Novel: Dua Cinta di Puncak Jaya (4)

Selasa, 6 Juni 2023 19:45 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ini kisah tentang laki-laki yang tanpa sengaja terlibat dalam gerakan perempuan di Papua, sayap Gerakan Papuan Merdeka. Ia merindukan keluarganya, ingin kembali ke Pulau Jawa menemui istri dan dua anak tercintanya. Namun, perjalanannya malah menjadikannya sebagai buronan pihak keamanan. Selamatkah dirinya?

4

Sudah 4 bulan Rio di Papua. Ia menerima ragam informasi dari banyak orang, dan tentu saja dengan sudut pandang yang beragam pula. Ia hanya memahami bertumpuknya masalah,  tetapi tidak mengetahui program apa yang tepat di Papua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kehidupan sosial Papua sangat rumit, kusut, bertemali antara satu persoalan dengan persoalan lain,” katanya.

Matanya memandang lurus ke arah Theus yang sedang mengaromai dua gelas kopi Arabika dari Wamena di cafe sebuah hotel di Merauke. Kopi Arabika Wamena merupakan kopi berkualitas tertinggi di banding kopi dari dua daerah lainnya, Timika dan Nabire.

Kelezatannya sudah kondang di antara para pecinta kopi Nusantara dan Mancanegara. Bahkan ada adagium, belum ke Wamena jika tak singgah di kedai kopi, lalu meneguk kopi Arabikanya. Rio selalu menikmati kopi itu tanpa gula, lebih menyehatkan, katanya.

Konon, kenikmatan kopi Arabika dari Wamena ini karena penanamannya tidak menggunakan pupuk kimia, semuanya organik. Selain aromanya wangi, rasanya terasa lembut, dan tak ada yang bisa menandingi.

Rio selalu membelikan oleh-oleh kopi Arabika Wamena ini untuk teman-temannya yang ke Papua, dan menemuinya untuk sekadar berbincang ringan.

“Setiap kelompok, setiap orang bisa bermain akrobat dengan bebas, syaratnya bisa meyakinkan para pihak, jalanlah pertunjukkannya,” kata theus santai tanpa ekspresi.

Kali ini tangannya mulai sibuk dengan bahan-bahan makan sirih. Buah pinang muda mulai ia kunyah, tak lama kemudian menyusul bunga sirih yang sudah ia celup ke dalam kapur.

“Ya, ya .... Kemudian sambil tersenyum, menghitung keuntungan yang bisa dikumpulkan dari berbagai program yang dikembangkan,” sambung Rio.

Rio bisa menyaksikan kekacauan agenda pembangunan di Papua sekaligus berbagai buktinya. Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang diberlakukan dengan kucuran dana besar-besaran. Kemudian juga kebijakan kepala daerah hanya bisa dari suku asli Papua, kecuali wakilnya yang bisa dijabat dari suku lain.

Selain itu juga ada pengembangan sistem dualisme pengambil kebijakan dalam pemerintahan, DPR dan MRP. Semuanya, tampak belum membuahkan hasil yang menggembirakan bagi suku Papua.

Pada pelaksanaan Otsus malah terhembus aroma tak sedap dengan tidak jelasnya penggunaan dana yang mencapai triliunan rupiah. Celakanya, orang-orang Pusat tak berani bicara soal ini, bahkan Komisi Penanggulangan Korupsi sekali pun. Mendengar kabar tak menggembirakan itu, Rio mengelus dada, menelan ludah yang terasa sangat pahit, seperti butiran-butiran pasir yang menyesakkan dan menyakitkan.

”Bagaimana ujung-ujungnya bisa begini?” tanya Rio.

Theus angkat pundaknya, seakan-akan hendak menunjukkan ketidakmengertian terhadap berbagai kebijakan salah kaprah yang diterapkan di Papua. Ia mengkritik tajam konsep pembangunan di Papua yang seluruhnya disusun di Jakarta, berdasarkan nalar Jakarta. Tentu saja dengan para pelaksana yang sama sekali tidak memahami dinamika budaya di Papua, dan mereka juga dari Jakarta.

“Ini namanya makanan orang Papua dengan menu Jakarta,” kata Theus.

“Bisa memberi contoh?”

“Terlalu banyak contoh, susah mengingatnya meski satu saja,” kata Theus dengan wajah serius.

Akhh, Rio segera menyadari kesalahannya dengan mempertanyakan contoh. Ia merasa tiba-tiba sikapnya menjadi sangat naïf. Ia berusaha memperbaiki situasinya. Derak-derak kesalahan itu tampak benar dari wajahnya, sorotan mata yang menunjukkan kehilangan arah untuk memulai kembali perbincangan.

“Mungkin yang tepat bukan contoh, tetapi bagaimana mesti merespons berbagai persoalan akibat kekeliruan kebijakan,” ujar Rio.

“Pertanyaan ini yang memang harus dicari jawabnya,” kata Theus.

Orang-orang Papua, menurut Theus sudah lama memilih diam, berkata berarti melawan. Lihat, baru saja ingin bertanya kepada masyarakat mengenai lebih suka merdeka atau tetap bersama dalam naungan Merah Putih, semua orang sudah mempersoalkannya.

Theus menjadi bagian dari orang Papua yang merasa pengap dengan situasi 40 puluh tahun terakhir di Tanah Papua. Beberapa soal berhambur-hamburan dari bibirnya, berloncat-loncatan tak teratur. Rio mencoba keras mengingatnya, menanamkan dalam-dalam ke benaknya, untuk nanti dicatat kembali dalam dokumen pribadinya.

“Lihat sepuluh tahun lalu, ada kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Apalagi itu maksudnya? Membangun citra dan mengamburkan anggaran yang nantinya juga akan tumpang tindih,” lanjutnya.

“Sekarang dengan pengembangan provinsi baru Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan. Di sini, di Merauke yang menjadi ibu kota Papua Selatan,” kata Theus, jarinya menunjuk-tunjuk ke arah tanah yang diinjaknya.

Theus berasal dari suku Marind-anim, suku besar di Merauke. Dalam berbagai catatan sejarah, pada mulanya, mereka mendiami wilayah barat daya pantai Papua, sekitar 30 kilometer dari kota Merauke, tidak cukup jauh dari daerah Kondo, wilayah perbatasan Papua New Guinea. Pusat kekuasaannya berada di pedalaman Okaba, terletak di bagian atas sungai Bulaka, dan dua sungai lain, Eli dan Bian. Jumlah masyarakatnya berkurang cukup drastis ketika pada tahun 50-an diserang wabah penyakit. Mereka menyebutnya ‘penyakit dari luar daerah’.

Jumlah anggota suku Marind-anim sangat sedikit, karena sebagian besar perempuannya menghadapi persoalan infertilitas, akibat tradisi ritus seksual mereka. Tradisi pertukaran pasangan yang bersumber dari mitos tentang nenek moyang mereka, Dema. Situasi ini mendorong dipraktikannya tradisi penculikan anak antar suku sebagai cara menambah jumlah anggotanya.

Theus merupakan putra dema, ia dilahirkan dari perempuan suci yang hamil sebelum menikah. Dalam mitos mengenai seksualitas suku Marind-anim, bayi yang lahir dari perawan suci, diakui sebagai anak Dema. Theus memiliki kedudukan sosial tinggi dan sangat dihormati di kampungnya. Dalam acara-acara adat, Theus biasanya memimpin pemujaan Dema.

Theus menceritakan, seperti juga suku-suku lain di Papua, meskipun sudah beragama Kristen Protestan atau Katholik, ritual adat masih tetap dilakukan sesuai dengan tradisi yang sudah mereka jalankan berabad-abad lamanya. Tidak mengherankan, jika tradisi tukar pasangan di suku Marind-anim tetap dilakukan, dan bagi laki-laki yang beristri, juga melakukan hubungan seks dengan anak laki-laki saudara perempuannya.

Theus juga menceritakan, berdasarkan mitos suku Marind-anim, mereka menolak tukar pasangan ini disebut sebagai hubungan seks bebas, seperti yang dipikirkan orang-orang modern, lebih tepatnya kaum moralis.

Tradisi tukar pasangan memiliki kisah panjang dalam mitologi Marind-anim, dan menjadi salah satu dari empat mitos utama yang menyangga kehidupan spiritual mereka; mitos perjalanan jauh Dema dengan menggunakan kano. Ini terdapat dalam kisah mengenai asal usul Dema yang dianggap sebagai leluhur suku Marind-anim.

Penyangga yang lain, mitos seksualitas dan konsep putra Dema. Hubungan seks di antara mereka dilakukan atas nama jiwa Dema, dan yang terlahir dari perempuan tidak menikah akan menjadi putra Dema sendiri. Selanjutnya, mitos coconut, kisah tentang perempuan yang dimakan ular sanca besar di sungai, dan mitos hunting-head, kisah asal usul perburuan kepala yang mereka lakukan. 

Kematian bagi anggota suku Marind-anim bukanlah persoalan besar. Sebab mereka mempercayai, kematian merupakan perjalanan di bawah tanah menuju ke timur jauh. Seperti mendatangi asal terbitnya matahari, umpama perjalanan Dema dengan kanonya. Mereka juga mempercayai, roh yang meninggal akan kembali ke tengah masyarakat dan turut serta dalam pesta-pesta besar yang mereka lakukan. Lalu kenapa harus bersedih dengan kematian?

“Kisah yang sangat menarik,” kata Rio.

“Sayangnya tak banyak orang yang mau mempertimbangkan nilai-nilai ini dalam mengembangkan berbagai program di tanah Papua,” ujar Theus.

“Bapak lihat sendiri, bagaimana setiap orang yang datang dari luar Papua merasa yakin dengan konsep mereka. Mengumpulkan banyak orang, dan berceramah ke sana ke mari tak tentu arah,” lanjutnya.

“Ya..., saya melihatnya sendiri. Bagaimana seorang muda usia 24 tahun begitu fasihnya mencaci maki suku dan adat di Papua,” kata Rio.

Ia teringat seorang Ketua Dewan Adat, yang mengatakan, “bagaimana saya akan mengikuti pertemuan-pertemuan untuk merencanakan berbagai agenda pembangunan, baru saja berada di depan pintu masuk ruang pertemuan, sudah bisa dipastikan saya akan disalah-salahkan.”

“Itu hanya contoh kecil yang sudah biasa kami dengar,” kata Theus.

“Tidak akan pernah program pembangunan berhasil selama masih dilakukan dengan cara-cara semacam itu. Dalam satu suku saja, terdiri dari berbagai subsuku yang masing-masing memiliki tata hidup yang berbeda, meskipun memiliki kemiripan di beberapa bagiannya,” lanjutnya.

Rio berpikir tak mengerti, bagaimana mungkin para pemegang kekuasaan di negeri ini tak pernah mendengarkan suara semacam ini. Ekspresi yang menyatakan dengan gamblang ketidaksetujuan terhadap berbagai kebijakan. Pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan kaum pemodal. Mereka yang terus menerus mengeruk kekayaan tanah Papua, hutan, lahan dan juga tambang.

Sebuah sikap yang teramat jelas menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Pusat.

Rio jadi bertanya-tanya, lalu apa saja sebenarnya yang dilakukan badan-badan dunia yang berada di Papua tahunan lamanya itu? Apakah mereka hanya mendukung begitu saja agenda-agenda program yang dijalankan pemerintah, misalnya, soal penanggulangan HIV dan AIDS?

Tidakkah mereka memiliki kapasitas memberikan saran, sehingga setidak-tidaknya terjadi perubahan metodologinya? Apakah mereka hanya berasyik maksyuk dengan program-program sektoralnya, tanpa pernah mau memikirkan sesuatu yang lebih komprehensif? Pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya hanya memusingkan dirinya sendiri.

Mungkin dari sinilah, kata Rio seperti sedang berbisik kepada diri sendiri, akar perlawanan untuk memisahkan diri terus tumbuh dan menguat. Menggurita dengan gerak yang amat lembut, tak tampak mata tetapi bisa dirasakan bagi mereka yang mau mengerti keinginan hati nurani.

Jika ini benar, ada kekeliruan yang dilakukan pihak keamanan dan kaum agamawan yang secara bersama-sama menghancurkan lembaga pendidikan adat. Bagi suku Moi di wilayah Sorong, misalnya, pendidikan dilakukan di Kambiak, mengajarkan berbagai nilai adat dan tradisi. Kini tak bisa ditemukan lagi, dihancurkan dan dilarang.

Pihak keamanan menganggap Kambiak sebagai tempat pengkaderan milisi suku Papua untuk melawan pemerintah. Pemimpin agama, menuding Kambiak mengajarkan kemusyrikan, dan tentu saja melanggar ajaran-ajaran agama.[]

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua