x

Sumber ilustrasi: zogri.artstation.com/

Iklan

Malik Ibnu Zaman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Oktober 2022

Sabtu, 8 April 2023 21:00 WIB

Kakek Tua dan Sholawat

Kereta api yang aku tumpangi baru saja berangkat dari Stasiun Prupuk ketika matahari menyingsing dari balik Gunung Slamet. Kereta api tersebut berjalan begitu pelan, mesinnya menderu-deru menahan beban sampai terbatuk-batuk. Maklum kereta api lama, mungkin peninggalan Belanda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kereta api yang aku tumpangi baru saja berangkat dari Stasiun Prupuk ketika matahari menyingsing dari balik Gunung Slamet. Kereta api tersebut berjalan begitu pelan, mesinnya menderu-deru menahan beban sampai terbatuk-batuk. Maklum kereta api lama, mungkin peninggalan Belanda.

Gerbong kereta tersebut penuh dengan sesak, tak sedikit pula yang tidak kebagian tempat duduk. Para kondektur pun tidak begitu teliti, apakah penumpang memiliki tiket atau tidak. Kota Kediri yang hendak aku tuju masih jauh jaraknya, perkiraan baru esok pagi akan sampai.

Setelah hampir 2 bulan lamanya pulang ke rumah menikmati liburan pondok, sungguh berat rasanya bagi aku untuk kembali. Tetapi mau tidak mau aku harus kembali, memang menuntut ilmu itu berat godaannya. Meskipun godaannya berat, pahala yang didapatkan besar. Biasanya aku berangkat bersama dengan kakakku, tetapi kakakku sudah lulus, dan kini mengajar mengaji di rumah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu kereta api berhenti di Stasiun Semarang, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan sebelum kereta api berhenti dengan sempurna, mereka sudah loncat bergelantungan hendak masuk. Gerbong kereta api yang sudah sumpek menjadi semakin sumpek, bagai pasar yang penuh hiruk pikuk.

Para pedagang asongan menawarkan dagangannya dengan suara saling bersahutan. Ada yang menyodorkan dagangannya hingga mendekat ke mata, cenderung memaksa. Mereka akan mendengus kesal, jika tidak ada satupun penumpang yang mau membeli. Beberapa di antara mereka mengutuk dengan mengatakan pelit, tidak punya uang.

Sementara itu beberapa penumpang tidak peduli dengan dengan gerah yang melanda, yang mereka pikirkan adalah barang-barangnya aman. Sebab dalam kondisi seperti ini rawan sekali terjadi pencopetan. Mata mereka penuh waspada, mendekap tas yang dibawa, sambil sesekali menatap kardus yang ditaruh di atas.

Suasana semacam ini sungguh sangat menyiksa, harapan para penumpang cuman satu agar segera mungkin kereta api kembali melanjutkan perjalanan. Aku mencoba bersikap tenang, sebab percuma mengeluh toh tidak ada gunanya. Sudah sangat kenyang aku dengan perjalanan seperti ini.

Bunyi peluit tanda kereta api akan berangkat berbunyi, para pedagang asongan lari berloncatan keluar. Di tengah para pedagang asongan yang berlompatan keluar, seorang kakek tua naik ke dalam kereta api. Ia memakai pakaian serba putih, dari mulai celana, baju, hingga kopiah. Tangannya menggenggam erat rambutan lima buah, sementara mulutnya aku dengar lamat-lamat melantunkan sholawat.

Kakek tua itu tiba-tiba menghilang dalam pandanganku, aku berpikir mungkin ia menuju ke gerbong depan. "Karena terburu-buru sebab kereta hendak melaju, jadi naik dari gerbong belakang," pikirku.

Perhatianku terhadap kakek tua itu terputus tatkala kereta api berjalan meninggalkan Stasiun Semarang. Tak terasa sore berganti malam, bintang-bintang terlukis dengan indah di langit. Bulan bersinar terang, membuat pemandangan di luar kereta sangat indah, pohon-pohon bertasbih kepada penciptanya.

Lamunanku terhenti, manakala kakek tua datang ke gerbong tempat aku berada. Pada kursi pertama, ia menawarkan lima buah rambutannya dengan harga sangat mahal. "15 ribu, mahal sekali. Anda mau menipu saya, dengan 15 ribu bisa beli berkilo-kilo rambutan," ujar pria berbaju batik dengan nada marah. Dimarahi seperti itu, ia hanya tersenyum sambil bibirnya mengucap sholawat.

Aku menduga bahwa dia menawarkan 5 buah rambutan tersebut dari gerbong pertama, dan tidak ada yang mau membelinya. 5 buah rambutan dengan harga 15 ribu tentu sangat mahal, itu sama dengan jatah dari orang tua ku selama 1 bulan di pondok.

Penumpang kursi kedua, seorang pria berambut botak malah pura-pura tertidur ketika kakek tua itu hendak menawarkan 5 buah rambutan. Tidak ada satu pun penumpang yang mau membeli 5 buah rambutan milik kakek tua. Hingga sampailah kakek tua itu di kursi paling belakang, tempat aku duduk.

"Harganya 15.000," ujar kakek tua, setelah itu aku mendengar ia mengucapkan "Shallallaahu 'ala Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam."

Aku dibuat dilema apakah akan membelinya atau tidak. Jika membelinya bagaimana aku makan di pondok selama 1 bulan. Kalau tidak membelinya, sudah pasti aku akan selalu kepikiran. Pernah dulu aku tidak memberikan uang ke pengemis di sebuah terminal, sebab aku tidak punya uang. Tetapi sampai dengan saat ini aku menyesalinya.

Aku mencoba berpikir positif, mungkin saja kakek tua itu sedang sangat membutuhkan, sehingga menjual 5 buah rambutan dengan harga yang fantastis. Tentu ia bukan penipu, pasti kakek tua itu orang tahu agama. Mungkin ia sering datang ke pengajian.

"Tak perlu khawatir dengan uang, tak perlu khawatir mau makan apa. Sebab aku ini adalah hamba dari Tuhan yang Maha Kaya. Aku akan membelinya," putusku dalam hati.

Mungkin juga karena sholawat itu, tanganku merogoh tasku, dan mengeluarkan semua uang yang aku miliki. Menyerahkannya kepada kakek tua itu.

"Matur suwun," ujarnya sambil menyerahkan 5 buah rambutan. Ketika aku berpaling, kakek tua itu sudah tidak ada di sampingku. Mungkin saja ia ke gerbong ke depan, atau ia keluar dengan melompat kereta yang berjalan. Kepala ku menengok ke sekeliling, tetapi tidak menemukan kakek tua itu.

Aku kembali duduk, lalu mengupas buah rambutan. Rambutan pertama kosong, tidak apa-apa, begitu juga ketika aku mengupas rambutan kedua juga kosong. Sementara itu kedua orang yang duduk di sampingku tertawa terbahak-bahak mentertawakan diriku.

"Makanya mas, jangan mudah percaya dengan orang lain. Apalagi sama orang yang tidak dikenal, orang yang sudah lama dikenal saja bisa menipu," ujar salah satu dari mereka.

Aku tak bergeming dengan ucapan mereka. Buah rambutan ketiga aku kupas, ternyata isinya hanya biji. Kedua orang di sampingku semakin kencang tawanya. Salah satu dari mereka berteriak, membuat seisi gerbong memandangku "Orang ini kena tipu."

Aku terus melanjutkan mengupas buah rambutan, tanpa mempedulikan tatapan mereka. Buah rambutan keempat juga sama dengan buah rambutan ketiga berupa biji. Entah kenapa aku tidak sedikitpun pun merasakan penyesalan atas hal ini.

Setelah aku mengupas buah rambutan kelima, isinya membuat aku terkejut. Buah rambutan kelima berisi sebuah cincin batu akik. Hal tersebut membuat semakin aku bingung atas kejadian yang barusan aku alami.

Lamat-lamat aku mendengar suara kakek tua itu semakin menjauh "Shallallaahu 'ala Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam."

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Malik Ibnu Zaman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler