Ibu warung di gang sebelah
berdagang nasi dan lauk sehari-hari
bukanya dari rembang hingga petang
Ibu warung di gang sebelah
kepadanya aku datang makan setiap hari
sambil berbasa-basi tentang cuaca dan jalanan
tentang sayur-mayur dan kesehatan
Ibu warung di gang sebelah
karena sering berbasa-basi dengannya
aku pun tahu dia juga penyuka kucing
lalu mulailah kami bercerita basa-basi tentang kucing
sambil membeli sayur dan lauk-pauk setiap hari
"Bagaimana kucingmu? Sehat-sehat?"
tanyanya suatu hari.
"Iya, Bu. Sehat, lucu, lincah,"
jawabku berbasa-basi
padahal kucingku mati minggu lalu
dan hatiku terlalu malas untuk mengakuinya kepada orang yang cuma basa-basi
Ibu warung di gang sebelah
dua bulan lebih aku tidak datang kepadanya
"Ke mana aja, Neng? Lama tidak kelihatan,"
tanyanya waktu aku muncul lagi
"Pulang kampung lama, Bu,"
jawabku berbasa-basi
padahal aku tinggal di rumah sakit menjaga ibu.
"Bagaimana bapak-ibumu, sehat?"
tanyanya lagi
"Sehat, Bu,"
padahal ibuku meninggal sepuluh hari lalu
dan hatiku terlalu pedih membicarakannya.
Buat apalah, toh kami hanya saling berbasa-basi
setidaknya begitu anggapanku
tentang ibu warung setiap hari
Ibu warung di gang sebelah
dan ibuku sendiri
dan semua orang yang tinggal di antara kita
setiap hari bertemu, setiap hari bercakap
tetapi wai, segalanya kuanggap basa-basi!
Selalu ada jarak
antara aku, dengan ibu warung,
dengan ibu,
dengan semua orang
Karena semuanya kupalang di batas basa-basi
supaya tidak masuk terlalu jauh
sebab hatiku terlalu egois untuk melebur dalam kehidupan orang lain
Ibu warung di gang sebelah
ada namun kuanggap tak ada, hanya sarana untuk mendapat makan
Ibu warung, dan ibuku sendiri, dan entah berapa juta orang lain:
manusia, tetapi bagiku seperti bukan manusia
hanya alat pemenuh kebutuhan
karena hatiku yang egois terlalu sibuk dengan diri sendiri
Sampai kapan aku akan terus berbasa-basi?
Mulai kapan orang lain kuanggap berarti?
Ikuti tulisan menarik Joy Saputra lainnya di sini.