x

Iklan

Sulkhanudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2023

Senin, 4 Maret 2024 06:41 WIB

Masyarakat Belum Siap dengan Pemilu Bersih

Masyarakat masih cenderung menormalkan praktik politik uang. Artinya level evaluatif dengan cara penolakan masih belum terbentuk. Itu sebabnya budaya politik kita masih di level kaula dan barangkali mendekati partisipan. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan Umum 2024 (Pemilu) sudah selesai dilaksanakan dua minggu lalu, tepat hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024. Hasil quick count memang sudah keluar sore itu juga dengan Paslon 02 sebagai pemenangnya. Selain itu, real count KPU hingga saat ini juga menunjukkan tanda serupa bahwa 02 akan memenangkan politik elektoral ini. 

Tapi bukan itu yang ingin penulis bahas, ada hal menarik lain dalam ajang yang katanya pesta demokrasi ini, yang agaknya perlu diulas. Sebagai mahasiswa terlebih lagi mahasiswa Ilmu Politik, memandang pemilu tentu bukan lagi soal dukung ini dukung itu. Lebih dari itu, hal yang kelihatannya tidak semenarik analisis cara paslon menang, yaitu perihal politik uang di tingkat lokal akan terlihat sensitif di mata mahasiswa politik. Hal inilah yang masih mengganjal bagi penulis sampai sekarang, meskipun pemilu telah rampung dua minggu lalu. 

Politik uang atau money politic mudahnya merupakan upaya menyuap orang lain agar mengikuti perintah dari si penyuap misalnya untuk memilih dirinya dalam pemilu. Sering kali bentuknya adalah pemberian uang cash atau sembako. Tidak bisa dipungkiri praktik ini masih banyak terjadi di Indonesia terutama sekali di tingkat lokal. Pun praktik kotor ini begitu terlihat dalam Pemilu 2024 yang menjadi ajang memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jauh hari sebelum pencoblosan gerakan para 'bagong' sebutan bagi relawan calon di akar rumput, terlihat begitu masif mendata siapa- siapa saja yang bakal dijejeli uang agar mencoblos bosnya itu. Tentu ini berdasarkan pengamatan di sekitar wilayah penulis. Politik uang lebih nampak bermain dilingkar pemilihan calon legislatif (caleg). Setelah melakukan pendataan para Bagong ini lantas menjanjikan amplop yang akan diberikan mendekati pencoblosan, biasanya di malam hari atau di pagi hari sebelum nyoblos, sehingga populer lah dengan istilah 'Serangan Fajar'. 

Rusaknya, praktik ini bukan saja dimainkan oleh caleg-caleg lokal, tetapi juga para caleg DPR RI. Maka tidak heran jika satu orang pemilih bisa mendapatkan hingga empat amplop, tentu asalnya dari caleg DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Bagi yang aji mumpung justru memanfaatkan momen ini untuk mencari lebih banyak lagi, pemilih semacam ini bisa mendapat lebih dari empat amplop. Bahkan tidak sesekali penulis juga mendengar "Ora ono duit ora nyoblos", yang menunjukkan seolah pemilu tidak lebih penting dari uang perolehan hasil serangan fajar. 

Ketika penulis berusaha menggali dari teman-teman beda kecamatan dan kota sebagai bahan komparasi, ternyata hasilnya tak jauh beda. Praktik politik uang juga terjadi di wilayah-wilayah mereka, bahkan ada juga diantaranya yang menjadi penerima. Ini artinya politik uang di tingkat lokal bukan hanya terjadi di wilayah penulis, melainkan juga merata di wilayah lain. 

Kemudian pileg kaitannya dengan pilpres, misalkan melalui percontohan PDIP yang hingga proses perhitungan saat ini masih memimpin dengan perolehan suara tertinggi, berbanding terbalik dengan perolehan suara capres cawapresnya dipilpres yang justru menjadi juru kunci. Apakah ini sebagai efek dari praktik money politik itu?? Tentu belum pasti, tetapi barangkali juga iya. Silahkan berpendapat. 

Jika menurut Gabriel Almond budaya politik suatu masyarakat terdiri dari tiga tingkatan yaitu Budaya Politik Parokial, Kaula, dan Partisipan. Maka masyarakat Indonesia dalam pandangan penulis masih dalam tahap kedua (Kaula). Sebab masyarakat kita dalam hal ini memang telah memiliki pemahaman dan kesadaran, tetapi sebagian besar belum mampu untuk mengevaluasi jalannya praktik politik.

Masyarakat kita masih cenderung menormalkan praktik money politik, artinya level evaluatif misalnya dengan cara penolakan masih belum terbentuk. Itu sebabnya dalam pandangan penulis budaya politik kita masih di level kaula dan barangkali mendekati partisipan. 

 

Sehingga atas dasar masih masifnya praktik money politik itu, maka tak salah jika penulis menganggap bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya siap dengan pemilu yang bersih tanpa politik uang. Masyarakat kita belum menghayati bagaimana praktik politik yang baik perlu dijalankan di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Sulkhanudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu