Rumah Semesta

Kamis, 30 Maret 2023 07:10 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rumah Semesta. Cerita tentang kasih sayang. Komandan satuan khusus kepolisian serta satu prajurit, terluka tembak, dalam satu daya tempur operasi khusus, dikabarkan, komandan kritis. Prajurit, pahlawan negeri, baru selesai di makamkan, dengan upacara resmi Kepolisian Negara.

"... Bapak sudah tahun ketiga setelah pensiun menempati rumah dinas ini. Kewajiban kami mengembalikan rumah dinas ini kepada instansi agar bisa digunakan oleh keluarga pegawai berikutnya..." Surat kepada tiga anak lelakinya, telah berkeluarga, kecuali si bungsu perempuan, tinggal bersamanya.

**

Pembukaan perayaan pameran besar seni rupa, komitmen para perupa pada kemitraan pendidikan seni untuk publik. Gor, luas itu meriah oleh pengunjung umum maupun undangan, para kerabat dari peserta. 

Bersyukur pameran seni rupa tersebut bermanfaat edukatif, selanjutnya pelaksanaan program independen, sehari sarasehan, komunikasi seni, untuk pelajar, mahasiswa, juga untuk umum jikalau berminat, reguler setiap akhir bulan, merupakan salah satu dari rencana seni rupa cerdas untuk publik, gratis. 

Beragam kegiatan dilakukan sesuai keahlian perupa ahli bersangkutan, memberi bimbingan belajar manfaat bersama seni-berbagai topik menarik telah digelar sesuai rencana waktu wacana penuturan berjalan. 

Waktu, perubahan tanpa henti. "Ayah atau Ibu, menjemput si sulung, dia belum sehat benar dari sisa flu-nya..."

"Hamba, tuan putri." 

"Baik sekali ya pacarku ini. Oh, lukisan pesanan, mantan hm lampau, nan elok nian, belum selesai ya?" Ada frekuensi aneh pada getar suara itu.

"Hehehe... Anak dua isteri satu... Aku kaya raya loh." Pelukan kasih sayang, membawa kami sampai pada puji syukur seluas langit.

**

Distrik Kantor Kepolisian Negara. Tepi Barat, perbatasan luar kota. 

"Laksanakan." 

"Lakukan manufer prima dengan tertib, fokus pada target."

"Siap!"

Komandan satuan khusus kepolisian serta satu prajurit, terluka tembak, dalam satu daya tempur operasi khusus, dikabarkan, komandan kritis. Prajurit, pahlawan negeri, baru selesai di makamkan, dengan upacara resmi Kepolisian Negara.

**

Rumah pensiunan pegawai jawatan, sederhana, pinggir kota. Bapak, tegas, tak kenal mundur selangkahpun, mengabdi untuk negerinya. "Tenang Bapak. Hanya doa kehadirat-Nya, untuk keselamatan, kekuatan, anak kita. Dia prajurit Kepolisian Negara, penerima tanda jasa bintang teladan. Tuhan Maha Gaib. Maha Penyembuh, pemilik hidup jagat ini." Suara Ibu sabar, tulus suara cintanya, membuat Bapak selalu kuat, bertahan dalam cuaca apapun, lurus budi. Memutih rambut keduanya kini, dalam cinta putih itu. 

Aku, si bungsu, perempuan satu-satunya dari tiga lelaki kakakku. Duduk berhadapan dengan keduanya di ruang tamu, setelah membuatkan wedang sereh gula aren plus sedikit jahe, kesukaan Bapak.

Belum pernah aku melihat Bapak, manusia karang sekuat badai, terguncang menerima kabar tentang kejadian, perihal kakak di Kepolisian, dalam tugas untuk negara. Tali kasih di antara kami terikat amat kuat, keluarga, anak cucu, semesta keluarga ini, membuat Bapak sangat khawair pada kata, kehilangan. 

**

"Siap Jenderal."

"Sesuaikan dengan manufer prima Kepolisian Negara. Terpeta akurat. Infanteri, penerjunan Elang Malam Operasi Sunyi. Koordinasi perdetik dengan pusat pengendali Kapal Induk."

"Siap Jenderal."

"Satu Untuk Jiwa Negeri!"

"Satu Untuk Jiwa Negeri! Siap Jenderal!" Tiga Komandan Pasukan Khusus, per-keahlian, pamit menuju tugas.

**

Rumah Sakit, malam. Baru selesai transfusi untuk adiknya. "Tuhan, selamatkan jiwanya, keteladannya masih diperlukan negerinya." Tak jauh dari ruangan itu, lantas sekilat sosok masuk ruang tunggu UGD. 

"Papa? Pak De..." Suara itu, segera memeluk keduanya. Anakku bersama ibunya.

"Ilahi, senantiasa ada untuknya. Doa..." Tersendat suara keduanya berselingan.

"Kalian pulang. Papa, di sini sampai tiga jam kedepan. Semoga dia bisa melewati masa kritisnya. Aku sekaligus pamit, untuk nanti langsung menyusul tugas. Papa di Kapal Induk ya. Doakan..." Pada keduanya penuh cinta.

**

Bendera negeri dalam kotak kaca terlipat sebagaimana aslinya, ada di antara foto Bapak, segaris bersisian dengan foto ibu, di tengahnya foto almarhum kakak kedua, Perwira Kepolisian Negara, akhirnya gugur dalam tugas. Agak kesamping kiri, foto kakak sulung berpakaian lengkap perwira tinggi, bersama keluarganya, di samping agak ke kanan foto kakakku ketiga, tokoh gerakan seniman peduli pendidikan luar-sekolah untuk negerinya. 

Surga, mencatat realitas. Ada satu hal selalu menjadi kenangan, rutinitas lebaran satu meja makan kumpul keluarga, di antara suara seru cucu-cucunya. Ayah selalu, mengatakan "Kalian telah menjadi manusia berguna, untuk keluarga, juga negerimu. Kau, perwira polisi. Kau seniman. Si bungsu perempuan satu-satunya ahli gizi. Kau si sulung seorang jenderal... Bersyukur aku ini. Tapi, jenderal sesungguhnya di rumah ini adalah Ibu. Kalian wajib sungkem kan setiap lebaran..." Senyum ayah ngawang ke angkasa, khas.

***

Jakarta Indonesiana, Maret 29, 2023.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Antumbra

Selasa, 2 Juli 2024 19:30 WIB
img-content

Eskrim Pop Up (35)

Selasa, 25 Juni 2024 19:34 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua