x

Pinterest

Iklan

Joy Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 April 2023

Sabtu, 6 Mei 2023 09:46 WIB

Pencerita Tak Kasat Mata

Kamu terpikat padanya sejak pertama kali dia datang wawancara diantar suami. Waktu dia turun dari mobil, “Euleuh-euleuh, cantiknya,” begitu katamu pada tongkat pel di tanganmu. Cintamu saat itu langsung membubung ke surgaloka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir setahun Dia kerja di sini, tetapi tak pernah tahu namamu. Sebenarnya bisa dibilang tahu sedikit, dari mulut karyawan-karyawan lain yang memanggilmu Kang Yus. Begitu saja. Entah Yusman, Yusup, atau Yusak, Dia tidak tahu, juga tidak mau tahu. Bukan murni salahnya, karena memang semua staf lantai dua tidak peduli padamu, yang adalah office boy. Namun, soal kepedulian sosial mereka nanti sajalah. Sekarang yang penting tentang kamu dan Dia.

Memang Dia nama perempuan itu. Kependekan dari Lidia. Kamu terpikat padanya sejak pertama kali dia datang wawancara diantar suami. Waktu dia turun dari mobil, “Euleuh-euleuh, cantiknya,” begitu katamu pada tongkat pel di tanganmu. Fakta 'diantar suami' tidak berarti apa-apa bagi cintamu yang saat itu langsung membubung ke surgaloka. Apalagi, waktu kamu tahu dia jago masak, "Wah mantap sudah. Calon istri ideal, idaman, idola," begitu pikirmu.

Sejak itu, android usangmu sering panas karena kamu berjam-jam mengembara di internet, membaca-baca artikel Cara Mendekati Wanita, Cara Merayu Perempuan Bersuami, dan sejenisnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nomor satu, beri kejutan. “Mustahil. Kenal pun belum,” gerutumu.

Nomor dua, jadilah diri sendiri. “Ya iya atuh, saya kan memang Yus. Mana mungkin jadi orang lain. Belegug nih yang nulis artikel.”

Menurutmu tidak ada satu pun tips internet yang berguna.

Hari demi hari kamu berusaha menarik perhatian Dia. Sampai suatu Senin, waktu kamu mengantar HVS ke ruangannya, “Eh Kang Yus, mau ke bawah ya? Titip ambilkan sticky note ya,” kata Dia.

Akhirnya ada interaksi yang nyata! Lumer sendi-sendimu mendengar suara merdu kecapi kayangan itu. Untung pengalaman kerja belasan tahun membuatmu tetap percaya diri.

“Apa, Neng? Setikinot?” Hari itu kamu jadi tahu kalau kertas kecil lengket yang warna-warni namanya setikinot. “Yes, selangkah lebih dekat.”

Cuma selangkah. Dalam sembilan bulan. Kamu mulai frustrasi. Menggapai bidadari dengan tangan sendiri memang mustahil, butuh bantuan alam. Kamu pernah dengar dari temanmu Fransiskus, bahwa berdoa di gereja anu katanya manjur. Ah, gereja kan tempatnya Tuhan, pikirmu. Masa merebut istri orang minta tolong Tuhan? Temanmu Sodiq juga cerita kalau didoakan kiai fulan pasti di-ijabah. Ah, kiai kan hambanya Allah. Apa Allah mau membantu merebutkan istri orang? Yang paling bagus cuma kata si Jejen, berdoa kepada leluhur di makam dekat curug sana.

Tetapi, waktu kamu datangi, ya ampun, ternyata makam pasangan Aki dan Nini Karta. Mau sembahyang kepada yang laki, sungkan, karena orang yang hendak kamu rebut istrinya pun laki-laki; kepada yang perempuan, rasanya salah juga. Akhirnya kamu pulang dengan lemas lunglai.

Di titik inilah internet baru berguna bagimu. Malam itu kamu menemukan blog tentang ajian pengasihan, mantra ajaib pemikat perempuan. Setelah membaca-baca lamannya dengan teliti, kamu pun menghubungi kontaknya. Cocok ini, murni energi alam. Begitu pikirmu.

Minggu pagi kamu pergi ke sana. Naik bus sekali, ganti angkot dua kali, jalan kaki setengah mati. Kamu membayangkan akan bertemu kakek-kakek berbaju seram, yang di ruangannya banyak tengkorak dan kemenyan. Soal kemenyan, kamu benar, tetapi yang lainnya salah. Sang mahaguru ternyata seumuran kamu, bahkan kelihatan lebih muda. Tak ada baju angker, cuma cincin batu akik dua biji.

Kamu serba kikuk, mau panggil apa masih bocah begini? Kyai, bukan. Ki Sanakkurang pas. Mbah, lebih ngawur lagi. Jadi kamu pun hanya manggut-manggut menelan semua perintahnya: Pukul bantal seratus kali tepat tengah malam, sambil menyebut nama si dia. Baca mantra rahasia yang tak boleh ditulis. Pergi kencing. Lalu tidur menyamping. Kamu turuti semuanya malam itu juga.

Seninnya kamu sumringah datang ke kantor, menemui Dia yang ternyata masih juga mengacuhkanmu. Kamu lakoni pukul bantal tiga hari, tapi tetap tak ada perubahan. Akhirnya Kamis kamu cuti, pergi protes ke rumah mas dukun. Beliau menjawab kalem, “Kata khodam Prabu Suryajayakala Kidang Kancana, kamu butuh bagian tubuh si target. Boleh rambut, kuku, atau apa saja. Bawa ke sini. Mahar konsultasi ini tujuh ratus ribu.” Tetapi yang kamu khawatirkan hanyalah, "Alamak, bagaimana mencabut rambut Neng Dia?"

Di ruang kerja Dia ada empat perempuan, semua berambut hitam dan panjangnya lebih kurang sama. Pagi-pagi benar, sebelum jam kantor mulai, kamu mengamat-amati lantai ruangannya. Memang ada beberapa rambut rontok bertebaran, tetapi kalau bukan punya Dia, bisa berabe salah pelet. Kamu tidak mau ambil resiko. Jadi kamu berpikir keras sambil mondar-mandir sebentar di situ, mumpung belum ada orang. Untungnya, karena kamu teliti, kamu melihat di sandaran kursi Dia ada serpihan putih kecil-kecil.

“Ini, Kang! Bagian tubuh! Ketombe neng Dia!” katamu waktu datang kali ketiga. Sang dukun muda naik turun jakunnya menahan batuk, bibir berkerijut menahan emosi yang entah apa. Bersama-sama, kalian berdua membuka bungkusan kertas isi ketombe. Ketombe dijampi-jampi dengan mantera panjang. Kamu cengar-cengir tak tertolong. Tangan meremas-remas lutut sambil harap-harap cemas. Tabungan enam bulan gaji melayang. Tapi tidak masalah. Demi cinta, demi Dia.

Malam itu terasa lambat, tetapi kamu menikmatinya dengan optimis. Ada suatu getaran asing di dalam sukma, seperti pola energi yang berpusar-pusar, masuk ke buana jasmani. Ilmu Prabu-Apalah-Tadi pasti sedang bekerja. Jelas sekali, kamu merasakan hati Dia ditarik menyatu denganmu, setidaknya di dunia roh. Tinggal menunggu perwujudannya di alam ragawi.

Benar saja, esoknya, seharian Dia kelihatan resah, tak pernah diam di meja. Sekali ke ruang HRD, sekali ke ruang direktur, kadang ke bagian tata usaha. Kamu juga gelisah, tak sabar menunggu waktu istirahat. Minyak wangi dan kaos polo sudah siap di lokermu, modal kencan makan siang. Jam dua belas tepat, kamu lari ke lantai dua. Siap menggandeng Dia.

“Lho, ada apa rame-rame di ruang rapat? Kenapa neng Dia ada di dalam situ?” Agak dekat ke pintu kamu berjalan lambat-lambat sambil menguping. Samar terdengar suara Ibu HRD, “Bapak Ibu, acara makan bersama ini kenang-kenangan dari Lidia untuk hari terakhirnya kerja di sini...”

Kamu terhenyak.

 

Aku tahu kamu kecewa. Aku tahu kamu ingin teriak. Aku juga tahu, beberapa jam ke depan, Dia akan pergi dari kantor itu tanpa pernah tahu namamu. Yustantra, Yustantra... Aku tahu niatanmu saat ini untuk mendatangi cenayang itu lagi. Ingin rasanya aku memberi tahumu bahwa dia sekarang sudah kabur dari kontrakan. Blognya pun sudah ditutup. Namun aku tidak mau frontal, karena kita berbeda alam. Aku akan menyuruh waktu untuk mengatakannya kepadamu nanti.

Sementara menunggu waktu bekerja, ada hal-hal lain yang harus kukerjakan juga.

Pertama, mengatur serangkai kejadian di sekitar suami Lidia biar dia sadar untuk memperhatikan istrinya melebihi lelaki lain yang tak berhak. Selain itu, seperti janjiku tadi, aku juga mau melatih kepedulian sosial Dia dan anak-anak lantai dua. Mereka sebetulnya baik, hanya masih terlalu egosentris. 

Nah, itu semua baru perkara kecil. Sejak tadi, selama aku membiarkanmu merasa jadi tokoh utama di cerita hidupmu sendiri, aku juga sibuk mengorkestrasi politik dunia, pandemi, dan galaksi. Semuanya itu urusanku juga.

Yustantra, Yustantra... Waktu, dunia raga, dan (yang dari tadi kamu sebut) energi alam, mereka semua cuma perkakasku untuk menggarap karya yang sempurna. Kamu tidak bisa menghindar dariku. Kapan kamu mau sadar kalau sebermula aku sudah ada dalam cerita, kalau ceritamu adalah ceritaku?

Ikuti tulisan menarik Joy Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu