x

cover buku Nyaliku Kecil Seperti Tikus

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Mei 2023 14:15 WIB

Nyaliku Kecil Seperti Tikus

Tiga cerpen panjang karya Yu Hua yang menggambarkan penderitaan ekstrim secara jenaka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Nyaliku Kecil Seperti Tikus

Penulis: Yuhua

Alih Bahasa: Sophie Mou

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2022

Penerbit: Bentang Pustaka

Tebal: 178

ISBN: 978-602-291-914-8

 

Saya menyukai karya Yu Hua karena menggambarkan penderitaan dengan jenaka sekaligus menjunjung pentingnya bertahan hidup. Saya telah membaca tiga novel karya Yu Hua yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. ”Hidup,” ”Dua Bersaudara” dan ”Kisah Seorang Penjual Darah,” ketiganya mengisahkan kepahitan hidup yang ekstrim. Anehnya...atau lucunya, Yu Hua mengisahkan kepahitan hidup yang ekstrim tersebut dengan cara yang jenaka. Membaca ketiga novel tersebut kita akan merasakan kemuakan yang tiada tara dan saat yang sama kita akan tersenyum bahkan terbahak.

Salah satu hal yang saya suka dari Yu Hua adalah keteguhannya untuk menyebarkan semangat bahwa hidup itu harus dipertahankan. Sesulit dan semenderita apapun hidup itu penting.

Saya mendapatkan karya Yu Hua yang keempat yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Judul karya Yu Hua yang saat ini ada di tangaku berjudul ”Nyaliku Kecil Seperti Seekor Tikus.” Karya Yu Hua ini diterjemahkan oleh Sophie Mou. Berbeda dengan tiga buku yang telah saya nikmati sebelumnya, buku keempat ini bukan novel. Buku ini terdiri dari 3 cerpen panjang. Cerpen panjang? Betul. Cerita pendek yang cukup panjang.

Cerita pertama berjudul ”Nyaliku Kecil Seperti Tikus,” seperti judul buku ini. Cerpen panjang ini berkisah tentang seorang anak bernama Yang Gao yang selalu dirundung karena bernyali kecil. Yang Gao dirundung di sekolah, bahkan oleh gurunya. Ia juga dirundung oleh teman-temannya karena Yang Gao tidak berani masuk air, tidak berani memanjat pohon, apalagi berkelahi lazimnya anak lelaki. Saat sudah dewasa, Yang Gao merasa nyaman tetap menjadi seorang cleaning service di kantornya. Sementara teman sekolahnya telah menjadi seorang teknisi. Ia tetap menjadi cleaning service karena tak berani mengusulkan kenaikan pangkat.

Sifat nyali kecil ini disebabkan karena sistem pengasuhan orangtuanya yang selalu melarangnya melakukan hal-hal yang dianggap berbahaya. Yang Gao tidak boleh mandi di sungai karena bisa mati tenggelam. Ia tidak boleh memanjat pohon karena kalau jatuh bisa mati.

Sifat nyali kecil Yang Gao diperparah saat melihat ayahnya mati karena menabrakkan truknya ke rombongan petani yang mengendarai sebuah traktor. Sang ayah selalu berhati-hati dalam mengendarai truk. Namun suatu saat, sang ayah memenuhi permintaan Yang Gao untuk menyetir dengan menutup mata. Karena menyetir dengan menutup mata, maka truk hampir saja menabrak serombongan petani yang naik traktor. Sang ayah mengumpati para petani tersebut. Namun sayang truk ayah Yang Gao mati mesin dan tersusul oleh rombongan petani tersebut. Ayah Yang Gao dipukuli petani yang marah karena hampir ditabrak dan diumpat. Sang ayah babak belur. Namun saat mesin truk sudah berhasil diperbaiki, sang ayah malah menabrak para petani tersebut dengan truknya. Ayah Yang Gao ikut mati dalam peristiwa tersebut.

Namun suatu hari Yang Gao merenungkan kembali kematian ayahnya yangmenabrakkan truk ke serombongan petani. Peristiwa tersebut mengilhami Yang Gao bahwa sesungguhnya sang ayah punya nyali. Suatu hari Yang Gao membawa pisau untuk membunuh temannya. Saat berjalan menuju rumah temannya, ia ditertawai oleh kawan-kawannya karena dianggap lucu. Mana mungkin Yang Gao berani membunuh?

Cerpen panjang kedua berjudul ”Sebuah Kenyataan.” Cerpen panjang ini berkisah tentang sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu, dua anak lelaki, dua menantu dan dua anak kecil yang tinggal di rumah. Sang ibu sudah tua dan sakit-sakitan. Kedua anak lelaki - bernama Shan Gang dan Shan Feng, dan menantunya sangat sibuk bekerja sekadar untuk bisa bertahan hidup. Sebuah keluarga yang menggambarkan kebanyakan keluarga di Tiongkok pasca Revolusi Kebudayaan.

Kondisi kemiskinan membuat keluarga ini tertekan dan sepertinya mengalami sakit jiwa.

Bermula dari Pippi anak Shan Gang yang berumur sekitar 3 tahun membawa keluar rumah anak Shan Feng yang masih bayi. Pippi bisa membawa keluar bayi yang berada di ayunan karena tidak ada yang mengawasi. Celakanya, si bayi mati karena jatuh dari gendongan Pippi. Shan Feng yang tidak terima bayinya mati, menuntut untuk membalas kepada Pippi. Pippi pun mati karena ditendang oleh Shan Feng sampai membentur tembok. Untuk membalas dendam kematian Pippi, Shan Gang mengikat Shan Feng di sebuah pohon sampai mati. Bukankah kisah tersebut menunjukkan keluarga yang sakit jiwa?

Saya tidak terlalu suka dengan cerpen panjang ketiga. Cerpen panjang ketiga yang ada di buku ini berjudul ”Suatu Kebetluan.” Cerpen ketiga ini tidak menunjukkan kualitas tulisan-tulisan Yu Hua yang sudah saya baca sebelumnya. Termasuk dua cerpen panjang yang ada di buku ini. ”Suatu Kebetulan” mengisahkan seorang suami yang membunuh selingkuhan istrinya di sebuah kedai minum. Cerpen panjang yang ini tidak menggambarkan penderitaan hidup yang ekstrim yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan Yu Hua. Cerpen panjang ini juga tidak menggambarkan betapa pentingnya hidup untuk dipertahankan. 753

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu