x

Pembangkit listrik tenaga surya. Sumber foto: Media Indonesia

Iklan

Hendri Nova

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 11:09 WIB

Sesat Nalar Transisi Energi

Transisi energi akan tercapai sempurna, jika Pemerintah tegas dalam menegakkan aturan. Tegas melarang pembangunan pembangkit listrik tenaga fosil dan mendukung penuh pembangkit listrik berbasis EBT

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jagat media sosial di Indonesia pada Jumat, 12 Mei 2023 lalu dihebohkan dengan vidio viral protes sejumlah pemilik saham dalam rapat saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk. Sejumlah pemilik saham tiba-tiba lantang memprotes rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara baru, di Kalimantan Utara.

Dalam vidio terlihat, dua pemegang saham sambil memegang spanduk yang bertuliskan desakan untuk menyetop pembangunan PLTU tersebut. PT Adaro dikutip dari pikiran-rakyat.com merupakan sebuah perusahaan pertambangan batu bara yang berkantor pusat di Jakarta. Dengan adanya transisi energi sebagaimana perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), rencana pembangunan PLTU batu bara baru ini dinilai mencederai komitmen Indonesia.

“PLTU batu bara untuk mendukung smelter aluminium. Stop pembangunan PLTU batu bara baru! Satu miliaran orang akan terancam oleh krisis iklim akibat emisi PLTU batu bara. Stop pembangunan PLTU Batu Bara baru!” teriak salah seorang pemegang saham muda, dilihat di akun @aiiaurdel.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat meneriakan kalimat-kalimat kecaman tersebut, si pemuda diseret keluar dari ruang rapat oleh panitia dan tim pengamanan acara.

“Stop pembangunan batu bara baru! Adaro ingin membangun PLTU batu bara baru, karena batu bara adalah penyebab utama krisis iklim yang mengancam masa depan kita, mengancam masa depan saya, masa depan kalian,” teriak satu pemegang saham lainnya, yang juga ikut diseret ke luar.

Dalam video yang sama, muncul komentar dari salah seorang pegiat lingkungan, yaitu Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia, Rahka Susanto. Dia ikut mengecam rencana teranyar PT Adaro. Baginya, krisis iklim dipastikan kian memburuk jika pembangunan tak segera dihentikan.

“Alih-alih melakukan transisi energi, Adaro justru melenggangkan penggunaan energi kotor batu bara, untuk membangun PLTU baru, guna menyuplai energi pada smelter aluminium baru mereka. Pembangunan PLTU baru hanya akan memperburuk dampak krisis iklim, mencemari lingkungan, dan mencederai komitmen Indonesia dalam proses transisi energi,” ucapnya.

“Sudah saatnya Adaro mendengarkan aspirasi para pemegang saham dan ikut bertanggungjawab dalam mencegah dampak krisis iklim,” kata dia lagi

Rekam jejak PT Adaro telah lama menjadi perhatian, terutama untuk para pemerhati lingkungan dan iklim. Pasalnya, perusahaan tersebut bertanggung jawab atas 0,13 persen dari total emisi rumah kaca industri global di Indonesia, sejak tahun 1988 hingga tahun 2015.

PT Adaro dinilai menjadi salah satu kontributor utama perubahan iklim, yang secara substansial berdampak pada kesehatan, mata pencaharian, keamanan pangan, persediaan air, keamanan, serta pertumbuhan ekonomi. Sepanjang tahun 2020 misalnya, perusahaan ini telah memproduksi batu bara sebanyak 54 juta ton.

Hingga sekarang, perkembangan protes pemegang saham ini tidak terdengar. Di pihak Pemerintah pun tidak ada tindak lanjut, baik semacam meminta keterangan dari PT Adaro terkait rencananya yang mencederai komitmen Indonesia tersebut, apalagi pernyataan tegas untuk menyikapi rencana tersebut.

Sekilas Transisi Energi

Lalu apa sebenarnya transisi energi yang ingin dilakukan Indonesia ? Dikutip dari environment-indonesia.com, transisi energi adalah proses perubahan penggunaan sumber energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas kepada sumber energi baru terbarukan, seperti surya, air dan angin. Tujuannya untuk mencapai Net Zero Emission di setiap negara dengan menggunakan sumber energi yang bersih.

Indonesia sendiri seperti dikutip dari unpar.ac.id, telah menyatakan komitmennya pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022, terkait isu transisi energi. Waktu itu, tercapai kesepakatan yang kini tertuang pada Deklarasi Pemimpin yang dapat dilihat pada poin 11 dan 12.

Dua poin itu menyatakan pentingnya mencapai net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060 dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 7 (Energi yang Terjangkau dan Bersih) untuk menyediakan stabilitas, transparansi, dan keterjangkauan energi bagi seluruh masyarakat.

Nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap bumi, sehingga tidak ada emisi yang menguap ke atmosfer dan bisa memicu pemanasan global.

Pemerintah Indonesia dalam upaya menjalankan transisi energi bersih, telah  mengeluarkan seperangkat aturan mulai dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, PP Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan Perpres Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang kemudian diikuti dengan seperangkat peraturan teknis pada tingkat kementerian/lembaga terkait misalnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Tak hanya itu, untuk menunjukkan komitmen bersama dalam penanganan pemanasan global, terbit undang-Undang Nomor 16/2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia bersepakat menjalankan komitmen untuk membatasi suhu pemanasan bumi tidak lebih dari 2 derajat Celsius, yang kemudian direvisi pada Pakta Iklim Glasgow 2021 menjadi 1,5 derajat Celsius.

Untuk menjaga komitmen bersama tersebut, Pemerintah Indonesia dalam RUEN membuat prioritas pengembangan energi bersih dengan menargetkan penggunaan energi bersih/energi baru terbarukan (EBT) paling sedikit 23 persen pada 2023 dan 31 persen pada 2050.

Merujuk data Kementerian ESDM, sampai tahun 2022, porsi penggunaan energi bersih (EBT) dalam bauran energi nasional baru mencapai 11,31 persen pada 2020, 12,2 persen pada 2021, dan 12,8 persen 2022. Presentase ini merupakan pekerjaan besar sekiranya hendak mencapai target bauran energi bersih 23 persen pada 2050.

Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dalam upaya mencapai target bauran energi bersih 23 persen pada 2025 dan target nol emisi karbon pada 2060.

Pertama, perlu adanya komitmen pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur energi bersih/EBT seperti pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT misal PLT surya, PLT air, PLT panas bumi, dan PLT bio.

Merujuk pada Neraca Energi Nasional 2021, produksi energi nasional pada 2020 sebesar 443,1 juta TOE (setara ton minyak). Produksi energi berbasis energi fosil seperti batu bara, gas, dan minyak mencapai 94,9 persen sedangkan sisanya dihasilkan dari produksi EBT sebanyak 5,1 persen.

Laporan Internasional Renewable Energy Agency (Irena) 2022 mencatat bahwa potensi EBT di Indonesia mencapai 3.692 GW dengan energi surya sebagai potensi terbesar 2.898 GW.

Sayangnya, sampai 2021, kapasitas terpasangnya baru mencapai 10,5 GW (atau sekitar 0,3 persen). Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi pengembangan energi bersih, di antaranya mengundang investor yang dibarengi dengan penyederhanaan regulasi pengembangan EBT.

Kedua, kolaborasi dengan sektor swasta dan dunia internasional. Transisi menuju energi bersih membutuhkan dana besar. Di tengah keterbatasan anggaran akibat pemulihan pasca-pandemi Covid-19 dan dampak perang Rusia-Ukraina, pemerintah perlu menggandeng swasta dalam pendanaan pengembangan energi bersih.

Bappenas menyebutkan dibutuhkan dana 127 miliar dolar AS untuk mencapai target bauran energi bersih 23 persen pada 2025. Ada beberapa skema yang dapat ditawarkan misalnya penawaran green bond dan green sukuk serta kolaborasi dana filantropi swasta.

Hasil dari KTT G20 Bali, Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan transisi energi bersih sebesar 20 miliar dolar AS dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan prioritas pertama pendanaan sebesar 500 juta dolar AS untuk mengimplementasikan program transisi energi dalam Kesepakatan Asia Zero Emission Community (AZEC).

Manfaat Transisi Energi

Banyak faktor penyebab kenapa transisi energi sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan manusia dan bumi di masa depan yang harus mulai disiapkan dari sekarang. Berikut manfaat yang sangat signifikan dari transisi energi dalam kehidupan sehari-hari:

Perubahan Iklim

Alasan pertama transisi energi penting yaitu untuk membantu mengatasi krisis perubahan iklim di Bumi. Sebab, salah satu pemicu perubahan iklim yaitu meningkatkan suhu rata-rata bumi akibat efek rumah yang yang ditimbulkan saat penggunaan energi batu bara, minyak atau pun gas. Transisi energi merupakan salah satu solusi untuk bisa menekan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan perubahan iklim.

Kemandirian Energi Nasional

Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap sumber energi yang diimpor dari negara lain yang sangat riskan akan krisis energi jika terjadi gejolak internasional. Maka dari itu, dengan transisi energi seperti surya, air dan angin, kebutuhan energi nasional tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada impor dari negara lain.

Penggerak Ekonomi

Penggunaan sumber energi terbarukan dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional dengan mengurangi biaya untuk mengimpor sumber energi fosil. Selain itu, pengembangan sumber energi terbarukan juga akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas.

Kualitas Hidup Masyarakat

Penggunaan sumber energi yang lebih bersih akan sangat berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat, karena akan menekan pencemaran udara, risiko penyakit serta ancaman krisis iklim.

Masih banyak manfaat dari transisi energi yang lebih bersih, terutama untuk keberlangsungan kehidupan manusia dan bumi nantinya.  Semua orang memiliki tanggung jawab dan peran dalam mendukung transisi energi ini untuk masa depan yang lebih baik.

Sesat Nalar

Dengan adanya komitmen ini, maka satu hal yang sesat nalar jika Indonesia masih melakukan pembiaran terhadap rencana swasta yang masih ingin membangun pembangkit listrik berbasis fosil seperti batu bara dan gas.

Indonesia harus tegas dengan tidak memberikan izin dan memperlakukan sanksi yang tegas dan memberatkan, sehingga berpotensi membawa kerugian bagi perusahaan yang masih nekat melakukan pembangunan pembangkit berbasis fosil.

Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang membangun pembangkit listrik dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) diberikan banyak insentif pajak, sehingga menjadi daya tarik bagi perusahaan swasta lainnya. Jika insentifnya menguntungkan, yakinlah banyak perusahaan swasta yang akan melakukan investasi.

Selain insentif pajak, jaminan keberlangsungan pembangkit EBT juga akan menjadi sangat menarik. Pemerintah harus menyatakan siap membeli listrik dari swasta yang mengalami kelebihan energi listrik dari pembangkit EBT.

Pada akhirnya swasta akan semakin banyak ikut serta, sehingga masalah biaya pembangunan pembangkit teratasi dengan baik. Dengan demikian Indonesia nantinya akan mencapai target untuk bebas emisi karbon pada 2060. (*)  #LombaArtikelJATAMIndonesiana

Ikuti tulisan menarik Hendri Nova lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB