x

Ilustrasi kawan industri. Sumber foto: jiipe.com

Iklan

Sulkhanudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 10:32 WIB

Industri Ekstraktif yang Ugal-ugalan Sebabkan Krisis Sumber-sumber Kehidupan

Tulisan ini berisi opini yang ditulis berdasarkan keresahan penulis atas realita yang terjadi pada hutan-hutan Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dewasa ini publik banyak ditampakkan oleh keserampangan korporasi dan para pelaku industri ekstraktif dalam mengeksploitasi hutan-hutan Indonesia. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dihabiskan sampai Papua pun tak luput dari keserakahan manusia semacam ini. Dalih ekonomi dan pembangunan adalah alasan yang mereka gunakan untuk mengelabui masyarakat. Hal yang membuat kecewa adalah keberpihakan pemerintah yang cenderung mendukung upaya eksploitasi ugal-ugalan ini. Meskipun juga alasan pemerintah adalah kepentingan negara yang tak lain adalah persoalan ekonomi.

Mereka ini tidak pernah mau belajar dari akibat yang sudah terjadi karena keserampangan para korporat terdahulu. Padahal ada begitu banyak kerugian akibat industri ekstraktif yang tidak sehat. Mulai dari banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, konflik dengan masyarakat, konflik dengan hewan, dan lain sebagainya. Bahkan salah satu bencana akibat industri ekstraktif yang barangkali sebelumnya tak terpikirkan banyak orang, yaitu Kalimantan banjir sekalipun hal tersebut ternyata tidak cukup untuk menyadarkan mereka. Lantas bagaimana kita perlu menyikapi persoalan industri ekstraktif yang kian hari makin kompleks ini?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sudut Pandang Netral dalam Memahami Industri Ekstraktif

Industri ekstraktif merupakan kegiatan perindustrian dengan memanfaatkan bahan baku industri yang diambil dari alam secara langsung. Kegiatan industri ekstraktif ini kelak yang menjadi suplaiyer dalam kegiatan industri nonekstraktif dan industri turunan lainnya. Jika dipahami sekilas akan diperoleh pemahaman bahwa industri ekstraktif adalah kegiatan yang sangat penting, karena menjadi tokoh utama yang menurunkan beragam kegiatan industri lain yang berguna bagi kehidupan manusia. 

Padahal pada kenyataannya tidaklah demikian, industri ekstraktif juga memiliki dampak negatif disamping kebermanfaatan yang dihasilkannya. Bahkan jika kita mau menerima kenyataan dan menolak munafik, industri ekstraktif telah menciptakan banyak hal yang merugikan manusia. Untuk itu mari kita ulas industri ekstraktif dari sudut pandang yang netral. 

Bentuk-bentuk industri ekstraktif sangat beragam mulai dari perkebunan dan pertanian, perikanan, perhutanan, hingga pertambangan. Jelas sekali bahwa kegiatan tersebut adalah usaha yang menopang hampir semua upaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Misalnya kalau dikelompokkan, ada pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam hal pangan. Kemudian perhutanan, dan pertambangan yang menopang pemenuhan kebutuhan manusia dari yang primer sampai tersier sekalipun. Hal tersebut membuktikan betapa sangat bermanfaatnya kegiatan industri ekstraktif ini. 

Tetapi paradigma yang berkembang era ini cenderung memfokuskan industri ekstraktif pada suatu kegiatan yang dalam kadar tertentu dipandang banyak menimbulkan efek negatif, dalam hal ini terutama adalah kegiatan pertambangan. Maka dalam tulisan ini maksud Industri ekstraktif terkhusus adalah pertambangan, dan alih fungsi hutan. Industri pertambangan tidak bisa dipungkiri memang menjadi penopang banyak sekali aktivitas dalam keseharian manusia. Misalnya saja manusia modern era ini yang tidak bisa lepas akan kebutuhan listrik, yang sejauh ini pemenuhan listrik terkhusus Indonesia masih bertumpu pada batu bara. Lainnya adalah kebutuhan akan BBM untuk mobilitas manusia, dan kebutuhan akan logam untuk industri peralatan dan manufaktur yang semuanya diperoleh melalui mekanisme pertambangan. Dari pandangan positif seperti diutarakan diatas, lagi-lagi barangkali sudah cukup menjelaskan betapa bermanfaatnya industri ekstraktif. 

Beralih pada sudut pandang yang memandang buruk industri ekstraktif, kegiatan ekstraktif telah menciptakan kerusakan alam dan menghasilkan keuntungan yang diperoleh sebagian besar hanya dinikmati segelintir orang saja. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sudah banyak bukti yang telah cukup kuat mendukung pernyataan itu. Bicara dalam lingkup Indonesia, mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan berbagai daerah lain, akan banyak ditemui kawasan industri ekstraktif yang tidak bisa lepas dari konflik dengan masyarakat setempat. Konflik tersebut tak lain tercipta karena keengganan masyarakat setempat melihat lingkungan alam wilayahnya kelak akan mengalami kerusakan karena aktivitas tambang. Siapa yang rela lingkungan alam tempat hidup mencari makan, pemenuh kebutuhan, serta sebagai sumber kehidupannya dirusak oleh tangan-tangan yang hanya memandang praktis hutan alam demi kepentingan golongannya saja. Dalam hal ini industri ekstraktif menciptakan konflik sosial dengan masyarakat. 

Di Indonesia konflik tambang dengan masyarakat menyebar luas dibanyak wilayah. Misalnya saja di Jawa ada konflik Wadas, konflik Kendeng, konflik Dieng, dan konflik Pakel. Konflik tambang mas Sangihe di Sulawesi Utara. Konflik tambang dengan masyarakat adat juga tak luput, yang menyebar luas di Pulau Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Banyak yang belum disebutkan, karena memang ada banyak sekali konflik-konflik agraria yang terjadi dipenjuru Indonesia. Dampak konflik-konflik tersebut telah menciptakan pandangan miring terhadap dunia pertambangan, khususnya pada masyarakat yang terdampak langsung. 

Jika alam yang kerap kali dipandang sebagai "Ibu" kehidupan telah mengalami kerusakan. Jelas akan berdampak kepada manusia sebagai makhluk hidup yang membutuhkannya. Mulai dari bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, bahkan bencana pangan riskan terjadi akibat aktivitas industri ekstraktif yang tanpa aturan. Selain itu, industri ekstraktif tidak hanya menimbulkan bencana dalam skala lokal saja. Industri ekstraktif yang semakin masif tanpa pengendalian dan cenderung ugal-ugalan akan membawa dampak dalam skala global. Sebab dampak industri ekstraktif ini tidak bisa hanya dipandang ketika proses pertambangannya saja, lebih jauh daripada itu beberapa hasil tambang yang dihasilkan juga memiliki dampak negatif. Antara lain adalah penggunaan batu bara dan minyak bumi yang berkontribusi pada kenaikan suhu bumi, maka jangan heran jika udara semakin panas akhir-akhir ini. 

Sampai pada titik ini, maka untuk memahami industri ekstraktif perlu pandangan dari dua arah, sehingga kita mampu memposisikan diri terhadap permasalahan dalam dunia industri ekstraktif dengan alasan yang benar. Sekali lagi, sebab industri ekstraktif ini telah memberikan banyak manfaat bagi manusia, tetapi di samping itu industri ekstraktif juga menjadi penyumbang terhadap kerusakan alam, kerusakan sosial, dan efek negatif lainnya. Dari hal tersebut, dengan membawa konteks kemanfaatan dan usaha menghindarkan alam dari kerusakan yang dihasilkan industri ekstraktif, maka pemanfaatan industri ekstraktif boleh dilakukan tetapi dengan aturan, mekanisme, dan prosedur yang benar-benar memihak pada kelestarian alam dan keterjagaan lingkungan dari kerusakan. 

 

Kompleks Masalah dari Aktivitas Industri Ekstraktif

Sering kali media-media memberitakan masalah yang menyangkut dunia industri ekstraktif, mulai dari konflik dengan masyarakat, konflik dengan hewan, hingga bencana yang timbul. Peristiwa tersebut adalah contoh kecil dari kompleks permasalahan yang terjadi dalam dunia industri ekstraktif. Permasalahan tersebut muncul ketika industri ekstraktif dilakukan tanpa pengendalian dan cenderung ugal-ugalan. Berarti secara sekilas masalah-masalah yang diberitakan media menunjukkan bahwa industri ekstraktif di Indonesia telah mencapai titik yang bisa disebut ugal-ugalan. Lantas benarkah demikian?

Sejak awal bisa kita pahami bahwa munculnya industri ekstraktif sebagai akibat dari kebutuhan hidup manusia. Industri ekstraktif menawarkan solusi sebagai alat yang bisa memenuhi kebutuhan tertentu manusia. Berkembangnya peradaban membuat industri ini melaju pada tingkat yang tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan manusia saja, tetapi menunjukkan pula ke tingkat pemanfaatan berlebihan untuk memenuhi ego atas ketidak pernah puasnya manusia. Karena berawal dari suatu yang salah, sehingga akibatnya menciptakan suatu permasalahan yang kompleks. 

Jika berbicara masalah, berarti melihat industri ekstraktif dalam sudut pandang negatif. Seperti disampaikan dalam pembahasan sebelumnya bahwasanya industri ekstraktif dalam perkembangannya banyak menimbulkan dampak buruk terutama bagi lingkungan. Dampak yang terlihat jelas adalah kerusakan alam skala lokal tempat industri ekstraktif berada. Lebih jauh lagi industri ini juga memiliki dampak skala global, penurunan luasan hutan dunia berimpact besar pada global warming, yang kemudian era ini disebut sebagai climate change atau perubahan iklim. Demikian adalah masalah yang ditimbulkan industri ekstraktif diluar prosesnya. 

Berkaca dari dalam negeri sendiri, maka banyak dijumpai permasalahan yang melibatkan industri ekstraktif dengan masyarakat lokal. Bukan tanpa alasan, sebab seperti dikatakan sebelumnya bahwa pemanfaatan SDA alam di Indonesia melalui mekanisme industri ekstraktif sudah tersebar luas dipenjuru negara ini. Maka tak heran jika banyak terjadi konflik dengan masyarakat lokal. Konflik dengan masyarakat lokal dalam hal ini adalah masalah yang terjadi ketika proses berlangsungnya aktivitas industri ekstraktif. Dalam konflik ini masyarakat berkepentingan untuk mempertahankan ruang hidupnya dari kerusakan yang bakal muncul ketika lingkungan alam mereka akan dialih fungsikan menjadi industri ekstraktif semacam tambang, dan pembukaan lahan. Sedangkan perusahaan, korporasi, atau perorangan yang menjalankan industri ekstraktif ini cenderung mengatasnamakan ekonomi. Sehingga perbedaan kepentingan dan persepsi tersebut jelas menimbulkan terjadinya konflik agraria. 

Permasalahan seperti ini tidak bisa hanya menyalahkan atau membenarkan satu pihak saja. Lebih jauh dari itu, sebenarnya apabila diruntutkan akan menyangkut pautkan banyak pihak diluar pelaku industri ekstraktif dan masyarakat, karena ada banyak pihak yang memiliki kepentingan dalam industri ekstraktif ini. Salah satu pihak tersebut adalah pemerintah, sebab pemerintah adalah pihak yang berwenang dalam mengatur regulasi tentang industri ekstraktif. Bahkan pemerintah juga adalah pelaku industri ekstraktif itu sendiri. Jika regulasi yang diterbitkan terkesan tidak memihak pada industri ekstraktif yang sehat, maka hal itu akan semakin meningkatkan kemungkinan konflik agraria yang terjadi. Hal inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Dalam hal ini, pemerintah sekarang cenderung mengeluarkan aturan yang memihak korporasi dengan dalih ekonomi dan pembangunan. Sehingga banyak sekali pembabatan dan alih fungsi hutan yang terjadi dipenjuru Indonesia. 

Berkaitan dengan peran besar pemerintah terkait regulasi industri ekstraktif, maka bisa dikatakan bahwa permasalahan ini telah masuk pada ranah politik. Akan begitu kompleks jika sudah masuk dalam politik, karena ada banyak kepentingan yang bercokol dalam dunia politik. Sehingga boleh saja jika menyebut permasalahan dunia industri ekstraktif adalah masalah yang multidimensi karena melibatkan banyak aktor dan aspek. 

Kompleks masalah industri ekstraktif secara sederhana dimulai dari masalah awal yang timbul sebelum proses berlangsungnya industri ekstraktif, meliputi masalah regulasi, konflik kepentingan yang juga melibatkan pada ranah politik. Akibatnya banyak terjadi masalah dilapangan saat industri ekstraktif berlangsung, meliputi konflik agraria dan konflik sosial dalam masyarakat. Selanjutnya adalah masalah dalam aspek lingkungan yang ditimbulkan saat industri ekstraktif berlangsung, pasca industri ekstraktif, ataupun masalah yang ditimbulkan dari barang yang dihasilkan oleh industri ekstraktif. Maka atas dasar itulah permasalahan dalam industri ekstraktif bisa disebut sebagai permasalahan yang kompleks. 

 

Ancaman Krisis Air dan Pangan Dampak dari Industri Ekstraktif 

Menurut data dari Pusat Litbang Sumber Daya Air Kementerian PUPR, saat ini, satu orang di Jawa bisa mendapatkan 1.169 m3 air per tahun (data 2020). Ketersedian tersebut menurun menjadi 476 m3 satu orang per tahun pada tahun 2040. Angka tersebut dapat dikategorikan sebagai kelangkaan total (enviroment-indonesia.com). Beberapa penyebab krisis air tersebut disampaikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang BRIN antara lain yaitu perubahan iklim, pertambahan penduduk, hingga alih fungsi lahan.

Apabila ditelusuri lebih jauh lagi ada banyak hal yang menyebabkan krisis air tersebut. Kita tahu bahwa Pulau Jawa adalah epicentrum kehidupan masyarakat Indonesia, karena lebih dari 50% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Artinya adalah terdapat kecenderungan penggunaan lahan yang tidak berimbang. Sehingga sampai saat ini perbandingan luasan hutan dengan penggunaan lahan untuk keperluan kependudukan di Pulau Jawa jelas tidak sebanding. Hutan-hutan di Pulau Jawa habis dikonversi menjadi pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan, dan lain sebagainya. Bahkan parahnya lagi yang marak dewasa ini adalah penggunaan lereng-lereng bukit, kawasan pegunungan, atau dataran tinggi untuk dibangun hotel, villa, dan juga perumahan. Hal tersebut semakin menambah masalah terhadap kondisi Pulau Jawa kedepan. Maka jelas sekali alih fungsi hutan menjadi kawasan kependudukan tersebut berdampak pada kemampuan tanah untuk memproses air, dalam hal ini juga berpengaruh terhadap siklus air.  

Secara sekilas hal tersebut memang data yang menampilkan Pulau Jawa saja. Tetapi permasalahan tersebut sebenarnya adalah suatu refleksi bagi pulau dan daerah lain. Lalu seberapa mungkin wilayah lain akan terjadi masalah seperti di Pulau Jawa tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan analisis dan penelitian yang mendalam. Tetapi mari kita coba jawab secara sederhana. 

Pada acara COP26 sekitar pertengahan Oktober 2021 lalu di Glasgow, Skotlandia, Presiden Jokowi mengatakan bahwa angka deforestasi Indonesia menurun sejak 20 tahun terakhir. Data yang dipakai adalah penggunaan istilah deforestasi netto dan deforestasi bruto, yang oleh banyak pihak dianggap tidak fair. Terlepas dari pernyataan tersebut pada kenyataannya angka alih fungsi hutan dan deforestasi di Indonesia masih tetap tinggi. Bahkan tercatat jika pembabatan hutan dibeberapa kawasan seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua era Jokowi terlampau ugal-ugalan. Banyak kajian dan kenyataan tentang hal ini, yang menyatakan demikian. 

Alih fungsi hutan kebanyakan ditujukan untuk keperluan industri ekstraktif seperti perkebunan sawit dan tambang, dan sekali lagi hal ini terjadi menyebar di Pulau Sumatera hingga Papua. Keperluan lain misalnya adalah untuk lahan food estate yang ramai satu atau dua tahun terakhir ini. Sebuah program yang dicanangkan untuk ketahanan pangan dan impian menjadikan lumbung pangan. Tetapi nyatanya banyak pihak yang mengatakan program ini adalah suatu kegagalan, bahkan sejak perencanaan. Hal ini memang terbukti juga dilapangan, lahan-lahan food estate tersebut terkesan mangkrak seperti yang terjadi di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Bukan tanpa efek, kegagalan food estate dan pembukaan lahan yang ugal-ugalan tersebut berdampak terhadap masyarakat sekitar. Mulai dari banjir sampai dampak ekonomi dirasakan masyarakat. Bukannya menambah pangan masyarakat yang terjadi justru mematikan sumber pangan masyarakat setempat. 

Kasus lain misalnya adalah pembukaan lahan di Papua. Ya benar, sekarang korporasi, cukong, hingga elit tinggi sudah mulai mengekspansi hutan Papua. Kita mengenal hutan Papua adalah hutan dengan kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam, juga Ibu bagi suku-suku di pedalaman Papua. Masyarakat Papua dalam hal ini adalah masyarakat kesukuan sangat bergantung pada alam dan hutan Papua, maka tak ayal hutan mereka anggap sebagai "Ibu" yang memberikan kehidupan. Jelas hal ini adalah ancaman bagi keberlangsungan hutan dan terutama mengancam masyarakat Papua, karena cadangan pangan mereka diekspansi. 

Ada begitu banyak kasus serupa seperti kasus di atas yang terjadi di Indonesia. Akan begitu panjang jika semua disertakan dalam tulisan ini. Pada intinya kemungkinan pulau-pulau dan wilayah lain di Indonesia untuk mengalami krisis air dan pangan sangat mungkin terjadi, terlebih jika melihat tren pembukaan hutan yang marak dan ugal-ugalan akhir-akhir ini. Catatan penting adalah krisis pangan sangat rentan terjadi pada masyarakat yang masih bergantung pada hutan alam untuk menyambung hidup, seperti masyarakat di Papua. Mereka merasakan sendiri kesulitan pangan ketika hutan dan Tanah Ulayat mereka dibabat habis. 

 

Menghindari Krisis Air dan Pangan Akibat Industri Ekstraktif 

Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Begitu kira-kira sebuah ungkapan yang agak menguatkan kita untuk terus berusaha mencari jalan keluar. Tak lain juga adalah masalah krisis air dan pangan ini, pasti ada jalan keluarnya. Perlu gandeng tangan dan usaha konsisten dari banyak pihak untuk mencegah terjadinya krisis air dan pangan di Indonesia. Peran terbesar ada pada tangan pemerintah. 

Apabila melihat sebab krisis air dan pangan seperti diutarakan diatas, yang berfokus pada pemanfaatan hutan secara ugal-ugalan. Maka poin utama adalah pada bagaimana caranya agar hutan alam di Indonesia tetap terjaga kelestariannya. Pertama, bagi pemerintah wajib membuat kondisi yang mendukung upaya kelestarian hutan dan aktivitas industri ekstraktif yang sehat. Misalnya adalah melalui regulasi dan mekanisme yang tegas terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Menghukum berat para pelaku deforestasi dan menindak tegas pelaku "kong kali kong" dalam hal alih fungsi hutan untuk industri ekstraktif. Kedua, masyarakat wajib mengawal kelestarian hutan alam, dengan cara mengawasi aturan dan segala gerakan yang berusaha memanfaatkan hutan secara eksploitatif. Ketiga, bagi berbagai organisasi nonpemerintah terkhusus yang bergerak di bidang hukum dan lingkungan, maka wajib bagi mereka turut mengawal berbagai regulasi yang dibuat pemerintah. Selain itu membantu masyarakat yang berjuang mempertahankan hutan sebagai ruang hidupnya dalam konflik-konflik agraria. Keempat, bagi pelaku industri ekstraktif manfaatkan alam sewajarnya saja, hindari pemanfaatan yang berlebihan, dan jangan soal material saja. 

Lebih dari itu ada banyak cara yang bisa kita lakukan walaupun melalui langkah sekecil mungkin. Maka dari itu, mari bersama-sama terus kawal hutan-hutan Indonesia. Berteriaklah sekeras mungkin ketika hutan dieksploitasi secara ugal-ugalan, seperti ketika membela Ibu kita yang disakiti orang lain. Karena sesungguhnya hutan adalah Ibu yang memberikan kehidupan bagi banyak makhluk hidup. 

Ikuti tulisan menarik Sulkhanudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler