x

Sha Ine Febriyanti memerankan Nyai Ontosoroh dalam film "Bumi Manusia"

Iklan

Dewi Sartika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Oktober 2022

Sabtu, 1 April 2023 06:32 WIB

Dua Nyai

Bayangan perempuan itu memenuhi cermin bundar dengan ukiran kayu di pinggir. Tangannya dengan gesit menyisir mahkota hitam kelam nan lebat miliknya. Sesekali mata beningnya melirik sebuah kertas di meja. Helaan napas berat keluar dari hidung yang tidak terlalu bangir maupun pesek

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kardinah meletakkan sisir kayu bergerigi rapat. Tangannya mengambil kertas itu lalu diremas dengan kekuatan penuh. Perempuan bertahi lalat di pinggir bibir itu gegas bangkit dari kursi. Sepasang kaki bertelanjang itu melangkah mendekati jendela. Sejenak, pandangannya menyapu ke luar jendela.

Kertas itu menjadi beberapa serpihan saat Kardinah merobeknya, lalu membuangnya ke luar. Hatinya merasa lega.

"Sebaiknya, jangan membuang sembarangan. Kasihan si Pono. Pekerjaannya sudah terlalu banyak."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perempuan bersuara serak itu muncul dari pintu yang setengah terbuka. Raut mukanya datar. Sepasang kakinya yang bertelanjang memasuki kamar mewah itu. Mbok Sum---sang babu---menghampiri Kardinah. Kedua tangannya langsung meraih daun jendela. Sekilas, dia melirik serpihan kertas yang berserakan di atas tanah. Mbok Sum menutup jendela kala mendapati langit mulai berubah warna menuju gelap.

"Apa itu dari dia?"

Pertanyaan Mbok Sum membuat Kardinah terperanjat. Perempuan dengan rambut tergerai itu mengangguk lemah. Kardinah lalu berjalan ke arah cermin, bermaksud menggelung rambut. Di depan cermin berukuran sedang itu, perempuan yang menjadi Nyai Bernard de Flinder duduk mematut. Tangannya hendak mengambil sisir. Namun, kalah cepat oleh jemari kecokelatan milik Mbok Sum. Tak butuh waktu lama, rambut Kardinah telah tergelung sempurna. Seperti biasa, sebuah tusuk konde warna emas disematkan babu itu untuk menyempurnakan penampilan Kardinah.

 

"Segera ke meja makan. Sebentar lagi Tuan datang," ucap Mbok Sum kepada perempuan berusia 19 tahun itu, lalu berjalan keluar.

 

Kardinah mengangguk.

 

"Dinah!"

 

Suara Mbok terdengar kembali. Kali ini terdengar tegas dan nyaring. Kardinah memutar setengah tubuhnya. Bola mata beningnya menangkap sosok sang babu masih berdiri di ambang pintu. Mereka berdua bersitatap. Namun, tatapan nyalang Mbok Sum membuat sang nyai sedikit bergidik.

 

"Jangan bermain api atau kamu yang akan terbakar sendiri."

 

Mbok Sum memberi peringatan kepada Kardinah. Logat Jawanya masih terdengar meski bertahun-tahun dia menghamba kepada majikan di bumi sunda. Perempuan itu lalu menghilang dari balik pintu.

 

Perempuan berkebaya putih gading dengan renda pada bagian pinggir kancing itu menghadap cermin kembali. Kardinah menatap gambaran dirinya di cermin, lalu membuang napas secara perlahan. Kini, dia telah menjadi seorang nyai. Nyai Kardinah.

 

Hidupnya nyaris sempurna. Dibandingkan dengan para nyai lainnya di perkebunan teh Malabar, Kardinah adalah ratunya. Setidaknya, itu yang dikatakan orang-orang perkebunan. Nyai tercantik meski Kardinah merasa dirinya bukanlah yang tercantik. Uang Tuan de Flinderlah yang berhasil mengubahnya seperti ini. Pulasan bedak beserta gincu yang didatangkan langsung dari Batavia membuat wajahnya bisa secantik ini.

 

Begitu juga saat orang-orang mengatakan, Kardinah adalah nyai terpintar. Untuk hal ini, dia memang tak menolaknya. Namun, ini bukan berkat Bernard de Flinder. Kardinah mengembuskan napas panjang. Seketika, pikirannya menerawang ke beberapa tahun silam. Ketika dia masih menyandang status Nyai Frederick Kerkhoven---sahabat Bernard de Flinder. Frederick Kerkhovenlah yang mengasahnya menjadi batu bernilai seperti sekarang. Nyai Kardinah tersenyum getir mengingat lelaki itu. Empat tahun hidup bersama Tuan Kerkhoven sedikit demi sedikit mampu mengubah nasibnya. Meskipun untuk itu, dia harus ditukar dengan segepok lembar uang yang mampu membuat ayahnya tersenyum lebar. Kardinah mendesah. Mengingat sang ayah hanya akan membuka luka lama yang masih tertinggal di relung terdalamnya.

 

Suara ringkikan kuda dari luar membuyarkan lamunan Kardinah. Jemari lentiknya meraih bedak untuk dipoles pada pipi. Tak lupa, sebuah gincu warna merah dia oleskan pada bibirnya yang tipis. Kardinah beranjak menuju ruang tamu. Bersiap menyambut Tuan de Flinder. Sebuah rutinitas yang diajarkan Mbok Sum sejak dia memasuki rumah ini.

 

Sejak hari pertama, Kardinah menginjakkan kaki di rumah ini. Mbok Sum adalah guru sekaligus sahabat. Mereka berdua teramat dekat meski usia babu itu dua kali lipat dari umur Kardinah. Paras Mbok Sum terlihat cantik meski dia tak pernah merias diri. Satu lagi, untuk ukuran babu, Mbok Sum termasuk terpelajar. Kardinah tak tahu dari mana perempuan itu memperoleh kepintarannya.

 

Sesampainya di ruang tamu, Kardinah tertegun. Sepasang matanya hampir tak berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Perempuan berlesung pipi itu tercengang saat matanya menangkap sosok lelaki berjarak lima meter di hadapannya. Kardinah seperti melihat hantu. Seketika paras yang telah tertutupi riasan sederhana itu perlahan memucat.

 

"Goedenavond, Kardinah."

 

Pemilik bibir dengan lekuk tegas itu menyapa Kardinah dengan senyum menyeringai. Kardinah masih mematung, serasa aliran darahnya berhenti mendadak. Lelaki berbusana jas tutup putih itu melangkah maju. Ayunan langkahnya terhenti pada jarak sejengkal dari sang nyai, membuat tubuh Kardinah gemetaran. Perempuan 160 sentimeter itu mundur selangkah. Namun, sebuah tangan mencengkeram lengannya yang tertutupi kebaya. Kardinah ternganga tak berkedip. Dia dan lelaki itu beradu pandang. Tepat, seperti sebulan lalu.

Malam menjelang pergantian tahun. Gemuruh tepuk tangan berpadu sorak-sorai penonton terdengar samar. Pertunjukan opera stambul 'Ali Baba dan 40 Penyamun' mampu memukau penonton yang berasal dari para pekerja perkebunan, masyarakat sekitar, dan pekerja kulit putih. Malam ini, Bernard de Flinder berbaik hati menyajikan hiburan untuk mereka, tanpa sepeser pun dipungut biaya. Sayangnya, administratur perkebunan itu justru tak bisa hadir karena urusan penting di Buitenzorg.


Berbanding terbalik dengan di luar. Sebuah ruang berukuran empat kali lima meter yang menjadi bagian dari rumah besar bercat putih dengan dua pilar tegak di teras terasa senyap. Dua sosok manusia sedang menatap langit-langit kamar usai berlayar menyusuri lautan lepas yang memabukkan. Kedua kalinya,  mereka melakoni malam jahanam ini.  Menunggu sang empu rumah pergi.


Peluh belum mengering. Jemari Kardinah sibuk mengayunkan kipas kain berenda bermaksud mendinginkan tubuhnya yang baru saja disergap hawa panas. Sementara lelaki di sampingnya sedang menikmati sebatang rokok yang terselip di bibir sambil menempelkan punggung pada sandaran dipan. Gumpalan asap putih muncul meliuk-liuk di udara.


"Minggu depan, aku akan berangkat ke Yogja. Untuk sementara, aku dipindah tugaskan ke perkebunan tebu," tutur Karel mengawali pembicaraan. Rokok yang diisapnya tinggal separuh.


"Bagus. Kepergianmu membuat hubungan terkutuk ini akan cepat berakhir!"


Kardinah meletakkan kipas, lalu menyibakkan selimut yang menutupi tubuh mereka. Pemilik tubuh langsing itu beranjak dari dipan. Kebaya yang tergeletak di lantai segera dipungutnya.


"Dinah, bukankah ayahmu dari Yogja?"


Pertanyaan Karel membuat sang nyai menoleh. Tangannya tak jadi memasukkan kancing kebaya ke lubang. Pikirannya baru saja tersadar jika ada separuh Jawa dalam tubuhnya. Selama ini, orang-orang perkebunan hanya menganggapnya sebagai 'neng geulis' dari bumi Priangan. Dia menggeleng. Sekali lagi, perempuan itu tidak ingin lagi mengingat ayah yang telah menggadaikan nasibnya sebagai gundik.
"Kudengar, di sana ada sebuah pemakaman," sambung Karel seraya menekan-nekan rokok di atas asbak kayu. "Maksudku, pemakaman khusus untuk para pengkhianat kerajaan. Pasareyan Banyusumurup. Di sana, ada kuburan seorang gadis berusia 14 tahun  yang tewas ditikam kekasihnya, seorang putra mahkota. Dia putra Amangkurat satu. Mereka bertiga terlibat cinta segitiga. Benar-benar kisah cinta tragis." Karel menggeleng.


Kardinah menyeringai. "Dan kau berpikir untuk menyamakan apa yang terjadi di antara kita seperti kisah mereka?" sindirnya. Namun, di dalam hatinya, sungguh dia mengagumi pengetahuan Karel tentang sejarah Jawa. 


"Tetapi mirip bukan?" tanyanya kembali. Dada Karel menegak. Peluh masih membasahi sebagian dadanya yang kokoh.


Kardinah tak tertarik untuk menjawab. Tangannya masih sibuk memasukkan kancing ke lubang baju hingga sepasang tangan menyentuh kedua lengan yang tertutup kebaya. Kardinah mendongak. Pemilik wajah dengan tulang pipi tinggi berbalut kulit sawo itu matang menatapnya dengan saksama.


"Apa kau mencintainya?" 


Karel dan Kardinah saling memandang. Sunyi sesaat. Suara tokek yang menempel di balik lemari memecah keheningan. Jari-jari Karel yang berukuran dua kali lebih besar dari Kardinah terlepas dari lengan Kardinah. Tarikan wajah lelaki berdarah campuran itu terlihat muram. Tak berselang lama bibirnya membentuk gurat sinis.


"Kau mencintainya, Dinah. Benar-benar tak kusangka jika kau menaruh hati kepada lelaki mandul itu!" 


Karel menjauhi Kardinah. Kedua tangannya berkacak pinggang. Kepalanya menengadah berlanjut dengan memicingkan mata sesaat. Segera, tangannya menyambar pakaian putih yang tersampir di sandaran kursi dekat dipan. 


Hati Kardinah bergejolak mendengar ucapan Karel. Dia memang hanya seorang nyai. Nyai yang harus menyerahkan segenap jiwa dan raga kepada sang majikan sebagai tanda pengabdian. Meskipun kehidupan yang dilakoninya serupa burung di sangkar emas, pantang bagi dirinya untuk diam saja kala tuannya dihina.


"Jaga mulutmu, Tuan Karel van Hoorn. Tak layak kau berkata seperti itu kepada orang yang telah memberimu kehidupan yang lebih baik!" sergah Kardinah. Matanya tampak menyala.


"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Nyai Kardinah? Di depan Bernard de Flinder bisa saja kau berperan sebagai nyai yang setia kepada tuannya. Namun, di sini, kau sudah menjadi perempuan sun-." Karel menghentikan ucapannya. 


Terlambat, raut muka Kardinah mengeras seolah-olah menahan sesuatu. "Urusan kita selesai sampai di sini, Tuan Karel!" sahutnya. Napas Kardinah menderu. Tak berapa lama, terdengar bunyi sepasang selop hitam diikuti daun pintu yang berderit.


Kardinah mencoba meredakan gemuruh di dada. Jantungnya kembali berdebur tak beraturan saat Mbok Sum mematung tak jauh dari tempatnya berdiri. Seakan tak melihat apa-apa, dengan tenang Mbok Sum lekas berlalu. Kardinah menarik napas panjang. Kembali, dia harus menutup mulut sang babu dengan benggol.


"Dinah." 


Sebuah tepukan lembut di pundak membuat Kardinah berpaling dari jendela. Menghempaskan perempuan pribumi itu dari lamunan panjang. Bernard de Flinder berdiri tegak di belakangnya dengan bibir menggigit pipa. Kardinah sedikit terperanjat. Keningnya mengerut. Menjelang siang, biasanya, tuannya masih sibuk di perkebunan.


"Apa kau sedang melamun?" tanya Tuan de Flinder sambil meletakkan pipa cangklong di meja.


Pertanyaan tiba-tiba dari sang tuan membuat Kardinah geragap. "Bu-bu-kan," jawabnya terputus-putus. "Mak-sud saya, saya memang sedang memikirkan sesuatu," lanjutnya. Matanya menebar pandang ke sudut-sudut kamar setelah menatap sejenak Tuan de Flinder.


Jemari lelaki itu menekan-nekan tembakau dalam pipa. "Apa nyaiku ada masalah?" 
Kardinah menjauh dari Tuan de Flinder kemudian duduk di atas kasur. Dia termangu sembari menunduk. Hatinya sedang dipenuhi suara sumbang. Kardinah menarik napas.


"Tuan .... " 


Suara jernih Kardinah membuat mata Tuan de Flinder memandang perempuan di hadapannya dengan saksama. Tangannya terlipat di dada. Lelaki itu tak sabar mendengar Kardinah melanjutkan ucapannya kembali.


"Apa Tuan bisa memaafkan jika saya berbuat salah?" 


Kardinah merasa tak ada lagi batu yang menindihnya seusai berucap. Namun, hatinya berdebar menanti reaksi Tuan de Flinder. Sorot matanya masih tertuju kepada sang tuan. 


"Kau tahu, Nyai Kardinah?" Bernard de Flinder bertanya balik. "Jauh sebelum kau menjadi nyai di rumah ini. Aku pernah memiliki seseorang sepertimu. Aku menjadikannya seorang nyai. Bahkan aku berniat menikahinya. Namun, suatu hari, keinginanku itu, terhempas begitu saja. Dia mengaku telah berbagi hati dan tubuh dengan lelaki lain. Aku benar-benar kecewa. Sesungguhnya, aku sangat membenci perselingkuhan. Kupikir, perempuan-perempuan pribumi lebih bisa setia, ternyata aku salah."


Tubuh Kardinah seketika menegang. Pikirannya tumpul serta ada kelebat ketakutan melintas. Perkataan Tuan de Flinder laksana godam yang menghujam ulu hatinya. "La-lu, dimana perempuan itu sekarang, Tuan? Kardinah berusaha menahan kecamuk dalam hatinya."Bagaimana nasibnya saat ini?" lanjutnya dengan wajah tampak goyah saat berusaha meneruskan bicara.


Namun, Bernard de Flinder menanggapi dengan nada sedikit kecut, "Mengapa kau peduli dengannya?" Tak lama kemudian, terdengar langkah pantalon hitam mengilap meninggalkan kamar.


Sejenak, Nyai Kardinah masih terpaku di tempat hingga dorongan kuat di benaknya menuntunnya melangkah mendekati meja yang berada di salah satu sudut ruangan. Tanpa pikir panjang, perempuaan itu memainkan pena pada secarik kertas. Pada beberapa bagian, Kardinah menekan kuat pada satu titik hingga membuat kertas hampir berlubang. Selesai, kedua tangannya mengangkat kertas itu lalu membacanya. Sebuah surat penyesalan sekaligus permohonan maaf. Kardinah menaruhnya kembali sebelum bangkit dari kursi. Kardinah hendak melangkah saat perhatiannya tersita kepada kertas yang bentuknya menyerupai bola tetapi tak beraturan. Dia berjongkok dan memungutnya.


Tubuh ramping yang menjadi candu Bernard de Flinder di malam hari itu hampir saja limbung   jika saja Kardinah tidak berpegangan pada sandaran kursi. Bola matanya terbelalak. Diikuti detak jantung yang berdegup kencang. Dia tak memercayai apa yang baru saja dilihatnya.
Sebuah kertas yang sempat dirobeknya beberapa hari lalu kini telah menyatu. Sebuah surat yang dikirim menjelang kedatangan Karel van Hoorn ke perkebunan ini kembali. Bagaimana lelaki itu begitu merindukan malam memabukkan yang pernah mereka arungi dengan syahdu. Tentang kesiapan Karel jika harus berduel bermain anggar--permainan yang biasa dia mainkan bersama sang atasan--untuk memperebutkannya. 


'Si-apa yang telah memberikannya kepada Tuan de Flinder?' Kardinah menggumam dalam hati.


Kardinah mendesah. Tak mungkin rasanya jika Mbok Sum yang melakukannya. Babu yang senantiasa mengenakan kebaya putih kusam layaknya para nyai itu tak mungkin mengkhianatinya. Sejak awal Kardinah membagi hatinya kepada Karel, Mbok Sum telah mengetahuinya dan perempuan itu memilih diam. Bahkan, babu itu berulang kali menasehatinya untuk mengakhiri hubungan terlarang bersama sang deputi administratur.


Kardinah terperanjat ketika suara jam dinding berdentang. Pendulum menunjuk pada angka 12. Lekas, dia menaruh surat Karel kemudian mengambil surat yang baru saja ditulisnya. Kertas yang tidak terisi penuh itu dilipatnya menjadi beberapa lipatan lalu ditaruhnya di balik kebaya pada bagian dada.  Kakinya beranjak menuju meja makan. Kardinah tercengang. Hari ini, bisa jadi Tuhan---yang lama tak ditemuinya--sengaja menguji. Bernard de Flinder dan Karel van Hoorn tampak menikmati santap siang. Mereka tak menyadari kehadiran Kardinah sampai perempuan itu duduk.


"Maaf Kardinah, kami mendahuluimu. Kami sudah terlalu lapar. Aku sengaja mengundangnya," ucap Tuan de Flinder sambil menatap Karel. Barisan gigi putih sang tuan sedang merobek daging semur. 


"Selamat makan, Nyai." Karel van Hoorn  melirik perempuan yang duduk tepat dihadapannya. Bibirnya membentuk garis simetris yang sinis.

Berbagai hidangan yang tersaji seperti perkedel, semur, sup brenebon, serta sejumlah makanan lokal tidak menggugah selera Nyai Kardinah. Hatinya justru merasa awas dengan kehadiran dua lelaki di ruang ini. 'Tak biasanya.' Kardinah membatin.


"Kau tidak makan, Dinah?" tegur Tuan de Flinder. Dahinya mengerut melihat sang nyai hanya menatap makanan.


Meskipun perutnya belum merasa lapar, Kardinah memaksa tangannya untuk mengambil gelas kaca sebelum menyantap hidangan. Bibir mungil tanpa pewarna itu menyesap air putih. Sesaat, dia merasa aneh di pertengahan ketika air putih sisa separuh. Namun, Kardinah mengabaikannya. Perutnya memang tak lapar tetapi dia kehausan. Gelas kaca panjang itu kosong. Kardinah meminum hingga tandas.


Denting sendok dan garpu bertalu-talu serupa dengan musik orkestra yang pernah Kardinah nikmati di gedung 'Schouwburg van Batavia' setahun lalu. Suara itulah yang terdengar saat ini. Tuan de Flinder dan Karel masih membisu meski piring di hadapan mereka telah kosong. Kardinah memasukkan sendok berisi nasi dan perkedel untuk terakhir kalinya ke mulut.


"Karel, apa kau bisa menungguku di perpustakaan? Setelah ini, aku ingin melihat keris yang kau bawa dari tanah Jawa," kata Tuan de Flinder sebelum menikmati anggur merah dalam gelas bertangkai.


Karel van Hoorn mengangguk dan pergi ke ruang yang dimaksud atasannya itu.


Tuan de Flinder melempar pandangan. Lama, matanya terus saksama menatap Kardinah. Membuat perempuan itu tampak gugup. Tuan de Flinder menangkap kesan itu kemudian meminta sang nyai untuk menunggunya di serambi.


Kardinah beringsut mendekati Tuan de Flinder. Genggamannya terbuka. Sebuah kertas lecek karena jari-jari Kardinah berair dia berikan kepada lelaki berkumis tebal melintang. Cukup lama dia memandangi tuannya. Tanpa sadar, sepasang mata bening itu mengembun. Kardinah menghambur menuju serambi. Di pertengahan, penglihatannya mulai kabur. Sesampainya di serambi, Kardinah langsung mendaratkan tubuhnya ke kursi goyang.


Kardinah termangu. Memandangi rerimbunan pohon-pohon trambesi dan beringin besar yang akarnya menancap kuat di halaman. Bibirnya tersungging. Mengingat awal kedatangan ke rumah megah bercat putih ini. Tuan de Flinder menyambutnya penuh hangat bersama Mbok Sum yang senantiasa tersenyum.


Mulanya, kursi bergoyang dengan irama cepat. Perlahan iramanya berkurang dan terhenti tepat saat Kardinah tak mampu menahan lagi rasa aneh pada tubuh. Berangsur-angsur mata Kardinah menutup. Perempuan itu tampak tertidur pulas. 


"Dinah." 


Mbok Sum yang sedari tadi berada di belakang Kardinah, menggoyang-goyang tubuh perempuan itu. Tak ada reaksi sama sekali. Mbok Sum tersenyum samar. Terdengar teriakan dari perpustakaan sekaligus merangkap ruang kerja Bernard de Flinder. Mbok Sum mempercepat langkah dan  berdiri di balik pintu yang terbuka sebagian.


Sebuah pemandangan mengerikan baru saja disaksikannya. Karel van Hoorn menancapkan keris ke perut Tuan de Flinder. Seketika tubuh lelaki berambut kuning itu ambruk ke lantai marmer. Cairan merah pekat membasahi jas tutupnya. Tak lama kemudian, Karel menemui nasib sama. Tubuhnya bergeleparan laksana ikan kala air menyusut.


Mbok Sum melanjutkan langkah. Kakinya menapaki sebuah kamar. Sepasang kebaya putih berenda dan kain batik ditarik olehnya  dari tumpukan baju. Segera, Mbok Sum melucuti kebaya lusuh yang telah menemani hari-harinya di sini. Berganti dengan kebaya berbau melati. 


Sang babu menatap cermin. Dengan tangkas, tangannya mulai menepuk-nepuk pipi dengan bedak. Dilanjutkan mewarnai bibir dan menggelung rambut. Terakhir, sebuah konde menjadi penghias gelungan. Wajah Mbok Sum semringah. Dulu sekali, dia pernah secantik ini. Saat Mbok  Sum berjalan menyusuri perkebunan. Mengapit mesra lengan kokoh lelaki di sampingnya. Menebar senyum kepada setiap orang yang menyapanya, Nyai Sumirah.

Ikuti tulisan menarik Dewi Sartika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler