x

cover buku Malim Pesong

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 Mei 2023 13:50 WIB

Malim Pesong

Sepuluh cerpen karya Hasan Al Bana yang tak patuh pada rukun fiksi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Malim Pesong

Penulis: Hasan Al Bana

Tahun Terbit: 2022

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Obelia Publisher

Tebal: 84

ISBN: 978-623-6639-76-4

 

 

Membaca cerpen-cerpen di buku ini mau tidak mau saya terpengaruh gaya bertutur Hasan Al Bana. Apalagi setelah membaca endors Ody (Audrey Farima) yang juga ikut-ikutan bergaya Al Bana. Kekuatan cerpen-cerpen Al Bana dalam buku yang dijuduli dengan salah satu judul cerpennya “Malim Pesong” memang ada pada cara bertuturnya yang lekat dengan gaya bercakap orang Medan.

Bentar Ketua. Bukan hanya gaya cakap Medan yang Al Bana pakai yang membuat cerpen-cerpen ini seenak tuak na tonggi. Tapi keusilannya membuat prolog yang bagai cerpen itu juga perlu diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan. Di bagian prolog, Al Bana berdialog dengan para tokoh cerpennya yang memprotesnya. Para tokoh cerpennya datang kepadanya karena mereka merasa hidupnya sudah diatur sedemikian rupa sesuai dengan aturan-aturan penulisan sebuah cerpen yang dianggap sastrawi.

“Maaf kalau aku lancang. Tak ada gunanya tuan membela diri malam ini. Tuan cukup mendengarkan keluh-kesah saya. Bukankah suara tuan sudah berkuasa penuh dalam cerita-cerita tuan? Bukankah di dalam cerita-cerita itu kami terbungkam, tak boleh bersuara? Suara-suara kami, garis takdir kami sudah tuan utak-atik sesuka hati dengan mengatasnamakan syarat rukun fiksi: ya amanatlah, ya plot-alurlah, konflik, kejutan, entah itu klimakslah, tokoh perwatakan, gaya bahasa anu, dan (halah puih) hantu blau lainnya,” demikian protes sang tokoh cerita kepada Al Bana yang dituangnya di bagian prolog.

Prolog yang ditulis ala cerpen ini membuat saya menghitung lagi. Sesungguhnya ada berapa cerpen dalam buku ini? Ada 10 atau 11? Karena prolog ini pun adalah sebuah cerpen. Ini pun adalah sebuah keusilan Al Bana.

Tapi sebentar. Bukankah sebenarnya ini sebuah prolog saja? Bukan sebuah cerpen? Al Bana hanya usil meminjam para tokoh cerpennya untuk menjelaskan bahwa kesepuluh cerpen yang ditulisnya memang tak taat pada syarat rukun fiksi? Al Bana mau menyampaikan bahwa sebagai seorang penulis fiksi, ia punya hak untuk juga menyimpang dari rukun fiksi yang akademik itu.

Cerpen Tio Na Tinggi contohnya. Al Bana mengusili pakem bahwa cerita rakyat bisanya dipakai untuk mengajarkan sebuah norma. Dari cerita rakyat itu diambil nilai-nilai luhur supaya diikuti oleh para generasi penerima cerita. Tapi di tangan Al Bana, legenda Pitta Bargot Nauli diakhirinya dengan Tio disajikan sebagai tuak na tonggi  oleh bapaknya. Menyimpang atau usil? Terserah kelean.

Seperti ditemukan oleh Ody, “Kapas-Kapas Desember” mempunyai “cacat” tentang tokoh utama cerita yang tak jadi utama dalam cerita. Bukankah lazimnya sebuah cerita ditulis dengan rapih untuk memunculkan tokoh utama sebagai pusat cerita. Tapi dalam “Kapas-Kapas Desember,” bukan Sonti yang awalnya mengarah ke tokoh utama. Plot dan konflik justru tentang Lasma. Menyimpang atau usil? Terserah kelean.

Nah. Cerpen berjudul “Jaelani di Tangan Juru Cerita” itu apakah cerpen? Apakah itu bukan semacam sketsa sang penulis untuk membuat cerita dengan tokoh utama bernama Jaelani? Namun Al Bana mengkategorikannya sebagai cerpen. Cerpen yang si penulisnya terlibat langsung dalam sebuah cerita. Melanggar rukun fiksi? Tentu tidak. Bukankah karya fiksi adalah sebuah rekaan? Sah saja mereka sebuah kisah yang melanggar rukun fiksi bukan? Menyimpang atau usil? Terserah kelean.

Makanya kelean yang akan membaca cerpen-cerpen Al Bana yang dikumpulkannya dalam buku ini jangan menyaipak diri sebagai pembaca yang akademik, kayak anak kampus. Nikmati saja karya Al Bana yang mengusili rukun fiksi. Jika perlu minumlah tuak na tonggi sebelum membaca. Biar cerita-cerita tentang Malim Pesong, Guru Jabut dan Ustaz Baihaqi berkisah sendiri kepadamu. Asal jangan kau ajak Tio na tonggi bersamamu. Sebab kau pasti akan melupakan Malim Pesong dan Guru Jabut karena terlalu asyik dengan Tio. 754

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu