Sekian waktu sebelum kau ke taman indah itu. Jarang terlihat foto kenangan bersamamu. Selalu tak lengkap. Kau dengan si bungsu atau si sulung atau kalian bertiga, aku?
Barangkali itu pertanda, kau, pamit. Lelaki pandir tak peka tanda-tanda alam. Beberapa kali pula data foto keluarga terhapus tak sengaja, susah payah kucari, membongkar semua keping gambar digital, alur kisah visual kaleidoskopis tertata, lagi, terhapus.
Sampai waktu tempuh datang, aku, genggam erat. Jangan Kau rampas ... Tersisa di titik koma sekalipun, tak ada apapun lagi, hanya itu milikku ... Cinta, anggur mabuk kepayang, terjungkal-jungkal, melupa segala hal tak juga hadir penguat jiwa.
Karam, sesal amarah kepandiran lelaki lemah. Bangkit, sulit kompromi, teror sepi menggigit. Mabuk angin, obat pening di otak mati terpuruk, tuntas. Bangkit, lelaki tolol. Kau mau? Kekasihmu menangis di pintu taman indah itu, tak mampu melangkah masuk, karenamu tak memberi ikhlas.
Ikhlas, tak semudah membuat sketsa di kanvas gigantik, ekspresi membuncah dada meledak-ledak, gelegar warna abstrak seketika kecupan hangat di keningku. Pelukanmu, kecupan sayang di ubun-ubun, gelora menggebyar selaksa langit. Ya, ketika itu.
Blur, sunyi itu. Transendental ... Lantas apa setelah ini ... Itu, Kitab Suci. Baca, katakan sesuatu, apapun sebagaimana kau dihidupkan. Soal nanti kau dimatikan, hidupmu selesai sudah. Baca lelaki tolol. Baca.
Aku, terkesiap. Aku, gagap.
Baca saja, mengalir sungai-sungai kasih di hatimu. Sebagaimana ketika awalnya, kau, dilahirkan. Berwudu, lafalkan khusyuk sujudmu. tak ada cara lain.
Berkasidah, pelangi langit kudus cintaku kepada-Mu, lelahku tak terucap lagi. Kekasih kau dengar ayat suci cintaku? Lanjutkan langkahmu ya ...
***
Jakarta Indonesiana, Maret 18, 2023.
Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.