x

Foto Tempo

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Minggu, 14 Mei 2023 13:04 WIB

Mati Sunyi (10)

Cerpen Mati Sunyi (10) Episode: Mimpi Imaji. Pertanyaan atau jawaban tentang mati, kadang ada, kadang tidak. Pertanyaan mungkin saja sekaligus jawaban. Mati sekarang atau nanti, sama saja. Materi tidak dibawa mati. Jadi? Jangan korupsi. Salam baik saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mati Sunyi (10) Episode: Mimpi Imaji.

Cinta menggantung di angkasa hati. Bergelayutan, bergoyangan kian kemari. Menggigit telingamu seperti kerupuk. Mengikat rambutmu seperti tambang kapal, kuncir sana-sini, tak beraturan. 

"Kau suka?"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Tidak." 

"Aku mau rambutku meninggi seperti gunung, lalu mendatar seperti kurva horizon di matamu. Lantas melebar sepeti tawamu, berbabaris seperti biji buah jagung."

"Oke."

Rambut, mahkota di kepala. Bisa jadi keindahan, bisa pula norak, nyebelin atau membuat ayu, cantik, serupa serigala atau singa atau pula marmut. Bergantung dimana musim kehidupan makhluk itu berada. 

Kalau di kutub bisa saja rambut, mengeras seperti es batu atau salju. Kalau tinggal dipohon atau di rawa-rawa bisa lain lagi. Nah, inspirasi model rambut bisa menjadi apapun tergantung kreatornya. Mau di buat model seperti apa. 

"Kalau aku mau rambutku seperti jambul burung kakak tua. Bisakah?"

"Bisa. Seperti jambul burung kenari juga bisa. Dicepol bulat, ditarik ke atas, dikasih bunga-bunga plastik warna-warni. Seru deh."

"Kalau seperti buntut ikan maskoki bisa enggak?"

"Bisa. Memakai karet gelang di untel-untel, di balut plastik daur ulang warna-warni, ditarik sana-sini. Makin seru. Penyelamat limbah plastik. Oke kah?"

"Oke. Banget."

"Ini jam berapa?"

"Tepat jam dua belas siang."

"Harusnya kita sudah di terminal bus loh."

"Oh iyaaa. Kok bisa lupa ya.", 

"Karena ngobrol menyoal rambut wee ..."

"Iya. Lupa ingatan hihihi."

Bergegas ke terminal. Tas punggung hitam lengkap, terlihat padat berisi, keperluan perjalanan, kemungkinan juga menginap di jalan.

Perjalanan, bisa mengasyikkan mungkin pula menjengkelkan, aral melintang bisa datang pergi sesuka hati, dadakan atau rencana misteri waktu. Lantas tersangka takdir atau nasib buruk jadi kambing hitam, wee ... hehehe. 

Bisa juga pasrah atau sebodok amat. Bergantung waktu dari logika peranan. Bergantung pula pada situasi, kondisi setempat, lingkungan all in one, entah sesuka siapa. Mungkin sang imaji.

Mungkin saja, dadakan ketemu kingkong ganas pemangsa makhluk hidup, atau si baik keong siput, belut sawah, atau mungkin saja ketemu mamut si gajah purba, buaya sungai, kucing hutan, jerapah bertaring, nah. 

Bakal bingung, agak panik mungkin saja. Serba kebetulan, ketika melihat kegaiban fenomena alam, terjaring mistik di kepala, sugesti kembali menyesatkan logika. Salah-salahan, akibat salah asuh pikiran.

"Salah naik bus enggak kita."

"Enggak, benar ini kok."

"Penumpangnya cuma sedikit, hanya kita, tiga orang itu, kenek, supir."

"Santai. Ini enggak lagi musim lebaran, sayang."

"Ohhh, gitu."

"Jangan panjang-panjang oh-nya, pamali."

"Maksudmu? Kepo neh."

"Masuk angin."

"Kalau belum makan?"

"Ngantuk." Menguap.

"Sini. Peluk."

Bus nyelonong kejurang, dengan santai naik turun dari jurang ke jurang. Lantas berhenti. Cuaca cerah. Mata hari sore menuju tunggang gunung. 

Puisi, alam menulis tentang kisah-kisah. Bunga-bunga bermekaran, sungai-sungai bersilangan, rembulan kembar menampakan raut bentuknya, temaram kesyahduan. Cericit burung-burung pulang ke sarangnya. Pohon-pohon besar gemerlap indah menuju petang.

Citra gemintang berkerlap-kerlip, simfoni suara malam membuai peraduan. Multi cahaya simultan menyorot kian kemari. Tenda terpasang, pijar lampu gunung, apinya menyala redup terang. Bau domba panggang tebar selera.

"Bangun sayang."

"Dimana?"

"Di sini. Tujuan kita."

"Laper."

"Aku, memanah domba, mati. Lantas memanggangnya."

"Keren. Mau." 

"Nih, irisan daging domba. Legit. Nikmat."

"Enak. Tiga iris lagi sayang."

"Oke," asyik, menikmati daging domba hasil buruan. Lolong suara aneh di kejauhan.

"Suara apa itu?"

"Binatang malam."

"Oh, tapi seperti ... Suaranya belum pernah aku dengar sebelumnya."

"Suara malam seperti itu, biasa aja kale," keduanya memandang langit malam, gemintang berlompatan kian kemari, kerlap-kerlip.

"Kau tak melihat ada keanehan."

"Enggak."

"Lihat lagi dong ... Lebih teliti ... Gemintang itu."

Memperhatikan sejenak. "Bintang sedang menari."

"Kok bisa?"

"Bisalah."

"Enggak mungkin. Bintang bisa menari, cuma khayalan dari syair-syair ..."

"Imajinasi, mampu membolak balik inteligensi. Tergantung kecerdasan pemiliknya."

"Berlaku untuk siapa?"

"Makhluk sempurna."

"Siapa?"

"Manusia."

"Nah, itu dia."

"Ajaib."

"Biasa aja kale."

"Ikh ..." Merebahkan kepalanya di pangkuan kekasih. "Cantik ya alam malam begini." Auman dahsyat terdengar di kejauhan, kali ini agak nyaring.

"Suara itu seperti makin mendekat. Suara malam seperti kau bilang."

"Aku tak mendengar apapun."

"Beneran?" Mencubit pipi kekasih. "Simak ya kalau suaranya nongol lagi."

"Oke."

Lama kelamaan. Waktu tak berjalan sebagaimana mestinya. Fajar tak pernah tampil sempurna, demikian pula dengan siang, sore ataupun malam. 

Matahari setengah hati, kadang-kadang berbarengan dengan kemunculan bulan kembar di langit, cuaca terang temaram. Suara-suara aneh datang pergi semaunya, tak beraturan, lompatan waktu terjadi begitu saja tanpa terasa. 

Setelah hidup lantas mati, lalu lahir atau sebaliknya, di balik sebaliknya. Planet-planet seringan kapas beterbangan kian kemari. 

***

Jakarta Indonesiana, Mei 14, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler