x

Nikel. Sumber foto: Kompasiana.com

Iklan

belseran christ

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:33 WIB

Derita Warga Lelilef Sawai di Pusaran Tambang Nikel, Saat Dilanda Krisis Air dan Pangan

Bagian cerita ini sangat berkaitan langsung dengan dampak dari Industri Ekstraktif, bagaimana berhubungan langsung dengan ruang hidup masyarakat yang tinggal di sekitar daerah lingkar tambang terutama berkaitan dengan Air dan Pangan Kehidupan melawan Industri Ekstraktif, seperti yang terjadi di beberapa Desa seperti Desa Lelilef Sawai, Lelilef Waibulen, dan Desa Gemaf. Selain air sebagai sumber kehidupan yang ikut rusak dan tercemar, namun tanaman pangan yang biasanya dikomsumsi warga juga ikut rusak karena aktifitas ekstraktif tambang nikel. Kondisi membuat masyarakat setempat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

MASRI SANTULI, Aktivis Lingkungan di Maluku Utara, terlihat sibuk untuk mengambil air di sungai Ake Doma, Desa Lelilef Sawai. Dia mengambil beberapa botol minuman mineral untuk nantinya diisi. Air ini akan dijadikan Masri sampel untuk dibawa ke laboratorium. Warna airnya begitu keruh. Coklat kehitaman.

Menurut Masri, saat ini air tak mungkin digunakan oleh warga lagi, lantaran telah tercemar. Selain itu, material tanah dari pembongkaran lahan membuat, sungai terendam lumpur. Padahal kata warga, dulunya sungai Ake Doma digunakan warga lokal untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Namun saat ini air tersebut tidak dapat dikomsumsi lagi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain tanah, kata Masri, sungai ini sudah tentunya tak bisa komsumsi akibat sampah yang dibuang sembarangan di sekitar sungai. 

Masri bilang, sejak PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) beroperasi sebagai pusat industri nikel di Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, warga mulai kesulitan air bersih. Air yang dulunya berlimpah untuk kebutuhan warga, kini perlahan mulai sulit.

Sejak beroperasi 2019 hingga saat ini, warga tak lagi mengkomsumsi beberapa sungai. Padahal dulunya beberapa sungai di sekitar perusahaan tambang ini berlimpah dan dikomsumsi gratis untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Dua sungai yang saat ini tidak lagi dikomsumsi warga adalah Kali Ake Doma yang berada di Lelilef Sawai dan Kali Kobe yang terletak di Dusun Lukulamo, Desa Lelilef Waibulen.

Warna dari dua air sungai tampak keruh, hitam kecoklatan. Kondisi ini terjadi diduga akibat sendimen lumpur yang ikut mengalir saat banjir.

Kedua kondisi air menurut warga desa Lelilef Sawai, sejak perusahan beroperasi, mereka tidak bisa lagi mengkomsumsi air tersebut karena telah tercemar oleh lumpur maupun limbah rumah tangga.

Sementara sungai Wosea yang dulunya dipakai warga untuk berbagai aktivitas warga, saat ini telah ditutup. Sungai ini saat ini dialihkan menjadi lokasi pembuagan limbah dari pabrik smelter. Sungai Wosea merupakan sungai dengan dasar berbatu dan berpasir. Sungai ini banyak dimanfaatkan sebagai sumber quarry untuk masyarakat lokal terutama sebagai bahan bangunan rumah dan jalan.

Beberapa masalah yang dialami masyarakat setempat soal air, seperti debit dan kualitas air telah tercemar dan menurun maka tentu akan berdampak terhadap warga sekitar.

Selain air sungai yang tercemar, air tanah yang dipakai warga dari sumur bor sejak setahun terakhir (2022-2023) mulai terasa asin. Padahal air tanah sejak air sungai tercemar ini menjadi satu-satunya harapan masyarakat untuk menkomsumsi air tawar yang berasal dari air tanah untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Meski demikian masyarakat terpaksa mengkomsumsi air tersebut. Sebagian masyarakat barangkali tidak mengetahui ini merupakan bahaya dari instrusi air laut. Padahal kejadian yang menimpa masyarakat di pesisir pantai ini tidak pernah terjadi sebelum masuknya perusahaan pertambangan nikel.

Hernemus Takuling bilang saat ini, mereka kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Dulu, kata Hernemus mereka bisa menggunakan air dari sumur untuk kebutuhan mereka, namun saat ini tidak bisa dipakai lagi karena sudah terasa asin.

“Air asin semua. Kitong barang di sini semua sudah bakarat. Keran air juga rusak. Jadi kitong sudah tidak bisa pakai air itu lagi,” tutur Nemu.

Pria berusia 57 tahun ini bilang, kejadian itu, Dia terpaksa menggali sumur lainnya agar airnya tidak berasa asin.

“Saat ini saya sementara bor sumur baru, siapa tahu airnya masih tawar dan tidak bercampur air laut,” katanya.

Saat ini, Nemu dan keluarganya hanya bisa pasrah dengan kondisi yang terjadi. Untuk mendapatkan air untuk kebutuhan minum

Aktivitas perusahaan tersebut, kata Masri telah mencemari air sungai Saloi dengan limbahnya padahal sungai tersebut digunakan oleh warga di Lukulamo dan Woejerana untuk kebutuhan air bersih dan tanaman. Masyarakat pun kehilangan air bersih.

“Alternatif [mereka kini] menunggu bantuan air bersih dari perusahaan, membeli air gelon atau menunggu air hujan,” Kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhamadyah Ternate ini.

Bantuan air dari perusahaan, kata dosen Fakultas Hukum UMU Ternate ini pun sudah dieksploitasi oleh PT TAKA sub kontraktor Weda Bay Nikel (WBN).

Dalam keadaan terpaksa ketika ketersediaan air berkurang masyarakat harus mengkomsumsi air sungai yang diduga sudah tercemar. Dari data yang Ia himpun di lapangan, kata Masri sebanyak 90 orang yang ada di dua desa menderita gatal-gatal.

Selain itu, Masri mengatakan, limbah perusahaan juga mengalir ke sawah, perkebunan kelapa, dan tambak-tambak ikan.

“Produktifitas menurun, jika tahun sebelumnya masuknya Tekindo mereka bisa memproduksi kelapa sampai satu ton. Sekarang paling banyak 500 kg. padi dan ribuan ikan mati karena limbah perusahaan tersebut mengalir bersamaan banjir dan masuk ke kebun dan tambak-tambak milik warga,” tandasnya.

Aktivitas pertambangan nikel di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah yang menggunakan pertambangan terbuka (open pit maining) yang hasilnya dikelola di kawasan tersebut mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan sehingga terjadinya deforestasi di Halmahera Tengah.

Parahnya lagi, vegetasi di sekitar DAS tidak ditumbuhi lagi oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya mengakibatkan terjadinya bencana banjir di Desa-desa ini.

Citra satelit, dari Pusat Pelayan Data dan Informasi Auriga Nusantara menangkap dengan jelas terjadinya deforestasi di Kabupaten Halmahera Tengah. Dalam peta sebaran deforestasi antara tahun 2001-2020 di Halmahera Tengah terlihat terjadinya deforestasi di kawasan hutan Halmahera Tengah.

Bahkan, citra satelit merekam terjadinya deforestasi hingga merembes ke kawasan hutan lindung dan juga nyaris masuk ke kawasan hutan konservasi.

Total Deforestasi Hutan di Halmahera Tengah dari tahun 2001 hingga 2020 menurut dari Pusat Pelayan Data dan Informasi Auriga Nusantara adalah 14.876,43 Hektar (Ha).

Tak hanya mengganggu ruang hidup, Hutan digarap, petak kehidupan sosial mulai berdatangan. Kerusakan hutan, membuat, terjadinya longsor dan juga banjir. Bencana alam ini berimbas pada tanaman umur panjang maupun lahan perkebunan warga setempat. Akibatnya, beberapa tanaman rusak karena gagal panen.

Bencana banjir yang tidak diharapkan akhirnya terjadi di Desa Lukolamo Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah Maluku Utara, 9 september 2021 lalu. Dampak tersebut membuat ratusan rumah dan juga fasilitas umum terendam banjir.  Kerugian akibat banjir ini tak dapat ditaksir.

Selain merendam pemukiman, luapan sungai juga menyerobot dan merusak tanaman warga. Banjir kiriman ini berasal dari sungai dua sungai besar yang berada di dekat perusahan yang meluap. Lokasi ini berada di dekat Kawasan industri nasional PT. IWIP.

Sungai-sungai utama di daerah proyek PT. IWIP adalah dua sungai besar yang melewati areal proyek yaitu sungai Ake Kobe di sebelah Barat, dan sungai Ake Sagea di sebelah Timur. Sungai Sangaji di sebelah Utara memiliki batas-batas daerah aliran sungai yang umumnya berada di luar batas proyek. Walaupun demikian Sebagian besar dari areal proyek merupakan daerah tangkapan air sungai-sungai tersebut. Bagian hulu dari daerah tangkapan air tersebut adalah daerah pegunungan yang berada di daerah utara dan mengalir ke arah Selatan, Barat Daya, dan Tenggara.

Model kegiatan tambang yang menggunakan sistem tambang terbuka (Open Pit) akan menciptakan masalah lingkungan dikemudian hari.

Perusahaan ini akan membutuhkan air dalam jumlah yang besar untuk kepentingan pengelolahan biji nikel. Sungai Kobe menjadi titik pengambilan air tersebut. Tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Lukulamo dan Kobe yang terikat erat dengan sungai tersebut. Ekosistem di sungai juga ikut terganggu.

Kerusakan tak hanya terjadi di darat, namun ancaman kerusakan lingkungan juga terjadi di laut. Sebagai contohnya, laut yang tempat mencari ikan para nelayan saat ini mulai kesulitan. Para nelayan mengeluh karena mereka harus melaut hingga puluhan mil dari perairan Lelilef. Ini tentunya berbeda sebelum perusahaan masuk.

Dengan lokasi tangkap yang lebih jauh, biaya operasional lebih besar. Dia kadang kesulitan bila harus melaut hingga puluhan mil itu.

Bagaimana tidak, tempat pencarian ikan di perairan Desa Kobe banyak yang tertutup lumpur. Dia tak banyak melaut, karena jaring rusak terkena material sampah dan lumpur.

Selain itu limbah yang berasal dari perusahan, sampah plastik juga banyak ditemukan di sekitar lokasi memancing. Hal ini tentunya akan mengancam ekosistem laut menjadi rusak dan tercemari.

Berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Maluku Utara yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2018 tentang pada paragraf 2 Zona Perikanan Tangkap pasal 15 menyebutkan perairan Weda sebagai bagian dari Zona Perikanan Tangkap pelagis dan demersal serta zona potensial wisata dibawah laut.

Sebagai kawasan yang termasuk coral triangle, terumbu karang, mangrove, dan lamun hidup di Teluk Weda. Ada 1.733,6 ha mangrove hidup di Kecamatan Weda, Weda Tengah, Weda Utara, dan sebagian Weda Selatan.

Jenis mangrove yang ditemukan di perairan pantai Teluk Weda sebanyak 13 spesies dengan 7 spesies mendominasi, yaitu Bruguiera gymnorizha, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa. Xylocarpus granatum, dan Ceriops decandra.  Mangrove merupakan salah satu jenis hutan dengan kapasitas penyimpanan karbon tertiggi di kawasan tropis, sebesar 1.023ton C per hektar. Dengan fungsi ini, mangrove punya peran penting terhadap upaya mengatasi krisis iklim yang diakibatkan emisi karbon berlebih ke atmosfer.

Dari hasil riset Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Desember 2020 berjudul Rangkaian Pasok Nikel Baterei menyebut keterancaman ekosistem lamun yang sudah makin berkurang karena diketahui ekosistem lamun berada di Teluk Weda bagian selatan memiliki fungsi penyerapan karbon sebesar 6,59ton C/ha/tahun atau sama dengan 24,13ton CO2/ha/tahun.

Informasi warga menyebut lokasi pesisir Tanjung Uli, dulunya banyak ditumbuhi pohon mangrove, namun kini telah punah setelah PT IWIP masuk. Mereka mengatakan perusahan kerap membuang limbah ke laut mengakibatkan terjadinya pencemaran laut.

Dengan kondisi ini jika terjadi cuaca ekstrim, maka dampak iklim, mulai dari topan hingga kenaikan permukaan air laut, merupakan ancaman yang nyata. Rumah-rumah warga Desa Lelilef Sawai dan Desa Lelilef Woibulen menjadi sasaran banjir rob. Talud pembatas yang berada di pantai telah rusak karena dihantam gelombang pasang.

 

Alih Fungsi Lahan

Tak hanya air yang menjadi sasaran atas kegiatan Ektraktif Industri Nikel ini, namun tanaman pangan milik warga juga ikut rusak. Sebagian besar tanaman umur pendek dan tanaman umurm Panjang rusak akibat alih fungsi lahan ini.

Kondisi ini membuat, para petani saat ini kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. bahan pangan yang biasanya di ambil di kebun, saat ini harus dibeli di pasar, sementara harga dari pangan kian melonjak, akibat dibukanya sector ekonomi baru di sana.

Afrida Burnama, perempuan asal Desa Lelilef salah satunya. Dia merupakan salah satu perempuan di Desa Lelilef yang menjadi korban atas proyek Ektraktif ini. Kebunnya di gusur tanpa sepengetahuan dirinnya. Meski telah melaporkan kasusnya namun diabaikan polisi. Dampak ini membuat Afrida hanya bisa pasrah dengan kondisi yang menimpa keluarganya.

“Sekarang mau makan pisang dan kasbi (Ubi kayu) saja harus beli di pasar, dan harganya mahal. Air beli juga di gallon. Padahal semua itu dulu di sini semua gratis, ditambah lagi kebun saya yang digusur tidak dibayar,” kesal perempuan adat Desa Lelilef ini.

Tanaman pangan yang menjadi kebutuhan keluarganya, juga hancur karena digusur oleh alat berat perusahaan. Belum lagi air mineral yang setiap harinya harus dibeli oleh Afrida, membuat Dia sangat kesulitan. Tentunya semuanya ini akibat dari alih fungsi lahan.

Berdasarkan Penentuan Delianiasi Kawasan Industri Nikel Teluk Weda Usulan Daerah usulan Daerah dengan usulan luasan sebesar 15.205 Ha berada pada kelas kemampuan lahan tinggi, sedang, dan rendah.

Sementara itu usulan Kawasan industri di atas lahan fungsi hutan produksi lebih kurang 11,598 hektar. Tentu saja usulan Delianiasi yang dipetakan langsung bersinggungan dengan kawasan Konservasi nasional (Taman Nasional) dan kawasan perlindungan bawahan (Hutan lindung) yang tentunya akan memberikan dampak lingkungan maupun ekosistem.

PT IWIP merupakan salah satu kawasan industri yang berlokasi di Weda, Halmahera Tengah. Perusahaan ini merupakan patungan dari tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham PT IWIP dimiliki oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaannya, Perlux Technology Co.Ltd. Sementara Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.5.

Data Geoportal Kementerian ESDM di wilayah Halmahera Maluku Utara menunjukan belasan perusahaan melakukan operasi produksi nikel. Mereka adalah PT Weda Bay Nikel (WBN) yang kini berganti nama menjadi PT IWIP, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT First Pacific Mining, PT Dharma Rosadi Internasional, PT Harum Sukses Mining, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, PT Position, PT Mega Haltim Mineral, PT Wana Halmahera Barat Permai, PT Forward Matriks Indonesia, PT Aneka Tambang, PT Makmur Jaya Lestari, PT Priven Lestari, PT Wana Kencana Mineral, PT Elsaday Mulia, PT Jaya Abadi Semesta, PT Fajar Bakti Lintas Nusantara, PT Arumba Jaya Perkasa, PT Mineral Trobos, PT Gebe Sentral Nickel, PT Anugrah Sukses Mining, dan PT Indo Bumi Nickel.

Data Geoportal Kementerian ESDM mencatat PT WBN memiliki izin konsesi pertambangan mencapai 45.065 hektare yang mencakup Kabupaten Halmahera timur dan Kabupaten Halmahera tengah. PT Tekindo Energi memiliki izin usaha pertambangan mencapai 1.000 ha di Halmahera Tengah. Sedangkan PT Position mengantongi IUP untuk untuk wilayah operasi 4.017 ha di Halmahera Timur.

Berdasarkan data yang diterima dari Direktorat Informasi dan Data Auriga Nusantara, deforestasi dari 2001 sampai 2020 terus meningkat. Pada 2001, luas hutan yang hilang akibat aktivitas hak pengusahaan hutan (HPH) dan pertambangan mencapai 2.265,48 hektare (ha). Pada 2002, luas hutan menyusut 724,05 ha menjadi 2.989,45 ha. Lalu berturut-turut pada 2003 menyusut 820,75 ha menjadi 3.810,20 ha; pada 2004 menyusut 1.643,53 ha menjadi 5.453,73 ha; hingga pada 2020 total luas hutan yang hilang mencapai 14.876,43 ha. Luas total hutan yang hilang di Halmahera Tengah itu setara 27.800 lapangan sepak bola.

 

Ikuti tulisan menarik belseran christ lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu