Kemarin saya merenung, "Mengapa saya hampir tidak pernah curhat kepada orang lain ketika orang-orang justru curhat pada saya?"
Jika dipikir alasannya adalah karena saya ingin menghindari kekecewaan yang muncul ketika diberi tanggapan seperti ini: Kurang ibadah, itu gila, atau kamu cuma overthinking.
Teruntuk tanggapan yang ketiga, terima kasih sudah mengingatkan supaya saya terus mencurahkan isi hati kepada selembar kertas. Karena, di sini saya berdialog dengan karakter-karakter yang tidak underthinking.
Namun, alih-alih berdialog puisi inilah yang muncul, mungkin karena sebelum renungan insomnia ini saya sempat membaca beberapa puisi dari Robert Francis dan sempat mengamati teknik dan gaya penulisan yang bisa saya tiru (meskipun tentunya, saya yakin belum muncul dalam puisi ini).
Terlepas dari unek-unek pengantar tadi, semoga puisi ini mewakili pembaca yang punya pengalaman serupa.
"Dengar, dengar..."
pinta hatiku
yang terkubur hingar-bingar
notification, megaphone, klakson
dunia tanpa nada
ada kalanya kuterbangun
pukul tiga pagi
segala yang tak terucap
meninggalkan embun
di wajah patung
malaikat
memang hanya sunyi
yang disembunyikan hutan
sebaik-baiknya pendengar
kepadanya seluruh jeritan
bersemayam dalam
kebisuan semesta
hati-hati kepada bunga dandelion
O, engkau yang membisikkan rahasianya
telinga petaka bagi angin pesanmu
setiap cerita disebarnya jauh
dengan cuma-cuma
agar dirinya tetap
didengar
pergilah ke taman
di mana bunga mengundang
kupu-kupu dan lebah yang
menulis curahan hatimu
dengan tinta madu
: berbuah nurani
di kebun hati
Bandung, 2023
Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.