x

Iklan

Faiz Syadiro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Oktober 2022

Jumat, 7 April 2023 07:58 WIB

Mengenal Etnis Ainu, Penduduk Asli yang Didiskriminasi di Tanahnya Sendiri

Ainu sebagai penduduk asli mengalami diskriminasi di tanahnya sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ainu dan perbedaannya dengan etnis mayoritas Jepang

Jepang merupakan salah satu tujuan destinasi wisata yang terkenal. Budaya dan keindahan alamnya menarik minat ribuan wisatawan setiap tahunnya. Salah satu destinasi wisata dan budaya yang terkenal adalah etnis Ainu di pulau Hokkaido. Etnis Ainu menjadi sebuah pembeda di tengah homogenitas masyarakat Jepang. Etnis Ainu secara fisik memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan ras mayoritas Jepang. Ainu memiliki fisik yang besar namun agak pendek, rambut kemerahan hingga pirang, dan juga kulit putih. Secara umum etnis Ainu lebih dekat dengan etnis turki-rusia daripada Jepang. Etnis Ainu pada awalnya menempati pulau Honshu, namun seiring dengan perkembangan negara Jepang pada era pertengahan etnis Ainu dipaksa untuk pindah ke wilayah pulau Hokkaido bagian utara dan kepulauan Kuril yang berbatasan dengan Rusia.

Selain perbedaan fisik, etnis Ainu juga memiliki perbedaan di bidang budaya dan kepercayaan. Sementara mayoritas orang Jepang menganut Shinto dan Buddha, etnis Ainu tetap memegang teguh kepercayaan animisme-shamanisme mereka sendiri. Layaknya keberadaan Kami pada kepercayaan Shinto, etnis Ainu memercayai keberadaan Kamuy. Kamuy sendiri adalah perwujudan dari ruh yang ada di sekitar kita. Kamuy dapat bermanifestasi sebagai hewan, tumbuhan, air, bahkan peralatan sehari-hari. Kamuy biasanya diasosiasikan pada ruh yang dianggap positif dan juga kuat. Sama seperti Kami, jumlah pasti Kamuy tidak dapat dipastikan karena pola hidup etnis Ainu yang hidup menyendiri dalam berbagai kelompok sehingga hampir tiap kelompok memiliki Kamuy yang berbeda-beda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang unik dari kepercayaan etnis Ainu adalah kebiasaan mereka untuk menghafalkan mantra-mantra ritual yang panjang. Sebagai etnis yang tidak memiliki kebudayaan tulis menulis, maka mereka mewariskan mitos dan mantra-mantra secara mulut ke mulut selama generasi ke generasi. Mantra-mantra tersebut biasanya berisi doa-doa dan kisah kepahlawanan yang panjangnya bisa sampai sebanyak 7000 ayat. Layaknya kepercayaan shamanisme pada umumnya, ritual dan upacara keagamaan Ainu dipimpin oleh Wanita yang berperan sebagai shaman atau medium antara manusia dan para Kamuy.

Diskriminasi Pemerintah Jepang terhadap Ainu 

Diskriminasi terhadap etnis Ainu dimulai sejak kedatangan orang Jepang pada abad ke-19. Pada saat itu, orang Jepang mulai memasuki wilayah Ainu dan merampas tanah mereka. Pemerintah Jepang juga memaksa etnis Ainu untuk menyerahkan hak milik mereka atas tanah dan sumber daya alam. Selain itu, etnis Ainu juga seringkali dianggap sebagai kelompok masyarakat yang primitif dan tidak maju oleh orang Jepang.

Pada awal abad ke-20, pemerintah Jepang memperkenalkan program modernisasi di Hokkaido, yang bertujuan untuk mengubah etnis Ainu dari penghuni wilayah yang merdeka menjadi anggota masyarakat modern Jepang. Program ini meliputi sekolah-sekolah baru, yang mengajar bahasa Jepang dan mengabaikan bahasa dan budaya Ainu, dan juga merampas tanah dan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupan etnis Ainu.

Selama periode ini, etnis Ainu juga menghadapi diskriminasi yang terus berlanjut. Mereka seringkali diabaikan dalam program pembangunan pemerintah, seperti program pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Selain itu, orang Ainu juga menghadapi kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak dan seringkali dihadapkan pada diskriminasi dalam hal pekerjaan dan pendidikan. Mereka juga diabaikan dalam hal perumahan dan layanan Kesehatan (Cornell, J. B, 1964).

Selama Perang Dunia II, diskriminasi terhadap etnis Ainu meningkat, karena pemerintah Jepang mengejar kebijakan nasionalis yang mempromosikan homogenitas budaya dan bahasa Jepang. Selama periode ini, etnis Ainu diwajibkan untuk berbicara bahasa Jepang dan meninggalkan bahasa mereka sendiri. Etnis Ainu juga dilarang mengenakan pakaian tradisional mereka, dan adat istiadat dan praktik keagamaan mereka dipandang sebagai ancaman terhadap budaya Jepang yang homogen. Tindakan diskriminasi ini menyebabkan efek yang luar biasa terhadap etnis Ainu. Bahasa Ainu dilarang digunakan di tempat umum, budaya Ainu ditekan, dan orang-orang Ainu mendapat persekusi dan diskriminasi. Akibatnya bahasa Ainu menjadi salah satu bahasa yang terancam punah. Tak terhitung pula ribuan orang yang memilih menyembunyikan identitas mereka sebagai etnis Ainu agar tidak mendapat persekusi.

Pada tahun 2008 pemerintah Jepang akhirnya mengakui etnis Ainu sebagai salah satu dari etnis yang ada di Jepang dan juga bahasa Ainu sebagai bahasa daerah. Mendukung pengakuan ini pemerintah Jepang juga mendirikan balai konservasi bahasa dan budaya Ainu di Hokkaido. Balai ini didirikan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah Jepang dalam melestarikan dan mempromosikan bahasa dan budaya etnis Ainu.

Jika dibandingkan dengan etnis minoritas Jepang lainnya, salah satu perbedaan utama antara Ainu dan etnis minoritas lainnya di Jepang adalah bahwa Ainu bukanlah kelompok imigran seperti kebanyakan etnis minoritas lainnya. Mereka adalah penduduk asli Hokkaido, pulau utara Jepang, dan sekitarnya. Karena itu, Ainu telah memiliki sejarah dan budaya yang unik dan sangat berbeda dari masyarakat mayoritas Jepang.

Selain itu, Ainu telah menjaga tradisi dan bahasa mereka selama berabad-abad meskipun tekanan untuk asimilasi dari pemerintah Jepang dan masyarakat mayoritas. Bahasa Ainu dianggap sebagai bahasa yang terancam punah dan hanya sedikit orang yang mampu berbicara dalam bahasa ini. Di sisi lain, etnis minoritas lainnya di Jepang kebanyakan berasal dari imigran yang datang ke Jepang dalam beberapa dekade terakhir. Mereka juga memiliki bahasa dan budaya yang berbeda dari masyarakat mayoritas Jepang, tetapi bahasa dan budaya mereka masih dipraktikkan di negara asal mereka.

Namun, seperti Ainu, etnis minoritas lainnya di Jepang juga menghadapi diskriminasi dan kesulitan dalam integrasi ke dalam masyarakat mayoritas. Salah satu contohnya adalah buruh migran dari Asia Tenggara yang bekerja di industri konstruksi dan perawatan, tetapi sering kali diperlakukan sebagai pekerjaan kasar dan diabaikan oleh masyarakat Jepang.

Dalam hal hak-hak, Ainu dan etnis minoritas lainnya di Jepang juga berbeda. Meskipun pemerintah Jepang telah mengakui Ainu sebagai kelompok etnis minoritas yang sah, hak-hak mereka masih terbatas dan banyak yang belum terpenuhi. Di sisi lain, beberapa etnis minoritas lainnya di Jepang memiliki status kewarganegaraan Jepang dan hak-hak yang sama seperti warga Jepang lainnya. Namun, kedua kelompok etnis minoritas ini masih berjuang untuk mendapatkan hak yang sama di Jepang. Mereka harus menghadapi tantangan dan rintangan dalam mencapai pengakuan dan kesetaraan dalam masyarakat Jepang yang mayoritas homogen (Rice, R, 2006).

Secara keseluruhan, perbandingan antara Ainu dan etnis minoritas lainnya di Jepang menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam sejarah, bahasa, dan budaya, mereka semua berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan kesetaraan dalam masyarakat Jepang yang mayoritas homogen. Semua etnis minoritas membutuhkan dukungan dan solidaritas untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Hal ini dapat kita jadikan pelajaran terhadap bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada, terutama pada perbedaan etnis di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Faiz Syadiro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu