu dari istrinya. Kamisol menyebutnya bunda, karena memang diminta demikian. Sebutan itu adalah salah satu predikat dari serentet alat intimidasi sang mertua. Begitu menurut Kamisol.  

Kendati dia ahli informasi, satu yang alpa dia korek sewaktu pacaran dulu: bahwa Tanti, istrinya, adalah anak kesayangan sang bunda. Julukan yang menjadi pisau berfungsi ganda: alat pemotong bermanfaat sekaligus bisa juga menusuk harga dirinya. Symptom-nya: Kamisol begitu pendiam dan penurut di rumah, padahal di kantor profesi menuntut sebaliknya. Akar masalah: mertua perempuannya selalu campur tangan urusan keluarga Kamisol.  Kamisol bisa memilih beli rumah sendiri, patungan mencicil dengan istrinya. Namun pilihan ini majal. Tumpul buat menetak realitas. Sang bunda tak mengijinkan putri kesayangannya jauh-jauh dari dia. 

Selalu ada saja butir-butir intervensi saban hari.  Dari urusan remeh temeh bangun pagi, santun di meja makan sampai penampilan bawah ke atas: kaos kaki ada yang bolong tidak, warna tak senada, kemeja kedodoran,  pomade rambutnya bau musang, kenapa ke kantor tak pakai jam tangan, kok laki pakai kalung, jidat Kamisol acap berminyak, potongan rambut Tanti kurang keren,  pake stocing gelap nggak cocok, rok nggak pas,  anting-anting apa mainan kunci, eye shadow-nya serem, pake blazer 3 pieces hari apa saja, sepatu cucunya kurang trendi, tas sekolah ada roda atau tidak, bawa bekal yang bergizi, jangan lupa bawa minum.

Makin hari ‘tingkat perhatian’ sang mertua makin hebat dan masuk ke ranah pribadi:. kenapa Kamisol jarang menyapa mesra istrinya, salam pamit kerja gitu-gitu aja, saat libur di rumah mbok belajar masak, kalau lagi berkasih-kasihan anak-anak tahu nggak. Kenapa tak sekalian tanya posisi bercinta kami berdua? Arrgghh.. Jika dibuat daftar, kritikan dan celetukan mertuanya bisa lebih panjang dari daftar belanja bulanan keluarga.  Saban hari pulang ke rumah adalah mimpi buruk. Kepala  Kamisol serasa mau pecah. Untungnya dia tak punya keberanian membentur-benturkan kepalanya dengan benda keras. 

Jika karyawan lain resah saat terpikir berangkat kantor di pagi hari. Kamisol sebaliknya. Dia resah saat terpikir pulang kantor di sore hari. Penderitaan dan tekanan secara verbal akan dimulai. Deraan kritik, saran, celetukan dan rekomendasi sang mertua membuat Kamisol majal. Mati rasa. Berhadapan dengan mertua perempuannya dia lebih memilih diam. Jauh di dalam magma hatinya, lava ketidaksukaan menggelegak.  Energi kebencian yang setiap saat bisa meletup. Namun pak Kamisol bukanlah tipe eksplosif. Letupan ketidak-sukaan saya lebih tipe efusif. Di surat kabar ada berita menantu bunuh mertua. Sakit hati karena suka mencampuri urusan keluarganya. Urusan uang lagi.  Aku bukan tipe seperti itu. Aku benci tapi aku waras.  

Menurut Kamisol, jika orang sampai pada keputusan mengambil nyawa orang lain artinya tiga titik segitiga motivasinya sempurna.  Ketiga titik itu: hati, pikiran dan ucapan/tindakan. Segitiga motivasi Kamisol tak sempurna, hanya berhenti pada pikiran. Embrio kejahatannya selalu diaborsi. Dia punya pelampiasan cara lain.

Berhadapan dengan mertuanya dia memilih diam. Dalam diam, dia berkarya. Dengan hati dan rencana. Bahkan dia tahu siapa personifikasi paling pas untuk mertua perempuannya ini: Medusa! Wanita mitologis Yunani kuno berwajah hantu berambut ular. Sekali pandang wajahnya manusia menjadi batu. Sama dan sebangun tapi beda konteks menurut Kamisol. Jika Medusa dipandang membatu, mertuanya juga membuatnya membatu dengan serangan kata-katanya seperti mitraliur.

Kamisol sebenarnya tidak sampai hati menjulukinya Medusa.  Sang bunda tidak buruk wajahnya, masih segar di usia 50-an. Garis keayuannya masih terlihat, hanya sayangnya kelakuannya kurang ayu.  Untuk sementara cukup disitu pelampiasanku pada dia. Jangan sampai segitiga motivasiku menutup sempurna.

Dia ingat Medusa sewaktu liburan akhir tahun lalu. Istrinya dapat bonus salah satu pengumpul poin terbaik agen asuransi. Mereka melancong ke Turki dan Jordania, dua negara di belahan Asia Barat. Negara yang kaya sejarah masa lalu, kemegahan kerajaan dan kisah-kisah nubuat kitab suci. Sebenarnya Kamisol juga ingin ke Jerusalem atas biaya sendiri, sayang waktunya tak cukup. Plesiran mereka sekeluarga lebih berbau ziarah rohani. Lagi-lagi atas saran mertuanya. Cerewet tapi relijius.  Senang dengan simbol-simbol seremonial, mengerangkeng ketuhanan dalam lambang, ucapan dan tanda. Karena dia pun sudah buru-buru pesan sederet oleh-oleh dari perjalanan spiritual ini.  

Ada banyak tempat yang mereka sambangi saat berwisata. Di Jordania, mereka singgah di ibukota Amman, laut Mati (hingga kedua putrinya terheran-heran orang bisa mengapung di tengah laut). Dia menjelaskan itu bisa terjadi karena kadar garam laut Mati sembilan kali lebih asin dibanding air laut biasa. Nyaris tak ada makhluk yang tahan hidup berenang-renang  di dalamnya. Posisinya pun  sekitar 402 meter di bawah muka laut sehingga menjadi titik terendah di muka bumi. Kemudian mereka ke sungai Jordan, sungai legendaris dan mistis menyimpan kisah baptis pertama. Ada banyak reruntuk sisa sisa kebesaran arkeologis masa lalu di Jordania: Al Karak, Jerash, city of Gadara, serta yang paling spektakuler situs purbakala Petra. 

Memandang Petra dengan mata kepala sendiri, membuat mereka sekeluarga kehabisan kata-kata. Dari lorong jalan masuk Al-siq mereka sudah berdebar-debar. Lorong cadasnya sempit ratusan meter tegak lurus ke atas. Di awal koridor cadas batu mereka bisa memilih naik unta sebenarnya. Tapi Tanti takut. Melihat hewannya saja sudah geli katanya. Berlekuk-lekuk penuh tonjolan aneh. Berdiri seperti ranjang doyong, bagaimana jika berjalan. Akhirnya mereka jalan kaki. Hampir 1 kilometer menyusuri lorong ajaib negeri dongeng.

Penampakan di ujung dinding jurang membuat mereka ternganga. Sebuah bangunan raksasa yang amat megah. Decak kagum saja tidak cukup menggambarkan keindahannya yang magis dan membuat merinding.  Bangunan menyerupai arsitektur Romawi kuno menjulang gagah tersembunyi di gundukan bukit batu yang berwarna-warni, memantulkan efek sinar mentari: kadang coklat beige, kadang pink dan kuning terang.  Dahulu dipakai sebagai tempat perlindungan dari musuh dan bencana alam. Hebatnya gedung Petra dibuat bukan dengan teknik arsitek biasa tapi hasil pahatan. Ya, bongkahan batu raksasa dipotong dan diukir ratusan tahun oleh suku Nabatean hingga berdirilah Petra seperti sosoknya saat ini. 

Kolom-kolom tiangnya lebih besar dari pelukan orang dewasa. Berkacak pinggang di pintu masuk utamanya, Kamisol sekeluarga tampak seperti liliput.  Di bagian dalamnya ada semacam altar dan tempat prosesi kuno dengan tangga berundak-undak. Sentuhan peradaban modern tampak pada lampu-lampu yang disetel serasi memberi cahaya pasif. Sinarnya lembut menerangi interior dalamnya yang terasa sejuk.  Kata pemandu tur di dalam komplek situs arkeologis ini  juga ada teater pertunjukan dan makam kuno. Petra seperti ksatria abad pertengahan berbaju zirah gagah di atas kuda menenteng javelin, setia menunggui jajaran perbukitan Siq.   Sayang waktu mereka terbatas, karena di balik gunung gemunung yang meriungi Petra terdapat gunung Harun (Jabal Harun). Konon di puncak gunung inilah nabi Musa dimakamkan.  Paling tidak mereka sekeluarga lega. Pernah menginjakkan kaki di salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia.  Situs yang juga pernah menjadi setting film Indiana Jones: The Last Crusade.

Puas 2 hari berkeliling Jordania, mereka menuju Turki. Kendati ini wisata rohani dan mereka penganut agama Nasrani, mereka memilih Turki bukan tanpa alasan.  Muslim memang mayoritas disana, tapi Turki bukan negara agama. Turki modern seperti yang digagas oleh pendirinya Mustafa Kemal Ataturk adalah negara sekuler. Turki terletak dipersimpangan benua Asia dan Eropa. Itu bisa mereka lihat saat mengunjungi jembatan Bosphorus yang membentang di atas laut Marmara, menjadi penaut antara semenanjung Anatolia di Asia dan semenanjung Balkan di tanah Eropa. Disini pula Kamisol baru mengerti asal nama terkenal Dardanella, sebuah titik penghubung antara laut Hitam dan laut Mediteranea. Disamping kejayaan kekaisaran Ottoman, di Turki pula banyak jejak-jejak kebesaran peradaban Romawi dan peninggalan budaya Kristen ratusan tahun lalu. Kesanalah mereka menuju.

Mereka singgah di Museum Haghia Sophia, sisa kebesaran seni Byzantium dan merupakan gereja terbesar di zamannya. Sempat pula  berubah fungsi sebagai mesjid. Tempat bukan masalah, yang utama iman dan keyakinan, pikir Kamisol. Kemudian lanjut ke Ephesus. Sekali lagi mereka berdecak kagum memandangi Temple of Artemis berlama-lama.  Di kisah para nabi, rasul Paulus pernah berkarya disini. Ephesus jaman dahulu adalah pusat perdagangan, kebudayaan, agama yang penting. Pilar-pilar besar dan gagah mengingatkannya pada kota kuno Petra.

Karena Kamisol senang dengan dongeng-dongeng mitologis Yunani, di Turki jadi seperti botol ketemu tutupnya. Dia punya bekal cerita sebagai oleh-oleh: bahwa altar Zeus memang ada (saat berkunjung ke kota kuno Pergamon), bahwa ratu ular Medusa juga ada (tapi berupa patung di Basilika Cistern, Istanbul).  Di kuil unik ini,  sepotong arca kepala Medusa menjadi pondasi kolom bangunan. Disini pula dia ingat pada mertuanya. Sayang dia tak ikut. Cobalah dia berefleksi dengan melihat karya seni di basilika kuno ini. Inspirasi itu menyeruak pikirannya mertuanya cocok dengan personifikasi patung ini. Hanya dia tak sempat cari miniatur Medusa sebagai oleh-oleh.

Ada dua tempat lagi yang mengagumkan di Turki yang membuat mereka tak pernah lupa: ampiteater Pergamum, semacam teater pertunjukan raksasa dibangun imperium Romawi. Pilar-pilar reruntuh kota  ada di puncak bukit.  Sementara undak-undakan teater berlarik-larik menempel di lereng bukit. Terserak melandai lari menuruni lereng bukit. Pintar sekali manusia jaman itu merancangnya.  

Kunjungan ke tempat terakhir membuat mereka salut dan terpesona. Mesjid Biru di Istanbul adalah salah satu mesjid terindah di dunia. Namanya diambil dari keramik biru alami penghias dekorasi interior kubah utama. Proporsi keindahannya sempurna dan menjadi mesjid utama jaman kekaisaran Ottoman. Bergaya di luar masjid ini seperti berpose dengan latar kalender raksasa. Ada 6 menara ramping mengelilingi satu kubah utama dan beberapa semi kubah.

Keluarga Kamisol berkesempatan melongok ke dalam mesjid.  Ada semangat kedamaian, alami dan sejuk udaranya. Mendongak memandangi interiornya luar biasa mencengangkan. Slow motion: sinar mentari  berkejar-kejaran berebut masuk dari puluhan jendela bermozaik seputar kubah-kubahnya.

Putri sulungnya menukas seperti berada dalam pesawat luar angkasa alien. Lukisan dekoratif di langit-langit kubah indah tiada tara. Paduan antara kaligrafi Arab, detail desain ratusan bunga tulip beraneka rupa dan corak vinyet purbakala. Sampai pegal leher mereka mendongak. Kalau boleh memandangi sambil berbaring mungkin lebih enak lagi.  Kamisol melirik istrinya yang kebetulan menoleh ke arahnya. Tanti tersenyum simpul. 

“Kau tahu apa yang kupikirkan,” tanya Kamisol.

“Iya, aku juga berpikiran sama,” Tanti mengiyakan.

Tanti menerawang. Umurnya baru 8 tahun. Dia ada bersama 2 teman akrabnya Santi dan Nila. Di dalam kamar mereka telentang berdempet-dempet. Kamar keluarga. Gelap. Semua jendela ditutup rapat.  Suasana terasa lebih gelap dan sesak. Karena mereka tengah berbaring di kolong ranjang. Hari itu giliran Santi pegang senter. Napas mereka pendek-pendek dan cepat. Slow motion: sampai hitungan ketiga, Santi menyorotkan senternya ke langit-langit kolong ranjang. Sekolom cahaya langsung membentur sasaran. Dan nampaklah di papan alas ranjang-sedekat jangkauan tangan mereka-stiker tokoh-tokoh kartun dan bintang penyanyi bertempelan. Ramai tak keruan. Hari itu Santi menempelkan Desi Bebek, tokoh kartun favorit Tanti. Cekikik mereka asyik sambil menyorotkan senter ke sana kemari. 

Sensasi kesenangan anak-anak dalam fokus ruangan sempit dan sorot cahaya yang sedikit. Hampir penuh langit-langit ranjang ibunya dengan stiker: dari Mickey Mouse, Donald dan Desi Bebek, keluarga Bobo, Superman, Batman hingga Chicha Koeswoyo dan Elvy Sukaesih. Main ‘ngolong’ adalah kegemarannya sepulang sekolah. Bergiliran menyuruk masuk ke kolong ranjang besi dan melekatkan gambar tempel ke muka bawah papan alas ranjang. Bahkan ibunya pernah belingsatan mencarinya, disuruh makan sepulang sekolah. Suara cekikikan di kamar dan gerubak gerubuk papan ranjang menjadi penuntun sampai Tanti ditemukan. Masih berseragam lengkap, debu sawang menempel di kuncir kudanya. Senter menyala tersorot ke wajah ibunya.  

Sepulang dari ziarah rohani, Kamisol merancang pelampiasan tahap berikut buat sang bunda.  Aku tidak akan membalas kekerasan dengan kekerasan, tekanan verbal dengan tekanan. Tak ada rumus tit-for- tat bagiku. Sebaliknya aku akan mendoakannya. Ya, berdoa untuknya. Anehnya semakin rajin Kamisol berdoa bagi mertuanya itu, makin jarang yang terkabul. Makin khusyuk dia menyepi.  Merangkai kata-kata permohonan pada Sang Pencipta. Sama saja, melempar botol pesan ke samudera biru. Hanyut ke waktu abadi. Lambat laun, Kamisol mulai gamang. Dia mulai masuk kondisi cul de sac, jalan yang memampat. Laju semangat pembalasannya melambat. Berbalik memutar arah.

Alih-alih melampiaskan sakit hati, Kamisol sekarang rajin berselancar di dunia maya. Setelah iklan ucapannya diralat dan ditolak majalah KASIH, dia mulai masuk ke situs-situs kristiani, milis-milis rohani dan  forum keluarga kristiani untuk ucapan doa syukur. Bahkan dia mulai merambah ke jejaring sosial populer Facebook. Disini aku lebih leluasa, prosedurnya tak seketat di majalah dan media below the line.

Saban hari paling tidak satu ucapan syukur dia posting. Ucapannya ya yang itu-itu juga: Puji syukur dan terima kasih kepada Bunda Mulia Yang Kudus atas tidak terkabulnya doa-doa saya. Tertanda: Anton Kamisol. Lambat laun moderator berbagai situs dan milis tersebut mengendus ada sesuatu yang tidak beres.  Aktivitas Kamisol memposting ucapan yang itu-itu saja mulai membuat risi. Masalahnya isi ucapannya janggal dan mengundang kontroversi. Riskan. Apalagi beberapa situs kristiani jelas-jelas di bawah sorot kendali dewan paroki. Ujung-ujungnya merekapun memilih mem-blok nama Anton Kamisol dan segala jenis ucapannya. Selesai.

Ternyata tidak. Rupanya rentetan ucapan yang dilayangkan Kamisol ke berbagai situs kristiani dan jejaring sosial terdeteksi oleh pengurus paroki. Paroki Bunda Penebus tempat Kamisol biasa misa setiap minggu pagi.  Ketua Lingkungan tempat domisili Kamisol mendengar info dari mulut ke mulut bahwa, ada umat paroki mereka yang mengalami krisis iman.  Identitas dan domisili Kamisol terlacak dari jejaring sosial. Namun kekuatan  jejaring sosial internet luar biasa. Di balik kemudahan dunia maya itu para pengurus paroki juga khawatir, rentetan ucapan syukur Kamisol bahkan sempat jadi trending memberi pengaruh buruk pada perkembangan iman umat mereka.

Bahkan pada kedewasaan iman kristiani secara keseluruhan. Masalah penting tapi  bukan darurat. Ketua Lingkungan segera berdiskusi dengan Asisten Imam Paroki, Frater Darto. Menggagas panggilan untuk Kamisol dengan tembusan verbal kepada Imam Kepala Paroki Bunda Penebus. Sehabis misa pertama minggu pertama bulan depan, mari kita ajak bincang-bincang ujar Asisten Imam. Setuju.

Bukan panggilan itu yang membuat Kamisol berkeringat dingin. Bahwa sang bunda juga mendengar kabar itu!  Keringatnya bisa menjadi hablur kerikil bila sampai sang bunda ingin ikut serta menemani Kamisol bincang-bincang. Sudah jatuh tertimpa tangga. Malam minggu. Di rumah Kamisol menjadi pesakitan. Interogasi sang bunda soal remeh temeh itu paling 15 menit. Terasa berjam-jam. Bahkan berabad-abad. Rasanya bahtera nabi Nuh sudah mendarat. Menemukan dataran kering. Tapi kenapa aku masih disini teronggok sendirian di anjungan perahu. Apakah Nabi Nuh tak tahu ada satu penumpang ketinggalan, terkunci di dalam? Help! 

Imbasnya Kamisol telat bangun. Semalaman matanya tak mau terpejam. Baru dini hari dapat setetak mimpi itupun pikirannya tetap menyala dengan setengah kapasitas. Minggu pagi. Terburu-buru mengejar misa pertama, diiringi ’nyanyian’ sang bunda mengantar rombongan jemaah rohani: Frans Suharnito-mertua laki, Niti Sulastri-sang bunda, Kamisol, Tanti, Rebecca putri pertama dan Rosa putri kedua. Sehabis misa, dia mempersilakan rombongan keluarganya pulang duluan. Bincang-bincang rohani atau tepatnya Bimbingan dan Penyuluhan ini tampaknya akan makan waktu lama. 

Kompleks Paroki Bunda Penebus luasnya ada sekitar 5.000 meteran. Ada beberapa bangunan di dalamnya: paroki, perpustakaan, klinik gereja, rumah Romo dan pengurus gereja.  Kamisol langsung menuju ruang tamu gedung perpustakaan, karena urusan bimbingan umat dan masalah sosial rohani acap didiskusikan disini.

Di ruang tamu Kamisol duduk menunggu. Ada banner kecil di balik kaca meja tamu: Credo in Spiritum Sanctum (aku percaya akan Roh Kudus). Badannya diam tapi matanya aktif, memandangi  gambar-gambar berbingkai di dinding. Yang hampir selalu ada kemanapun Kamisol sembahyang mingguan:  adegan Perjamuan Terakhir.

Kemudian ada gambar Bunda Maria tengah memegang bola dunia sambil berdoa mendongak ke langit: Maria Ratu Pencinta Damai-Regina Pacis.  Beberapa plakat dan piagam tersusun rapi di bufet. Di etalase kaca di bawahnya ada piala, diorama gua Betlehem dan pernik-pernik kecil seperti rosario, skapulir coklat, patung orang kudus besar kecil dan berbagai faberge (telur Paskah) dengan hiasan dan ukiran rumit yang cantik. Baru Kamisol bangkit ingin melihat piagam di buffet satu-satu, Asisten Imam paroki muncul. 

“Selamat pagi pak Anton,” sapa Asisten Imam sambil menyorongkan tangan mengajak bersalaman.

“Pagi Frater,” balas Kamisol menyambut sorongan salamnya.

“Saya Frater Ambrosius Darto Padmo. Saya dimintai tolong Ketua Lingkungan Florencia, pak Tomi Damian, bahwa ada yang perlu dibicarakan dengan pak Anton...eh..,” sejenak Frater Padmo ancang-acang.

“Anton Kamisol,” lanjut Kamisol meyakinkan.

“Begini pak Anton. Kabar baik ya? Hm…pak Anton kayaknya rajin berdoa ya?”

“Tentu Frater,” balas Kamisol.

“Iya ini saya diberi tahu pak Tomi ucapan doa syukur pak Anton di beberapa forum situs Kristiani dan jejaring sosial sering muncul… Hanya maaf pak Anton, katanya isi ucapannya agak lain.. gimana gitu.. eh.. kalau saya boleh tahu, ucapannya lain seperti apa ya pak?”

Duh, kenapa jadi begini? Daun telinganya memerah. Terasa menebal. Seluruh aliran darah tubuhnya seperti terpompa ke atas. Dia merasa temperatur wajahnya meningkat.

Pertanyaan itu membawa Kamisol berjalan menyusuri masa kecilnya. Kendati terdengar sopan, desakan itu terasa seperti melucuti busana eksistensinya. Ingatannya samar-samar: Kelas 4 SD. Giliran menyanyi depan kelas. Sebenarnya dia berharap gilirannya besok. Sebab kait celananya lepas jahitannya. Apa boleh buat. Kamisol berdiri kaku, posisi siap, dua tangan di belakang. Mulutnya terbuka lebar, menyemburkan nada tertinggi bait pertama Garuda Pancasila. Mata memejam, kepala mendongak. Slow motion: sekonyong-konyong karet gelang pengganti kait celananya putus. Gaya tarik bumi tak kenal kompromi menarik celana merahnya sampai ke lutut. Tergagap. Mukanya panas. Tingkahnya kikuk menahan sang celana yang meluncur turun. Nada-nadanya berantakan. Seisi kelas riuh. Anak-anak perempuan juga spontan bereaksi. Ada yang memaling muka. Ada yang menutup wajah tapi ada celah renggang-renggang antara jari jemari. Sayup-sayup seperti ada tawa hyena.

Duh, kenapa jadi begini? Daun telinganya memerah. Terasa menebal. Seluruh aliran darah tubuhnya seperti terpompa ke atas. Dia merasa temperatur wajahnya meningkat.

“Saya menyampaikan ucapan doa syukur terimakasih kepada Bunda Maria,” kata Kamisol.

“Iya, sudah layak dan sepantasnya begitu. Ucapan syukur atas terkabulnya doa-doa khan?” sambung Frater Darto.

“ Ngg.. bukan. Bukan Frater,” ucap Kamisol ragu.

“Lho, bukan? Maksudnya bukan itu bagaimana pak Anton.. ha..ha..,” tanya Frater Darto sambil ramah tertawa.

“Saya menyampaikan ucapan syukur atas tak terkabulnya doa-doa saya,” Kamisol berucap panjang, lirih hampir tak terdengar. Ada selarik kabut sesal melapis bola matanya. Larik sesal yang sama di masa lalu seperti saat ibunya setengah tersenyum-senyum mengorek pengakuannya siapa yang mengompoli bantal ayahnya.

“Lho… ha.. ha..hh. Kok malah bersyukur atas tak terkabulnya doa-doa?. Wah.. pak Anton ini bisa becanda juga.. ha… Memangnya pak Anton memohon apa? Wah.. wah… coba ceritakan pak…”
Kamisol menunduk dalam..Menghitung napasnya sendiri.  Frater Darto memang terkenal ramah dan suka bercanda.  

“Doa permohonan saya memang agak beda Frater..” lirih Kamisol

“Iya.. iya.. beda gimana pak Anton. Isi doanya panjang-panjang? Memohon suatu yang aneh-aneh? Ha..ha.. ayo, tak apa-apa.  Keliru itu manusiawi pak Anton,” kata Frater Darto.

“Saya sering berdoa agar mertua saya mendapat celaka… atau musibah.. hh.. tak tahu.. permohonannya keluar begitu saja.. maaf Frater..Saya menyesal sebenarnya. Untungnya doa-doa jelek saya tak pernah terkabul Frater,”  desah Kamisol.

“Hahaha… hh.. ada-ada saja. Ooo itu sebabnya pak Anton kirim ucapan syukur yang aneh-aneh itu ya? Ha.. ha.. ada-ada saja, “ Frater Darto tertawa berulang-ulang.

Ya sudah.. sebelumnya saya minta maaf kalau mencampuri masalah keluarga pak Anton. Bagaimana pak..?” tanya Frater Darto.

“Nggak apa-apa Frater. Masalah ini sudah lama. Hanya saya cenderung diam,” balas Kamisol.

“Memangnya ada apa dengan mertua pak Anton. Mertua perempuan? Cerewet.. suka ikut campur?”

“Sekali lagi saya maaf ini pak Anton, saya bukan mau bikin tambah ruwet. Setiap orang punya masalah dan setiap masalah pasti ada solusinya.. Kita harus tabah dan tak boleh putus asa. Namun sebaliknya juga tidak serta merta menjadi dendam dan ingin membalas. Khan Putra Bapa sendiri mengajarkan jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Dia  sudah memberi contoh sempurna. Kita sebagai umatnya harus mengikuti. Mari, kita tak boleh lelah berdoa, tapi bukan untuk kepentingan diri. Karena doa yang sejati juga harus selaras dengan kehendak Allah, dan kehendak-Nya tak lain adalah agar kita saling mencintai. Dan mencintai  adalah melayani kebutuhan sesama,” terang Frater Darto.

“Iya, Frater. Saya khan masih tinggal di rumah mertua. Saya sebenarnya menyayangi kedua mertua saya.. hanya, kadang-kadang sang bunda.. mertua perempuan saya terlampau jauh. Dan saya sudah lama bersabar.. Apalagi saya tak ada niat untuk menentang secara fisik.. saya tidak tega Frater. Hanya.. yahh.. itu saya sendiri juga bingung..” jawab Kamisol.

“Ya sudah, begini saja.  Gampangnya begini, sebenarnya antara keinginan baik dan permohonan yang baik itu linier. Kalo dalam ilmu berhitung disebut persamaan linier.  Jadi hubungan matematisnya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Betul?” tanya Frater Darto. 

“Iya Frater.” 

“Antara variabel tunggal keinginan baik dikali konstanta pikiran baik akan menghasilkan hasil ucapan baik atau tindakan baik. Ya khan? Jika  ada masalah itu normal. Setiap hari baru akan ada masalah baru.”

“Masalah itu seperti halnya cobaan dan penderitaan.  Sesungguhnya itulah  rejeki sesungguhnya, bagi orang yang beriman. Itulah rejeki yang terbesar yang pantas untuk disyukuri dan menjadikan kita berdoa: Tuhan terimakasih atas pencobaan dan penderitaan yang kami dapatkan selama ini, karena itu akan membuat iman kami semakin kuat dan semakin membersihkan hati kami dari dosa-dosa! Dan menjadikan kami semakin mengerti akan kasihMu,” jelas Frater Darto.

“Iya Frater,  saya mengerti Frater. Hanya saya pernah dengar kalau doa-doa orang yang teraniaya akan dikabulkan? Saya khan termasuk orang yang tertekan dan teraniaya selama ini Frater?” tanya Kamisol.

“Ha..haha.. ya nggak begitu pak Anton. Prinsipnya harus tetap seperti persamaan linier tadi. Keinginan baik harus diungkapkan lewat permohonan baik juga.  Kalu niat jelek disampaikan lewat doa?  Haha… ada-ada saja pak Anton ini.  Masalah terkabul atau tidak itulah misteri illahi.  Hak prerogatif Tuhan istilahnya. Apalagi kalau isi doanya jelek-jelek,” kembali Frater Darto terbahak-bahak.

“Kadang-kadang orang suka  menganggap Tuhan itu seperti pemilik toko. Semua yang kita cari dan kita minta pasti ada dan akan dikabulkan. Haha.., ada-ada saja. Kita berhak untuk berdoa dan Tuhan berkewajiban untuk mengabulkan segala kebutuhan kita. Memangnya berdoa itu kayak sedang belanja di toko serba ada? Kita meminta penjual memberi? Haha.., ada-ada saja,” makin kencang tawa Frater Darto. Kamisol mau tak mau ikut tertawa, entah mentertawai dirinya sendiri atau memang ulasan Frater Darto lucu.

“Nah sekarang, kita bicarakan doa yang baik-baik saja, ya? Sering saat kita berdoa kita selalu bertanya-tanya: Kapan doa-ku dikabulkan? Ya khan?” tanya Frater Darto.

“Iya, Frater.”  

“ Saat kita memohon pada Tuhan, minta apa saja. Sudah jelas kita diminta pula untuk menunggu. Karena inilah hukum absolut illahi bahwa bahwa hanya Dia yang memiliki hak sepenuhnya untuk memutuskan kapan keinginan kita akan terkabul. Betul..?” tanya Frater Darto.

“Betul Frater,” jawab Kamisol yakin.

“Nah, dalam pengertian itu ada istilah yang disebut konsep waktu abadi atau bahasa kerennya divine time. Inilah konsep waktu illahi. Saat kita berdoa, meminta, yakinlah akan terkabul. Kendati kapan akan terkabulnya adalah misteri dan hak Tuhan untuk menentukan. Tugas kita adalah tetap yakin dan beriman. Bukankah sudah disebutkan dalam kitab alangkah hebatnya jika kita punya iman sebesar biji sesawi saja!” jelas Frater Darto.

“Berdoa, meminta atau memohon itu sama halnya dengan menanam sebutir biji sesawi tadi ke tanah. Kita harus sirami biji sesawi tadi dengan harapan baik, keyakinan dan rasa syukur terus menerus pada  Dia. Waktu nanti akan berbicara, kapan benih biji sesawi tadi akan tumbuh. Benih yang baik akan tumbuh menjadi bibit yang baik. Doa yang baik akan menghasilkan karunia dan perbuatan baik. Doa yang jelek? Ha.. haha.. pak Anton ini ada-ada saja.. ha.. haha.. “ tawa Frater Darto berderai-derai.

 “Ha.. haha.. Frater juga bisa aja… “ Kamisol ikut tertawa lagi.

“Nah, jalani saja hidup ini seperti biasa. Kenapa harus khawatir? Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. Yakinlah dengan bimbingan semangat Roh Kudus benih biji sesawi tadi akan tumbuh subur, rindang dan beranak pinak, berbuah dengan indah. Lagipula, setiap makhluk sudah ada konsep divine time-nya sendiri-sendiri. Kapan kita lahir, dapat jodoh dan kapan kita mati,” kata Frater Darto.

“Lantas bagaimana dengan doa yang tak terkabul Frater?” tanya Kamisol.

“Begini pak Anton. Dalam situasi sesulit apapun, Tuhan sudah mengajarkan pada kita untuk menyerahkan segala kekuatiran kita kepadaNya.  Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu. Apalagi saat kita menanti-nanti. Mengharap-harap kenapa tak terkabul-kabul. Cobalah renungkan dengan nurani yang jernih. Tuhan pasti menjawab, sanggupkah mata hati kita melihatnya?” 

“Itu masalahnya. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya.  Kita minta harta berlimpah, eh malah bisnisnya bangkrut. Minta tetap sehat, eh besoknya sakit. Apa artinya? Ada misteri universal, misteri illahi yang harus pintar-pintar kita jawab. Mohon kesuksesan malah bangkrut mengisyaratkan kita harus berusaha lebih keras lagi menghadapi tantangan dan perubahan. Kita membutuhkan tantangan untuk lebih tegar dan maju. Minta sehat malah sakit, artinya ada kesukaran yang harus kita atasi agar kita jadi makin kuat dan segar. Yang disampaikan pada kita adalah kebutuhan kita bukan apa yang kita minta. Jadi, Tuhan sebenarnya tak pernah memberi apa yang kita minta tapi memberi apa yang kita butuhkan. Betul?” jelas Frater Darto sambil bertanya.

“Betul Frater.” 

“Tapi begini ya pak Anton, saya sering membimbing bincang-bincang seperti ini. Macam-macam masalahnya. Ada lho yang menganggap doa itu sia-sia. Berdoa sama saja seperti memasukkan pesan dalam botol kosong, tutup.. terus lempar ke samudera raya. Hanyut ke kekosongan waktu. Terapung-apung, terombang-ambing dalam hamparan ketiadaan. Entah akan sampai ke pantai pulau misteri tak berpenghuni atau nyangkut di jaring nelayan buta. Tak tahu.. Iya, ada lho umat yang berpikiran seperti itu,” kata Frater Darto.  

Kamisol hanya manggut-manggut seperti daun ilalang dibelai-belai angin semilir.

“Sebenarnya berdoa itu bukan tujuan. Bukan pula terminal. Doa itu adalah perjalanan. Doa itu adalah kendaraan, wahana pribadi kita bertemu dengan sesuatu kekuatan yang illahi.  Lantas siapa pengemudi kendaraan ini?  Iman. Iman itu seperti layaknya pilot pesawat udara yang dibantu oleh asistennya co-pilot. Siapa co-pilot iman? Harapan. Kemana tujuan pesawat ini dibawa? Cinta kasih. Jadi dari ketiga unsur ini: iman, harapan dan cinta kasih yang terpenting adalah cinta kasih,” lanjut Frater Darto.

“Baiklah, terakhir ya. Kasih itu indah. Kasih itu murah hati. Kasih itu memaafkan. Maaf itu sama halnya seperti tanah yang rela disinari bertriliun-triliun kalori energi matahari dan rela dihantam milyaran kubik butir-butir hujan. Tanah tak pernah benci, tak pernah dendam. Alih-alih membalas, tanah malah berterimakasih dengan menumbuhkan benih-benih baru, menjadi tempat subur tanaman-tanaman, bunga-bunga dan buah-buahan. Dia rela disakiti dan sebagai gantinya membalas dengan memberi kenikmatan, manfaat dan cinta kasih. Itukah sikap pemaaf yang tak ada taranya di jagat raya ini. Jadi, pak Anton..” kata Frater Darto.

“Iya Frater..” jawab Kamisol.

“Maafkanlah mertua Anda. Justru berdoalah untuk kesehatan dan kesejahteraan bersama. Dia mungkin tidak tahu apa yang dia lakukan. Ingat tadi, cobaan dan penderitaan itu sebenarnya rejeki bagi orang yang teguh imannya. Seperti halnya doa  Madam Teresa de Calcuta: Tuhan, ketika bebanku terasa berat, berikan padaku beban seseorang untuk juga kupikul. Ketika aku menjadi miskin, hantarkan padaku seseorang yang butuh pertolonganku. Ketika aku tak punya waktu, bawakan padaku seseorang yang butuh bantuanku dengan segera. Dan ketika aku merasa terhina, hantarkan padaku seseorang yang padanya aku harus memuji. “ kata Frater Darto.

“Oke baiklah, pak Anton. Sudah beranjak siang ini. Lama juga ya? Haha.. ha. Baiklah.. tetap sehat ya, tetap rajin berdoa  dan salam buat keluarga.”  tutup Frater Darto.

“Baik Frater. Saya berimakasih banyak atas bimbingan Frater.  Frater juga tetap sehat dan sampaikan salam saya buat semua, temen-temen dan pengurus paroki,” balas Kamisol.

Kamisol dan Frater Darto hampir berbarengan berdiri. Bersalaman dengan hangat dan erat. Kamisol beranjak pergi disaksikan Frater Darto yang sabar menanti langkah perginya.

Kamisol menyeberang jalan. Metabolisme perutnya sudah membunyikan lonceng daur ulang. Mampir ke warung seberang paroki Bunda Penebus. Cukup ramai. Jam makan siang.  Kamisol duduk di meja pojok kanan. Melihat daftar menu dan memesan makanan pada pelayan. Mengambil handphone di kantong kemeja.

Ada SMS masuk tidak? Biasa, istrinya menyuruh bergegas jika sudah kelar dari gereja. Belanja bulanan. Tengah menunggu, matanya tetap aktif. Mendongak ke dinding sandarannya. Ada kata mutiara berbingkai tergantung.  Cukup menarik, berdirilah dia dan membaca isinya:

The Lamentations of Salahudin al Ayubi:
I asked for strength and Allah gave me difficulties to make me strong
I asked for wisdom and Allah gave me problem to solve
I asked for prosperity and Allah gave me faculty and energy to work
I asked for courage and Allah gave me danger to overcome
I asked for love and Allah gave me troubled people to help
I asked for favors and Allah gave me opportunities
I asked nothing for my self but I received everything I needed.

Rentetan kata-kata indah mengajaknya ingat ucapan ibunya dahulu. Saat berdoa sebelum makan Kamisol kecil terkenal dengan doa yang panjang-panjang dan bertele-tele. Itu sebabnya adik dan kakak perempuannya biasanya baru muncul setelah Kamisol selesai berdoa.

Kamisol kata ibunya, berdoa itu sebenarnya adalah simbol kerinduan kita pada Tuhan. Juga sama saja kamu berbicara dengan orang tuamu sendiri. Orang tua sudah tahu apa kebutuhan kamu. Tak perlu berpanjang-panjang, mohon yang macam-macam. Kalau urusan  urusan minta-minta, mintalah pada ibu, pada bapakmu yang sedang di sini sama-sama di meja makan. Kita lahir menjadi manusia ini saja adalah pemberian terbesar yang telah kita terima. Cukup sampaikan rasa syukur dan terima kasih. Sudah.  

 

Ikuti tulisan menarik Didi Adrian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler