x

cover buku Saputangan Gambar Naga

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 10 April 2023 08:00 WIB

Saputangan Gambar Naga

Kisah detektif tentang putri Fang Fang yang tenggelam di Sungai Brantas saat menemani Mengkii sang ayah yang menjadi duta Tiongkok ke Singasari. Cerita dikemas dalam dua jaman yang paralel yang terpisah 700 tahun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Saputangan Gambar Naga

Penulis: Suparto Brata

Tahun Terbit: 2003

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: PT Grasindo

Tebal: 405

ISBN: 979-732-241-6

 

Perjumpaan Tiongkok dengan Nusantara di masa lalu sangat menarik untuk dijadikan topik dalam fiksi. Sebab perjumpaan Tiongkok dengan Nusantara sangatlah kaya dengan sejarah yang heroik, nilai-nilai dan budaya. Kisah-kisah heroik, perjumpaan nilai dan budaya sangat mudah untuk membangun cerita fiksi yang menghibur sekaligus mengangkat isu masa lalu dan masa kini melalui karya fiksi tersebut. Persoalan-persoalan kekinian bisa dimasukkan dalam karya fiksi supaya kembali direnungkan oleh para pembacanya.

Saputangan Gambar Naga karya Suparto Brata adalah salah satu contoh karya fiksi yang menggunakan kisah perjumpaan Tiongkok – Nusantara. Suparto Brata mengambil kisah kunjungan duta Kubilaikhan ke Singasari sampai dengan serangan tentara Tartar ke Kediri membantu Raden Wijaya menggempur Jayakatwang. Dalam novel ini Suparto Brata menyampaikan bahwa ada cerita di desa asal Mengki’i, Si Duta yang diparang telinganya oleh Raja Singasari bahwa anaknya yang bernama Fang Fang tenggelam di Sungai Brantas. Melalui cerita inilah Suparto Brata mengembangkan kisah fiksinya.

Menariknya Suparto Brata memilih untuk mengemas kisahnya sebagai cerita detektif dengan dibungkus teori waktu yang paralel. Para pelakonnya bisa menjalani kehidupan yang terjadi 700 tahun lalu - di jaman Singasari, sekaligus hidup di jaman sekarang. Fang Fang si gadis asal Tuban yang dianggap mengalami gangguan jiwa sekaligus adalah Fang Fang yang membela ayahnya saat disiksa oleh tentara Singasari. Fu Sen dan Yong Pin yang sekarang ini mengawal Fanf Fang untuk berobat ke Psikolog adalah Fusen dan Yong Pin yang dulu tentara Tartar pengawal Fang Fang. Dokter Mengki sang psikolog adalah orang yang sama dengan Mengki’i bangsawan Fukien sang utusan Kubilai Khan. Aisun sang Arkeolog adalah si Aisun istri Mengki’i. Pamoraga sang AKABRI adalah Pamoraga Sang Kepala Pasukan Singasari dan Swandana sang mahasiswa arkeologi adalah Swandanu sang tukang perahu. Dan Wariwari tunangan Swandanu adalah Wariwari istri Swandanu di masa Singasari. Sungguh sangat menarik.

Kisah kehidupan yang paralel ini diikat dengan kisah Saputangan Gambar Naga. Kisahnya bermula dari seorang pemain basket bernama Fusen yang memberikan saputangan bergambar naga kepada seorang gadis kecil bernama Fang Fang. Sejak menerima saputangan tersebut, Fang Fang seperti orang kesurupan dan seakan hidup di jaman Singasari. Fang Fang merasa bahwa dia kehilangan saputangan bergambar naga yang adalah pusaka keluarganya.

Fang Fang dibawa oleh Fusen untuk berobat kepada Dokter Mengki, Sang Psikolog. Dalam rangka mencari kesembuhan Fang Fang, Dokter Mengki mengajak Fang Fang menelusuri tempat-tempat yang menurutnya pernah disinggahi 700 tahun yang lalu. Dalam perjalan tersebut para pelakon menghadapi situasi dimana mereka hidup dalam waktu paralel. Mereka merasakan hidup di jaman Singasari dimana terjadi pertempuran antara tentara Singasari, pendukung Raden Wijaya, orang-orang Kediri dan tentara Tartar. Di saat yang sama, dalam perjalanan tersebut mereka juga mengalami hidup di jaman sekarang. Mereka secara bersama-sama mencari dimana Saputangan Gambar Naga berada. Sebab kehidupan Fang Fang tidak akan bahagia jika terpisah dari saputangan tersebut.  

Suparto Brata membumbui kisahnya dengan pembunuhan-pembunuhan dan kematian-kematian misterius di jaman Singasari dan tersefleksikan pada jaman sekarang. Sebuah jaman yang paralel!

Suparto Brata adalah seorang pencerita yang produktif. Ia banyak menulis cerita fiksi, utamanya dalam Bahasa Jawa. Selain menulis cerita dalam Bahasa Jawa, sang penggemar Agatha Christi ini adalah juga seorang penulis cerita detektif. “Detektif Handoko” adalah serial detektif karya Suparto Brata yang mengambil format seperti kisah-kisah karangan Agatha Christi.

Seperti halnya cerita dalam buku-buku karangan Agatha Christi dan Detektif Handoko, kisah Saputangan Gambar Naga ini juga menyajikan analisis yang membuat semua tokoh bisa dicurigai sebagai sang pembunuh. Bahkan tokoh yang terbunuh pun bisa dicurigai sebagai sang pelaku. Contohnya saat Yong Pin terbunuh dengan Kepala terbelah. Fusen adalah pihak yang paling mungkin dicurigai karena sosok yang bertopeng yang mendatangai Yong Pin di kemahnya memang bentuk badannya sangat menyerupai Fusen. Namun Fusen tidak bisa berenang. Tokoh yang paling ahli di sungai adalah Swandanu si tukang perahu. Tetapi Pamoraga dan bahkan Fang Fang juga berpotensi menjadi sang pelaku pembunuhan. Namun saat terjadi pembunuhan kepada Pamoraga, Yong Pin digambarkan masih hidup dan dialah sang pembunuh.

Novel ini sangat menarik sebagai sebuah kisah detektif. Kisahnya sangat menghibur karena kita harus menerka-terka siapa pelaku pembunuhan yang mengikuti kisah Saputangan Gambar Naga. Namun sayang Suparto Brata tidak mengajak kita untuk membahas topik atau isu yang berhubungan dengan pergumulan hubungan Tionghoa di Indonesia. Novel Saputangan Gambar Naga ini sangat berbeda dengan “Putri Cina” karya Sindhunata yang sarat dengan gugatan terhadap perlakuan kepada orang Tionghoa oleh rezim Orde Baru.

Bukankah kita kadang memang hanya butuh bacaan yang menghibur tanpa harus mengerut dahi untuk berpikir saat membaca suatu karya fiksi? 743

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu