Monokrom (Part 2)
Jumat, 26 Mei 2023 18:46 WIBCerpen Monokrom (Part 2). Lanjutan Cerpen Monokrom sebelumnya. Cerita tentang kita, setelah peristiwa itu terjadi. Mereka tetap hidup di antara publik. Salam baik saudaraku.
Peristiwa. Sudut Kota Lain. Siang.
Kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Budaya, teknologi perkotaan meriah, karnaval semarak beragam rupa. Gaya hidup pilihan, bagian dari kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Gemerlap papan reklame digital tak jemu informasi memandang, dipandang, tersenyum, tertawa riang gembira. Minuman ringan bergaya pop, berjas pink, bercelana ungu muda. Berbunga-bunga merona memikat.
"Copet! Copet!" Suara saling berteriak. Memaki, amarah siang malam menjadi satu. Kejar mengejar, massal. Ramailah sebuah kerumunan di trotoar jalan kota. Lolos, berkelit, meloncat, terbang berlari kian kemari tumpang tindih suara-suara kota.
"Aku bilang aku minta putus. Titik!"
"Apa alasannya?"
Perdebatan pinggir jalan, dua sejoli asmara bergincu, hijau tua, merah menyala, kuning langsat, biru kronis, sepia pedih sedih sekali, di kafe, resto, warung-warung, angkringan, stasiun, halte bus, tempat nangkring kapan saja sesuka hati, sesuai kantong. Ramailah hidup berwarna, tak sewarna kata hati, komitmen kalau besok tak lupa. Kalau ingat jumpa kembali. Bye bye love, cintrong meradang waktu.
'"Dor! Dor!" tembakan melumpuhkan sosok itu. Terkapar mati pelipisnya bolong.
"Dia, buronan paling dicari."
Ketegasan keadilan. Diperlukan, ketika publik terancam kejahatan miring kiri atau kanan, mundur penyok maju tabrakan. Pilihan ada di sang waktu. Persimpangan, dugaan tumpang tindih. Praduga, berjalan ataupun berlari, sekalipun ngumpet di gorong-gorong kota, penegakkan hukum wajib berjalan tanpa hambatan. Basa-basi, kalkulasi tepat guna untung rugi. Matematika, realitas eksak, rasional.
"Maling motor! Maling!"
"Rampok! Rampok!'
Memburu, diburu. Siapapun pelakunya. Pantas atau tidak pantas, pelanggaran patut di silang merah, dengan garis tebal. Ketentuan hukum berkewajiban mengetok palu tiga kali. Bersalah ataupun tidak bersalah. Benar di kali dua di tambah satu, jamak menjadi nilai tambah atau nilai sampingan, dalam gelap di antara kepastian waktu. Jual beli, hukum dagang berlaku umum. Rumusan sederhana, setelah musim barter.
"Kamu selingkuh!"
"Enggak! Sumpah mati! Oh, tidak."
Sana-sini. Gono-gini. Ya sudah deh. Nasib membawa maunya seperti pilihan telah dilakukan. Salah-benar 'kan membawa nasibnya sendiri. Apa iya begitu. Salah siapa? Salah dia atau aku. Lantas konflik menjadi acuan wacana berbagai rupa sebab akibat. Ini salahku. Itu salahmu. Kamu di mana? Aku di sini. Kamu kemana? Aku di sana. Kalau gitu talak saja. Bagai ringan tanpa sebab meski akibat melotot di depan mata.
**
Jembatan Metropolis. Waktu Tunggu. Malam.
"Kalau waktu terbagi, dua belas jam siang-dua belas jam malam, mungkin itu artinya menjadi dua puluh empat jam sehari, lantas mana waktu maju, mana waktu mundur-waktu siang ataukah waktu malam. Begitukan maksudmu? Pusing amat kau. Teoritis acuan buku. Bebaskan otakmu. Jangan beku di teori formal, kepalamu jadi kulkas. Beku seperti es batu."
"Bork, kejadian enam puluh tujuh tahun lalu, membawa kita pada situasi ini. Ketetapan nilai kuantum, final, tak berbagi. Kita akan terus begini, tanpa waktu."
"Masih mungkin, Berk. Kalau kau mau mengacu pada hal pasti tak terbantahkan, tak seumpama apapun," menghela napas bebas. "Seperti kita bernapas, mengalir bebas. Oksigen, akan menghentikan hidup, kalau dia ngumpet di kolong langit, selama enam puluh menit saja,"
"Maksudmu?"
"Nah itu, pertanyaan, kadang-kadang sekaligus, implisit jawaban standar hidup dari otak malasmu menantang imajinasi, Berk,” tanpa menoleh, hanya sedikit melirik.
"Enam puluh tujuh tahun lalu di tempat ini. Baiklah Bro. Lihat, aku ulangi ya," mengorek hidungnya, lantas “Kau lihat aku baru saja melempar upilku kebawah jembatan sana, menukik cepat tanpa melayang seperti kertas. Kau melihat hal sama seperti waktu mundur di ingatanmu, di jembatan ini. Berapa usia kita ketika itu, Berk,” suara Bork datar.
"Enam belas tahun, saat itu. Kejadiannya setelah ultah si ceriwis burung kutilang, Deen dengan Bien." Berk, menyimak, selalu tertinggal selangkah di belakang, kakaknya. Menyebalkan. "Atau karena aku, berbeda beberapa menit saja, dari Bork, ketika dilahirkan ibu?" tanya itu di benaknya.
"Lalu? Berapa usia kita sekarang."
"Delapan puluh tiga tahun."
"Seperti aku bilang dulu, di usia kita ke enam belas, di sini. Bahwa Kant, tak pernah mau, punya jawaban pada ranah filosofi ke-meta-annya. Mungkin saja dia mengakui, tapi ogah mencari jawabnya."
“Bisa relatif, Bork. Banyak sisi jawaban, dari berbagai kemungkinan imajinatif, filosofis. Mencoba supaya otakku tak beku seperti es batu,” keduanya ngakak bareng.
Lantas lanjut Berk. “Abstraksimu tanpa limit. Upilmu menukik dengan cepat, tanpa dapat melihatnya. Bagaimana kau tahu? Aku ulangi pertanyaan lampau itu. Biar kau makin paham, perbedaan benda terlihat berbanding benda tak terlihat. Nikung kemana pula otakmu rupanya.” Keduanya ngakak lagi.
“Logika cair menjadi padat, diperlukan sensibilitas instingtif. Meski kedua unsur itu berbeda kepadatannya.” Suara Bork datar.
Blink! Suara nyaring di kejauhan. "Kalian! Masih berdebat menyoal kebodohan analisis kalian itu!"
Suara berikutnya. "Tambah tua makin jadi keladi begog. Geser sedikit otak kalian. Enggak bisa ya," berseling suara berikutnya.
"Masih berdebat seputar waktu! Sekarang kita ada di pusaran itu!" makin nyaring melengking. Bork-Berk, menutup telinga serapat mungkin.
Serentak Deen dan Bien. Berteriak! "Haaa! Kakek tuaa! Tolol!" Bersamaan dengan akhir kalimat itu. Glarr! Suara ledakan dahsyat di kejauhan. Segera hening.
"Suara itu ... " Keempatnya lirih, perlahan, serentak pula ingatan mereka kembali ke lampau. Gambar-gambar kaleidoskopis memberi pernyataan pers. News, beterbangan di frekuensi ranah niskala digital.
"Cinta kita tak pernah bersemi, kalau kau ingat ledakan macam itu," tukas Deen. Agak sedih secepat perasaannya, mata itu melembab,
"Setelah atau sesudah ledakan itu, peristiwa kini ada di lingkar hidup kita. Kalian mikir enggak sih. Makin tua makin jongkok otak kalian," Bien menyergah cepat campur sebel. Kesal, sedih, sama dengan Deen.
"Iya, ceriwis ..." Bork-Berk, liris nyaris tak terdengar.
"Apa!" Deen-Bien, sembari memukuli mereka sejadi-jadinya.
"Kami ceriwis karena kalian jalan di tempat sejak tadi. Kita takkan pernah bisa menikah tau!" Deen-Bien, serentak kesal.
Agak berbisik. "Bork, kita pacaran dengan mereka?"
"Apa! Enggak usah bisik-bisik. Kami dengar tau!" Serentak berteriak di kiri-kanan Bork-Berk.
"Iya sih, tapi kan ... Itu dulu, ya enggak sih." Bork-Berk, serentak perlahan.
"Stop! Bahas soal itu." Bien, menyela makin gondok.
"Ganti topik!" Dien, makin lembab matanya.
"Iyaa ..." Serentak Bork-Berk. Hening bagai tengah bercerita, sesaat.
Dien, menghela napas, kesabaran menyertai suaranya. "Kalian punya janji untuk hadirkan? Hari ini resital piano, Dharma Suhita, tampil bersama paduan suara Melodi Swara Semesta. Mereka para ananda kita, anak-anak panti asuh kita. Kalian keterlaluan, malah asyik di sini. Ngebahas fisika tentang upil! Hihhh!" serta merta mencubit bahu, Bork.
"Kalian lupa? Ngeselin!" Bien, kesal memuncak. Keduanya, mencubit hebat bahu Bork-Berk.
"Hahhh!" serentak Bork-Berk.
"Iya. ampun. Aku baru ingat. Maaf, kelupaan," Berk.
"Apa!" Deen-Bien, makin naik pitam.
"Aku juga lupa," Bork, menyela sembari bergegas.
"Ayo! Cepat!" keduanya menarik lengan Berk. Menyusul Bork. Menuju gedung pertunjukan.
**
Peristiwa. Sudut Kota Lain. Malam.
Siaran berita berada di angkasa publik. Arus informasi berjalan cepat. Pilihan menentukan langkah dalam konsep tujuan cita-cita, berlaku bagi setiap pelaku kehidupan. Naik kereta silakan. Naik bus silakan. Naik kendaraan pribadi silakan. Naik motor silakan. Semarak tujuan hidup kewajaran dalam waktu tempuh. Absen atau tidak, mesin-mesin waktu telah mencatatnya.
"Wah! Gawat! Kalah tender."
"Kau tak pintar bermain pingpong."
Melempar bola. Menangkap bola. Si bola cerdas menggelinding di gelanggang perang tanding, ujungnya tega meninggalkan pasukan. Apa boleh buat. Jabatan menggiurkan, seksi, cantik, aduhai, bahenol, menggoda triliun, sekalipun kasih tak sampai ke hilir, sebab meninggalkan hulu sebelum kapal melaut berjuang melawan ombak. Bagaimana pula bisa disebut patriot, kalau pedangnya plastik daur ulang.
Kemodernan, tak terbendung. Kalau dibendung bisa banjir bandang. Kemaslahatan tatanan kewajiban aturan, tatalaku hidup antar makhluk. Sekalipun bertulisan dilarang merokok, tetap mencari ruang sembunyi untuk merokok. Ada, tulisan menyeberang disini, tetap loncat pagar nyeberang sesuka hati. Enggan mencari garis penyeberangan, meski lampu lalulintas tampak mata, tak lebih dari lima ratus meter.
"Kroyok! Dia tadi menghadang jalan saya. Sikat!
"Maju. Lawan. Jangan takut. Kita dipihak kebenaran! Serbu."
Berita malam mengabarkan telah terjadi tindakan teror, akibat sengketa lahan. Menyebabkan tiga korban tewas. Provokator dari peristiwa itu telah diamankan pihak berwajib. Namun dua pelaku pembunuhan korban masih buron. Masih diselidiki lebih lanjut untuk memastikan dalang di balik peristiwa itu. Jenazah korban diserahkan pada pihak keluarga. Petugas akan melakukan penyelidikan lanjutan.
Terjadi peristiwa kecelakaan bus penuh penumpang sedang parkir siang tadi. Bus mendadak nyelonong sendiri, lalu terperosok kejurang. Pihak keamanan setempat telah mengamankan awak bus tersebut. Terjadi lagi pencurian di rumah kosong. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Terjadi kebakaran di wilayah kota sebelah barat sebanyak lima ratus rumah. Petugas, memadamkan dengan cepat.
"Kamu dimana? Aku, menunggumu sudah lebih dari satu jam loh."
"Iya ini lagi OTW. Sabar dong sayang."
**
Jakarta, Indonesiana, Mei 26, 2023.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Obral Obrol
3 hari laluMerah Delima di Pipimu
4 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler