x

Tinta Pemilu

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 14 Juni 2023 22:12 WIB

Pemilu Sebagai Kedewasaan Berpikir, Bukan Sekadar Menjawab Pilihan Ganda

Tanpa pendidikan politik yang mumpuni, rakyat hanyalah anak kecil yang sangat menyukai rasa manis. Sebagai hasilnya, kita selalu mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu memilih banyak sekali pemilik toko permen dan membenci dokter gigi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya tidak tahu mengapa dunia barat sampai sebegitunya mengagung-agungkan kata demokrasi. Bisa jadi karena secara etimologi, kata demokrasi memang memiliki arti yang sangat gagah. Demos berarti orang banyak, dan kratos berarti kekuasaan, kekuatan. Maka demokrasi bisa diartikan sebuah sistem politik di mana kekuasaan berada di tangan orang banyak –rakyat berkuasa.

 

Demokrasi Socrates dan Plato

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya menemukan fakta bahwa dunia barat memang penuh dengan paradoks. Pada satu sisi mereka menuhankan demokrasi sebagai sistem negara yang paling ideal. Di sisi lain sebagai landasan cara berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan dalam kehidupan mereka, mereka menyebut-nyebut nama Socrates sebagai "Bapak Filsafat Barat". Padahal Socrates sendiri mati karena demokrasi, dan muridnya, Plato, selama 12 tahun melarikan diri dari Athena karena satu hal: kecewa dan muak terhadap demokrasi.

Socrates dihukum mati oleh hakim-hakim melalui pemungutan suara. Dia dituduh menyesatkan anak muda dan dituduh membawa agama baru. Tuduhan itu dipelopori oleh kaum Sofis yang menjual kebijaksanaan dengan kata-kata indah dalam arti harfiah. Ya, kaum Sofis menetapkan harga tertentu terhadap pengetahuan yang mereka miliki. Anak-anak muda Athena harus membayarkan sejumlah uang apabila ingin memperoleh pengajaran dari mereka tentang kebijaksanaan. Dan Socrates menentang itu. 

Dia berjalan keliling pasar dan bertanya tentang apa itu kebenaran dan kebaikan kepada orang-orang, mengajarkan tentang kebijaksanaan secara gratis dan secara terang-terangan menyatakan bahwa kaum Sofis bukanlah orang-orang yang bijaksana. Menurut Socrates, orang yang paling bijaksana adalah dirinya sendiri. Karena dia mengetahui bahwa dia tidak mengetahui apa-apa. Karena itulah kaum Sofis sangat membenci Socrates.

Di persidangan, setelah mengemukakan argumentasinya seperti yang didokumentasikan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Apology, Socrates kalah suara dengan perolehan 280 juri menyatakan bersalah dan hanya 220 juri yang menyatakan sebaliknya. Akhirnya dia dihukum mati dengan meminum racun cemara. Orang paling bijak di Athena itu, menurut Plato, mati karena kalah voting.

 

Kebenaran Orang Banyak

Ide tentang demokrasi lahir karena kebenaran orang banyak lebih memiliki kualitas mendekati kebenaran yang sejati daripada kebenaran satu-dua orang. Namun bukan berarti kebenaran orang banyak itu tanpa cela, apalagi ketika pengertian demokrasi dipersempit menjadi pemilu. Pengertian pemilu sekalipun dipersempit lagi menjadi voting. Agaknya hari ini kita telah mengulang kembali sejarah yang menjadi penyebab kekecewaan Plato.

Jika kita membaca sejarah Indonesia, kata "demokrasi" ini sempat masuk ke dalam topik pembahasan terkait muatan-muatan dalam Pancasila. Namun akhirnya batal karena tergantikan oleh "musyawarah mufakat". Karena musyawarah mufakat lebih mencerminkan nilai-nilai kebangsaan yang terdiri dari berbagai suku, ras serta bermacam latar belakang, yang tentu berpengaruh terhadap perbedaan cara berpikir.

Sebenarnya sah-sah saja kalau keputusan itu diambil dengan cara voting. Tetapi mekanismenya harus berurutan dahulu. Dalam mengambil keputusan, tahap yang pertama adalah dengan musyawarah, jika tidak mencapai kata mufakat, baru debat terbuka, jika deadlock baru adakan voting. Bukan dengan apa-apa voting, tiba-tiba voting, ujug-ujug voting.

Pemilu adalah pesta demokrasi, katanya. Apanya yang pesta? Pemilu adalah pengebirian demokrasi karena pemimpin dipilih tanpa didahului oleh proses musyawarah. Mengapa tanpa proses musyawarah? Karena demokrasi kita demokrasi langsung, bukan demokrasi perwakilan. Sehingga sekarang ini tidak ditemukan adanya suatu mekanisme di mana para wakil rakyat bermusyawarah mengenai siapa yang beneran fit and proper untuk melanjutkan amanah kepemimpinan negara ini. Fungsi yang dahulu pernah diemban oleh MPR, kini telah tiada.

Debat capres-cawapres yang diselenggarakan selama ini juga tidak pernah melibatkan rakyat. Tidak ada satu pun kesempatan dalam mimbar bebas itu rakyat ditanyai maunya apa, baiknya bagaimana, apa yang belum tercukupi dan mana yang sudah, dan apa yang dicita-citakan untuk dicapai di kemudian hari. Debat itu hanya berisi adegan show off pamer ide dan prestasi semu kepada publik, yang penuh dengan retorika dan permainan kata-kata. Tidak lupa juga berisi iming-iming dengan menjual kata "rakyat, kesejahteraan rakyat, ekonomi kerakyatan, demi rakyat" pokoknya kata "rakyat" diobral habis-habisan. Itupun diselingi dengan adegan saling sikut, saling injak, dan saling tendang antar calon pasangan.

Pemilu masa kini semuanya dikembalikan kepada rakyat. Padahal tidak semua rakyat tahu tentang dampak politik dari suara yang telah diberikannya. Seperti kata Lee Kwan Yew, bapak pendiri bangsa Singapura itu "Saya tidak akan memercayakan masa depan Singapura kepada suara penjual es keliling". Enaknya lagi, para wakil itu akan dengan mudah mengatakan "Lihatlah akibatnya, salah sendiri mengapa dahulu rakyat pilih si anu jadi Presiden", jika keadaan tidak sesuai dengan harapan.

 

Toko Permen Pemilu

Masalah utama pada negara yang berkiblat ke barat dengan menomorsatukan demokrasi adalah pemilu. Hal itu akan menarik kepentingan pemimpinnya untuk sebesar mungkin menyenangkan rakyat, membuat rakyat have fun and happy untuk sementara waktu. Walaupun seringkali malah melakukan hal-hal yang akhirnya menjerumuskan rakyat itu sendiri. Semua demi mendapatkan suara dan memenangkan kontestasi pemilu.

Socrates mencontohkan dengan apik mengenai hal ini. Socrates tahu persis, betapa mudahnya pemimpin dapat memanfaatkan keinginan semu rakyatnya demi kemenangan perolehan suara. Dia mengibaratkan ada dua orang pemimpin yang sedang mencalonkan diri, yang satu dokter gigi dan yang satunya adalah pemilik toko permen.

Pemilik toko permen tentu akan mengatakan hal seperti ini tentang dokter gigi “Lihatlah, orang ini telah memberikanmu banyak sekali kesengsaraan. Dia menyebabkan kamu kesakitan dan membuat gusimu berdarah. Selama ini dia hanya memberikanmu obat-obatan yang pahit dan melarangmu makan dan minum yang enak-enak. Dia tidak pernah membuatmu bahagia. Tidak sekalipun dia pernah mengadakan pesta meriah yang penuh dengan cokelat dan manisan, tidak seperti diriku ini."

Sedangkan dokter gigi itu hanya bisa manjawab “Saya memang membuatmu sengsara, tetapi ini semua demi kebaikanmu."

Tanpa pendidikan politik yang mumpuni, rakyat hanyalah anak kecil yang sangat menyukai rasa manis. Sebagai hasilnya, kita selalu mengulangi kesalahan yang sama. Yaitu memilih banyak sekali pemilik toko permen dan membenci dokter gigi.

 

Memilih Pemimpin 

Dalam cara memilih pemimpin, saya harus kembali lagi ke pemikiran filsafat dari Plato mengenai negara ideal. Secara berurutan dari yang paling ideal, Plato membagi negara menjadi 5 jenis: Pertama, negara aristrokrasi. Yaitu sebuah negara yang dipimpin oleh para aristokrat atau kaum bangsawan. Kaum bangsawan yang dimaksud Plato ini bukan kaum bangsawan yang sebagaimana kini kita kenal. Titik berat mengapa kaum bangsawan saat itu adalah kaum yang paling unggul karena saat itu segala informasi terpusat di kerajaan. Akibat dari informasi yang terpusat itu, kaum bangsawan banyak yang menjadi cerdik pandai, cendekiawan dan akhirnya menjadi begawan yang memiliki kebijaksanaan tertinggi. 

Menurut Plato juga, negara aristokrasi tidak akan pernah terwujud. Karena para begawan yang memiliki kebijaksanaan tertinggi itu sudah meninggalkan urusan duniawi dan seringkali memilih menyingkir dari keramaian untuk menjadi pertapa. Kemungkinan apabila dipilih untuk menjadi pemimpin, begawan itu akan menjawab dengan kata-kata: "tidak, anda saja."

Kedua, negara timokrasi. Negara dipimpin oleh orang yang memiliki pangkat, jabatan dan kedudukan. Ketiga, negara oligarki yaitu negara dipimpin oleh orang yang memiliki pengaruh berupa kekayaan, politik, militer, atau ketenaran. Keempat, negara demokrasi di mana pemimpin suatu negara dipilih oleh orang banyak dan Kelima, negara tirani. Sebuah negara yang dipimpin oleh satu atau sekelompok orang yang bertangan besi.

Penempatan negara demokrasi di urutan keempat persis di atas negara tirani menunjukkan bahwa negara demokrasi, menurut Plato, jelas jauh dari kata ideal. Penempatan demokrasi yang hanya satu tingkat di atas tirani itu bukannya tanpa alasan. Apabila kita pelajari lebih lanjut tentang bentuk-bentuk merosot dari sistem negara, kita akan menemukan bahwa negara demokrasi memiliki potensi merosot menjadi dua bentuk: Jika rakyatnya tidak beres maka merosot menjadi negara anarki, atau jika pemimpinnya yang tidak beres maka merosot menjadi negara tirani.

Sebenarnya ada satu lagi bentuk negara yang tidak disebutkan oleh Plato. Menurut saya, Plato sengaja tidak menyebutkannya karena bentuk negara ini memiliki riwayat yang menakutkan bagi masyarakat Athena, suatu negara yang jauh lebih parah dari tirani: Demagogi.

Demagogi adalah bentuk negara yang dipimpin oleh seorang yang di depan rakyat bermulut manis, tetapi di belakang diam-diam berkhianat. Pemimpin yang main dua kaki. Pemimpin yang put your eggs into two or three baskets. Pemimpin yang menyeru perang padahal sebenarnya dia punya bisnis jual-beli senjata. Pemimpin yang membuat negaranya berutang padahal dia sendiri yang menerima bunga, entah dalam bentuk apa. Sederhananya, demagogi adalah pencitraan. 

Athena punya pengalaman menyakitkan dengan negara demagogi. Contohnya kisah tentang Alcibiades, seorang pemimpin dan panglima militer Athena yang licik, kaya, pandai bersilat lidah namun karismatik. Alcibiades dikenal sebagai pemimpin yang menghabisi hak-hak dasar warga negara dan membujuk Athena untuk melakukan pergerakan militernya di Sisilia dalam perang Peloponnesos melawan Sparta, yang berakhir dengan kekalahan telak Athena. Sejarah mencatat bahwa ternyata sebenarnya Alcibiades mengubah kesetiaan politiknya dan menjadi penasihat militer di Sparta.

Kembali lagi ke pertanyaan bagaimana memilih pemimpin jika negara Aristokrasi tidak mungkin terwujud? Selama ini saya menganut suatu paham untuk tidak memilih pemimpin yang sangat menggebu-gebu ingin dipilih. Dan belum lama ini saya baru tahu bahwa hal itu telah diajarkan oleh Nabi. "Jika ada pemimpin yang sangat menggebu-gebu dalam mencari kekuasaan. Jangan pilih dia." begitu tolok ukurnya.

Dalam perspektif Islam, pemimpin memiliki padanan dengan kata Imam disamping kata Rais, Amr, dan Khalifah. Di kampung-kampung, setelah orang-orang berkumpul di masjid untuk shalat berjamaah dan iqamah dikumandangkan, cara untuk memilih imam adalah dengan menawarkan kepada yang lain, tidak dengan mencalonkan diri sendiri. Orang-orang itu akan saling menawarkan "Monggo pak, dados imam", dan akan selalu dijawab dengan "Mpun, monggo, jenengan mawon" sambil menepuk bahu lawan bicaranya itu, seperti begawan aristokrat yang menjawab: tidak, anda saja.

Lalu jika hanya ada dua atau tiga calon pemimpin yang sama-sama menggebu-gebu, maka harus memilih yang mana? Kalau saya disuruh memilih untuk memakan salah satu diantara kotoran sapi atau kotoran kerbau, saya akan memilih berpuasa. Di sela-sela ibadah puasa itu saya akan beriktikaf di ruang paling pribadi dari benak kesadaran saya sambil bertanya-tanya : demokrasi macam mana yang melahirkan hanya dua atau tiga calon pemimpin dari 250 juta penduduk negara ini? Kita itu benar-benar punya hak pilih untuk memilih atau sekadar dipilihkan?

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu