x

Ilustrasi Dunia Digital. Karya: Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

Dea Tri Afrida

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Juni 2023

Senin, 26 Juni 2023 20:00 WIB

Sextortion: Kejahatan Seksual Digital Masa Kini

Sextortion merupakan kejatan seksual yang marak terjadi di ruang digital saat ini. Sekstorsi memiliki dampak yang serius bagi korban namun tidak ditangani dengan serius. Salah satu penyebab adalah adanya kekosongan hukum terkait sektorsi di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini, masyarakat dikejutkan dengan beredarnya video asusila artis tanah air yang disebarkan oleh pengguna akun twitter. Sebelum peristiwa ini, berdasarkan keterangan dari kuasa hukum artis yang bersangkutan, pada Oktober 2022 korban telah mengalami pengancaman dan pemerasan terkait video asusila dirinya yang akan disebarkan oleh pelaku jika ia tidak menyerahkan uang sebesar Rp 30 juta kepada pelaku.

Apa yang dialami oleh artis tersebut merupakan salah satu bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dikenal dengan istilah sextortion. Sextortion merupakan bentuk KBGO yang dilakukan dengan memeras korban dengan memanfaatkan foto atau video eksplisit milik korban yang didapatkan baik secara hacking, maupun diberikan secara langsung oleh korban atas dasar kepercayaan dalam suatu hubungan, dimana foto atau video tersebut lantas disalahgunakan oleh pelaku sekstorsi dengan memberikan ancaman guna memeras korban baik secara materil maupun secara seksual. (Jordy Herry Christian: 2020). Artis tersebut tentu bukan satu-satunya korban sextortion, dari tahun 2015 hingga April 2021 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah menangani 330 ribu kasus pornografi dan 23 di antaranya merupakan kasus pemerasan seksual (sekstorsi). (Dini Pramita: 2022).

Pelaku sextortion harus ditindak tegas, mengingat dampak perbuatannya yang sangat merugikan korban. Bukan hanya dirugikan secara materil, korban juga akan sangat dirugikan secara psikologis. Korban akan mengalami kecemasan, stres berkepanjangan, merasa bersalah dan malu seumur hidup, mengingat bahwa sekali video syur milik korban tersebar, maka penyebarannya menjadi tanpa batas, siapapun dapat menonton, mengunduh, dan menyebarkan ulang video syur tersebut, bahkan mungkin anak-cucu korban pun dapat menonton video syur tersebut. Beruntung jika korban tidak memilih untuk bunuh diri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dampak bagi korban sextortion yang begitu serius nyatanya tidak dibarengi dengan penanganan yang serius pula. Salah satu penyebab penanganan kasus sekstorsi yang belum maksimal adalah kekosongan hukum terkait pengaturan sekstorsi sebagai kejahatan seks digital masa kini. Sebelum diudangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, aparat penegak hukum dengan terpaksa harus menggunakan peraturan seadanya seperti KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE, dimana ketiga peraturan ini sejatinya tidak mampu menjangkau seluruh unsur perbuatan sextortion yang berimbas pada potensi ketidakadilan bagi korban. 

Payung Hukum Sekstorsi

              Selama ini, kasus sekstorsi yang terjadi di Indonesia kerap diselesaikan dengan menggunakan ketentuan KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus yang tergolong sekstorsi pada beberapa putusan pengadilan di Indonesia. Pada Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 87/Pid.B/2016/PN Sim, pelaku sekstorsi dengan motif memperoleh keuntungan ekonomi dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP terkait perbuatan percobaan pemerasan.

Pada Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 182/Pid.B/2018/ PN Smn pelaku sekstorsi dengan motif memeras korban secara seksual dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 29 UU Pornografi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP terkait perbuatan menyebarluaskan konten pornografi milik korban secara terus menerus dan Pasal 45B UU ITE terkait perbuatan mendistribusikan informasi dan/atau dokumen elektronik yang memuat unsur pemerasan dan/atau pengancaman yang ditujukan untuk menakut-nakuti secara pribadi.

Pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 42/Pid.Sus/2021/PN Mdn, pelaku sekstorsi dengan motif memeras korban secara ekonomi menyebarkan video asusila korban dengan membuat akun facebook palsu atas nama korban seolah-olah video tersebut disebarkan oleh korban sendiri, dijatuhi pidana  berdasarkan  Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU ITE terkait perbuatan memanipulasi informasi dan/atau dokumen elektronik, dimana seharusnya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (4) UU ITE terkait perbuatan pengancaman dan/atau pemerasan melalui media elektronik dengan motif ekonomi, dan Pasal 29 UU Pornografi terkait perbuatan penyebarluasan konten pornografi.

Dari tiga putusan pengadilan di atas dapat dilihat bahwa baik KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE belum spesifik dan memadai untuk mengkriminalisasi sekstorsi, sebab ketentuan UU Pornografi dan UU ITE yang hanya fokus pada perbuatan “mendistribusikan atau menyebarluaskan”. Penerapan ketentuan UU ITE dan UU Pornografi telah mengabaikan fakta bahwa korban telah diperas oleh pelaku yang menyebabkan kerugian materil dan immaterial bagi korban. Hadirnya UU TPKS menjadi secercah cahaya bagi gelap gulitanya penanganan kasus sekstorsi di tanah air selama ini. Meski tidak secara eksplisit disebutkan sebagai tindak pidana sextortion, unsur-unsur perbuatan sextortion dapat ditemukan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU TPKS yang mengatur tentang Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE). Adapun bunyi Pasal 14 UU TPKS, yaitu:

Pasal 14

(1) Setiap Orang yang tanpa hak:

  1. melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; dan/atau
  2. mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual;
  3. melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud:

  1. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau
  2. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Berdasarkan bunyi pasal tersebut tampak bahwa UU TPKS jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE. Hal ini tentu sangat membantu korban sebab jika hanya berlandaskan pada UU Pornografi maupun UU ITE dengan inti perbuatan terletak pada “pendistribusian”, korban hanya dapat melaporkan kasus tersebut jika video asusila miliknya telah disebarkan oleh pelaku, sementara dengan UU TPKS, korban sudah dapat melapor sejak pelaku mengancam korban akan menyebarkan video asusila korban yang diperoleh pelaku melalui perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan korban. Selain itu, pasal 14 UU TPKS juga mengatur mengenai motif pelaku yang tidak terbatas hanya untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebagaimana pemerasan yang diatur dalam KUHP, tetapi juga mengatur soal motif pelaku untuk tujuan seksual.

Ketentuan ini telah mengakomodir keunikan dari sextortion, dimana dalam sextortion tidak ada kepastian bahwa video asusila milik korban tersebut akan disebarluaskan oleh pelaku, sebab sebagian pelaku memang tidak menyebarluaskan video asusila tersebut tetapi hanya menggunakannya sebagai alat untuk mengendalikan perilaku korban, dimana hal ini jelas merugikan korban. (Roberta Ligget O’Malley & Karen M. Holt: 2022). Pelaku akan terus menerus mengancam korban untuk memenuhi keinginannya baik untuk memperoleh uang dari korban atau mendapatkan pelayanan seksual dengan menggunakan video asusila korban.

Kelemahan UU TPKS

Sayangnya UU TPKS belum mengatur terkait cara pelaku memperoleh video asusila yang dijadikan sebagai alat untuk mengancam dan memeras korban, dimana dalam beberapa kasus pelaku sekstorsi memperoleh video tersebut dengan cara peretasan atau dengan cara mengedit atau membuat gambar seksual palsu atau buatan untuk menempatkan wajah seseorang pada gambar/foto tubuh yang bernuansa seksual atau dikenal dengan istilah synthetic media/morphing (media buatan). Selain itu, UU TPKS juga luput mengatur soal impersonating atau meniru identitas orang lain seperti yang terjadi pada kasus sekstorsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 42/Pid.Sus/2021/PN Mdn dimana pelaku membuat akun facebook palsu atas nama korban dan kemudian menyebarkan konten pornografi korban melalui facebook palsu tersebut, seolah-olah korban sendiri yang menyebarkan foto tersebut.

Jika merujuk pada apa yang disampaikan oleh Powell, Henry, dan Flynn bahwa  sextortion bisa saja terjadi dalam kondisi dimana pelaku mengaku memiliki konten pornografi korban padahal tidak ia miliki untuk mengancam dan mengelabui korban. (Anastasia Powell, Henry, N & Flynn A: 2018), maka ketentuan UU TPKS tidak dapat digunakan untuk menangkap pelaku  sextortion, sehingga seharusnya terdapat penambahan delik pokok dari perbuatan sekstorsi. Kekurangan dalam rumusan perbuatan  sextortion dalam UU TPKS dapat dimaklumi mengingat kompleksitas dari sekstorsi yang terdiri dari beberapa lapisan perbuatan dengan sifatnya yang terjadi di ruang digital yang berkembang dengan sangat cepat, meski demikian UU TPKS merupakan suatu kemajuan yang sangat progresif dalam mengakomodasi pengaturan  sextortion.

Lahirnya UU TPKS pada 9 Mei 2022 menjadi dasar hukum materiil dan formil dalam penanganan kekerasan seksual yang sudah seharusnya segera digunakan oleh APH. Implementasi UU TPKS akan menjadi jalan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hukum tidak hanya mengatur tindak pidana kekerasan seksual konvensional tetapi juga mengatur tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Harapannya, pemerintah dan DPR dapat melakukan penyempurnaan terkait pengaturan sekstorsi dan dapat segera merampungkan peraturan pelaksana dari UU TPKS agar implementasi UU TPKS dapat berjalan dengan efektif sehingga dapat menciptakan keadilan dan kepastian hukum yang sebesarnya-besarnya bagi korban dan masyarakat seluruhnya.

Ikuti tulisan menarik Dea Tri Afrida lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler