Dinamika Kekuasaan: dari Raja Jawa hingga Jokowi

Rabu, 24 Juli 2024 07:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Jokowi degan Pakaian Adat
Iklan

Jokowi tampaknya memahami betul bagaimana caranya menguatkan legitimasi posisinya. Ia bertujuan untuk tetap memegang kekuasaan dan diterima secara luas oleh masyarakat.

Politik akan selalu hadir selama manusia ada di dunia ini, dan ia akan terus berkembang secara dinamis. Setiap zaman memiliki karakteristik uniknya sendiri, meskipun pola-pola tertentu cenderung berulang. Di Indonesia, misalnya, Peristiwa 1998 memiliki kemiripan dengan Peristiwa 1965. Tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terulang di masa depan, mengingat tanda-tanda seperti pada 1998 semakin jelas terlihat.

Rekam jejak politik Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, bisa dikatakan sangat sukses. Ia selalu memenangkan pertempuran politik yang melibatkan dirinya dan keluarganya. Mulai dari Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo tahun 2005, Pilwalkot Solo tahun 2010, Pemilihan Gubernur (Pilgub) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012, Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014, Pilpres tahun 2019, Pilwalkot Medan tahun 2020, Pilwalkot Solo tahun 2020, hingga persiapan Pilpres tahun 2024.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa Jokowi bisa sesukses itu? Karena popularitasnya yang tinggi dan persepsi bahwa ia benar-benar memahami penderitaan rakyat. Dukungan rakyat terhadapnya muncul bukan karena rasa takut, melainkan karena rasa aman dan kesamaan yang berhasil dibangun oleh Jokowi. Hal ini berbeda dengan Soekarno dan Soeharto yang menerapkan model kekuasaan yang berpusat pada diri mereka sendiri dan menimbulkan rasa takut di kalangan rakyat. Namun, antara ketiganya—Soekarno, Soeharto, dan Jokowi—dapat dikatakan memiliki gaya kepemimpinan seperti Raja Jawa.

Jokowi, Raja Jawa Modern

Sejak dulu hingga sekarang, para pemimpin selalu melakukan upaya menguatkan legitimasi posisinya dengan tujuan agar tetap memegang kekuasaan dan diterima secara luas oleh masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan oleh Raja Jawa untuk menguatkan legitimasi posisinya adalah dengan menarik simpati dari rakyatnya melalui pemberian bantuan. Jokowi juga menerapkan cara ini dengan memberikan Bantuan Sosial (Bansos) seperti Bantuan Pangan Beras, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan Program Indonesia Pintar (PIP).

Cara lain yang dilakukan oleh Raja Jawa untuk menguatkan legitimasi posisinya adalah dengan menggunakan apa yang dimilikinya, yakni birokrasi kerajaan dan kekayaan, untuk mencapai tujuannya. Apakah Jokowi juga melakukan hal yang sama sekarang ini? Jawabannya mungkin bisa kalian renungkan sendiri. Kalau masih bingung, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Cara berikutnya yang dilakukan oleh Raja Jawa untuk menguatkan legitimasi posisinya adalah dengan membagi-bagikan kekuasaan. Pada masa itu, para adipati, menteri, dan tumenggung adalah orang-orang terdekat raja, sehingga bisa dikatakan kekuasaan datang dari atas (raja). Bagaimana situasinya di pemerintahan Jokowi sekarang ini? Kembali, jawablah sendiri.

Pemberontakan Rakyat terhadap Raja Jawa

Di masa ketika Indonesia masih terdiri dari kerajaan-kerajaan, rakyat juga merupakan elemen penting untuk menopang eksistensi kerajaan. Pembayaran upeti dari rakyat digunakan untuk membiayai kerajaan, dan tenaga rakyat digunakan untuk membangun kerajaan. Peran rakyat lainnya adalah melawan kezaliman para raja, salah satunya dengan melakukan pemberontakan. Meskipun kasus yang terjadi di masa-masa itu lebih kepada perebutan kekuasaan dan pengaruh, seperti pemberontakan Adipati Pati Pragola terhadap Sultan Agung dan pemberontakan Trunojoyo terhadap Sunan Amangkurat I.

Rakyat pada masa itu akan melakukan perlawanan manakala raja menjadi sangat kejam dan acuh tak acuh sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah yang melatarbelakangi dilengserkannya Soekarno dan Soeharto dari kursi kepemimpinan Republik Indonesia.

Dalam konteks Indonesia di era modern sekarang ini, negara tidak mungkin hidup tanpa pajak dari rakyat. Pembangunan Ibu Kota Nusantara, misalnya, berasal dari uang rakyat, terlepas apakah hutang dulu atau bagaimana, tetap saja yang membayari hutang itu adalah rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa rakyat memiliki peran yang sangat vital.

Jokowi tampaknya memahami betul bagaimana caranya menguatkan legitimasi posisinya dengan tujuan agar tetap memegang kekuasaan dan diterima secara luas oleh masyarakat. Dengan cara-cara yang mirip dengan pendekatan Raja Jawa, ia berhasil mempertahankan dukungan rakyat dan menjaga stabilitas kekuasaannya. Seperti Raja Jawa, Jokowi tidak hanya memimpin, tetapi juga memastikan bahwa posisinya tetap kuat dan dihormati oleh rakyat.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler