x

Foto: A Rabin dari Wikipedia

Iklan

Aan Taupat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 Agustus 2022

Kamis, 20 Juli 2023 11:50 WIB

Palu-ku yang Mandul?

Bagaimana Pemerintah Kota Palu mengatasi gejala sosial dan kesenian di daerah? Bagaimana pula sang seniman merespon baik melalui pembacaan dan pemaknaan? Atau mereka merasa masa bodo saja?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai suatu isu rasanya sangat menarik bila hanya dilirik lalu kemudian dikedipkan mata, layaknya seorang bujang sedang merayu pujaan hatinya. Tapi akan hilang gairah ketika mereka sudah membicarakan keseriusan ke jenjang pelaminan dan perkawinan.

Begitulah kesenian. Apakah mesti mempertanyakan lagi, mengapa dan ada apa (gerangan) kesenian? Sebab rasa-rasanya kesenian sudah mulai kaku dan terbata-bata mengeja, membaca, memaknai, apalagi membicarakan dirinya sendiri. Seperti sudah tiada harapan berketurunan, seperti seorang yang mandul saja.

Pemain dan permainanya

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Derasnya keringat mengucur untuk membangun, untuk melakukan pembangunan tidak melulu berbuah hasil (kemajuan) tapi bisa jadi juga muncul hipotesis regresif (kemunduran). Hal inilah yang yang dialami, yang dirasakan (gerangan) kesenian yang ada di kota ataupun di pedesaan. Hal yang mempengaruhi yang demikian adalah antara lain pemisalannya:

1.    Adanya kemajuan dalam medan permainan-permainan yang dianggap modern, seperti Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, Sulawesi Tengah mengalokasikan dana sebesar Rp 6 miliar untuk suksesnya kegiatan Palu Sport Event (PSE).

https://sultengterkini.id/2023/05/23/luncurkan-pse-pemkot-palu-alokasikan-dana-rp-6-miliar/

2.    Medan permainan memerlukan tempat yang elegan dan puas. Meskipun didesak oleh pemukiman penduduk dan kepentingan pembangunan yang lebih genting. Seperti sumbangan dana 7 miliar untuk pembangunan taman di Kota Palu tersebut terdapat property sculptor atau patung atau tugu berbentuk lingkaran spiral yang dikelilingi kolam air melingkar serta catatan-catatan sejarah di Kota Palu.

https://hariansulteng.com/sumbang-dana-rp-7-miliar-rupiah-untuk-pembangunan-taman-nasional-palu-simbol-alfamidi-tidak-ada/

3.    Terjadinya pergeseran pandangan terhadap revitalisasi medan permainan seolah pelampiasan terhadap masyarakat dengan dalih bernada wajar. Seperti revitalisasi untuk tahap I Lapangan Vatulemo akan berlangsung pada Mei hingga Desember 2023. Pengerjaan dimulai pada bagian Timur hingga bagian tengah lapangan dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 9,097,900.000. Sedangkan tahap II akan berangsur mulai Januari hingga Juni 2024, pengerjaan dari tengah lapangan menuju bagian Barat termasuk pengerjaan pembangunan UMKM hingga Baruga. Tahap II kemungkinan agak besar karena lebih banyak pembangunan kurang lebih menghabiskan Rp15 Miliar.

https://palu.tribunnews.com/2023/05/23/revitalisasi-lapangan-vatulemo-palu-dimulai-tahap-1-habiskan-anggaran-rp-9-miliar#:~:text=Untuk%20tahap%20I%20revitalisasi%20Lapangan,pada%20Mei%20hingga%20Desember%202023.&text=Pengerjaan%20dimulai%20pada%20bagian%20Timur,menghabiskan%20anggaran%20sebesar%20Rp%209%2C097%2C900.000.

Dari uraian di atas bisalah disimpulkan sementara bahwa kesenian kita cukup rumit. Pantaslah hilang gairah, pantaslah (gerangan) mandul. Atau bahkan semacam rahasia untuk mengebiri kesenian. Sementangpun demikian, ini bukanlah masalah paling berat yang dihadapi oleh (gerangan) kesenian. Ada hal yang lebih mendasar lagi yang perlu dibenahi. 

Oleh karenan itu, bagaimana supaya ada semacam penyiasatan supaya keseninan kita tidak mandul atau bahkan dikebiri? Kesenian tidaklah barang mati yang membusuk jadi bangkai. Tetapi kesenian bisa berkembang dari situasi dan kondisi apapun, berusaha peka terhadap fenomena-fenomena yang ada di dalam maupun di luar kesenian itu sendiri. Di titik inilah beban dan peran para-Dewan Kesenian yang harusnya menjadi penyangga, hendaknya memiliki suatu dinamika, bukan menahan diri. Karena bagaimanapun kesenian akan dan selalu menjadi bagian dari masyarakat.

Sudah barang tentu kondisi masyarakat (yang katanya kaum seniman) akan ikut mempengaruhi dunia kesenian. Pertanyaan selanjutnya adalah sudah sejauh mana atau dimanakah posisi masyarakat (yang katanya kaum seniman) membaca-memahami dan peka merangsang terhadap gejala-gejala yang lahir dari proses berkesenian?

Sesungguhnya Ada hal yang lebih mendasar lagi yang perlu dibenahi. Misalnya, muncul usaha untuk mengubah dan memberi pandangan baru mengenai kesenian yang tentu saja tidak berdasar (hanya berpijak pada pengilhaman-pengilhaman masa lampau). Maka tidak heran, bila hari ini ramai disaksikan timbul fenomena dikotomi kesenian antar masyarakat (baca: yang katanya kaum seniman), sehingga saling bersikeras untuk mempertahankan pandangan masing-masing, mempertahankan kebenaran-kebenaran yang dianut sebagai kebenaran absolut dalam berkesenian atau bahkan tidak ada sama sekali keterbukaan -diskursus- dalam berkesenian.
Tentu tidak bisa mengharapkan (gerangan) kesenian yang sehat dan saling menerima bila tidak terjadi, dengan apa yang disebut seni kolektif.

Seni Kolektif?

Hari ini kepelakuan seni (yang katanya kaum seniman) semakin ramai diperbincangkan mengenai kerja-kerja yang katanya  kolektif. Istilah “kolektif” yang jamak digunakan oleh banyak kelompok seni (yang katanya kaum seniman) masa kini untuk menyebutkan diri mereka sebetulnya sepadan dengan “komunitas” akan tetapi dengan derajat, status dan pencapain kolektifitas yang lebih tinggi.

Kelompok atau sanggar, atau yayasan, atau komunitas, atau organisasi, atau dewan kesenian, atau apapun nomenklaturnya, kesemuanya merupakan sebuah wadah kerja sama, didalamnya skelompok orang (yang katanya kaum seniman) yang berusaha mendayagunakan semua sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan. Pertanyannya tujuan apa? tujuan yang mana? Tujuan yang bagaimana? Sekalipun terdapat jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang agaknya bisa diprediksi pasti bernada pembenaran buta, pembenaran yang bersensasi “angin lewat begitu saja” tentang bagaimana arah (gerangan) kesenian. 

Dewasa ini, ada pergeseran pola kehidupan dalam berkesenian. Maksudnya adalah orientasi (yang katanya kaum seniman) dalam menjalani hidup berkesenian. Anggapan tersebut muncul sebab ada gejala yang timbul, yang kian berkembang, bahwa kesenian menjadi murahan ditinjau dari beberapa medan. Pertama, kesenian yang mandul, tidak berketurunan, kalaupun berketurunan pastilah dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja, bukan hal yang luar biasa, mengapa? Sebab jika ia berketurunan tidak bisa menghidupi keturunanya, terbukti dengan penyedian anggaran yang tidak memadai. Makanya (gerangan) kesenian memilih untuk lebih baik mandul ketimbang berketurunan. Kedua, bukan hanya masalah biaya hidup dan dana penyelenggaraan kegiatan, melainkan dana yang di keluarkan oleh si seniman dan kelompok seniman untuk mengobati kesehatan (gerangan) kesenian yang mandul tidaklah memberi dampak yang buas. Ketiga, sementangpun ada kegigihan untuk peka terhadap kesenian tapi nyatanya hari ini keseninan masih dipandang sebelah mata, bahkan kadang kala tidak dipandang sama sekali.


Penjelasan-penjelasan di atas telah jelas dikemukakan bahwa ada suasana kerja kolektif dalam kesenian tidak menemu titik paling dasarnya yaitu fenomena mendikotomi kesenian. Hal ini lumrah terjadi karena mengabaikan hal yang paling dasar dalam pola kerja kolektif berkesenian, misalnya mengabaikan: 1) mengandalkan sosok individu maestro sebagai pusat otoritas dan pembuka akses terhadap sumber daya dan sumber dana yang diperlukan bagi keberlangsungan sanggar; 2) setiap seniman yang berhimpun di sanggar berlaku sebagai anggota yang belajar kepada sang maestro; dan 3) memiliki sistem pembagian kerja yang dikelola secara kekeluargaan. Kepelakuan seni, dengan demikian, memiliki empat ciri sekaligus: kekeluargaan, edukasional, hierarkis, dan berfungsi sebagai unit ekonomi.


Uniknya, dalam berkesenian, sangat biasa apabila menemukan penolakan (ketidakterbukaan) atau terjadi individualisme dalam proses berkesenian yang sesungguhnya tidak terelaborasi dalam diskursus yang sehat tentang ruang alternatif yang menandai kehadiran kolektif-kolektif seni itu sendiri. “ruang alternatif” yang dimaksudkan misalnya, apa yang diketengahkan adalah pertentangan antara ruang arusutama dalam upaya untuk menemukan titik temu untuk menjaga kemandulan (gerangan) kesenian.


Mengapa kesenian dipandang murah dan remeh hari ini? Atau mengapa kesenian jadi mandul dan bahkan ingin dikebiri hari ini? Salah satu sebabnya adalah karena dampak pola pikir pelaku (yang katanya kaum seniman) itu sendiri. Pihak lain dengan pandangan (yang katanya kaum seniman) bahwa kesenian hanya bersifat komersial dan lain pihak dengan pandangan ruang alternatif yang lebih eksperimental atau bahkan muncul pihak baru dengan pandangan bahwa kerja kolektif dalam kesenian cenderung mengartikan sebagai suatu praktik yang didasari semangat bermain, sebagai pemain semata, tanpa sadar bahwa telah dipermainkan. Misalnya pihak yang mau diarahkan begitu saja oleh birokrasi  (pemerintah) bahwa dunia kesenian adalah dunia dagang, artinya dalam suatu kegiatan kesenian, semangat kualitas itu muncul dan menonjol kalau untuk kepentingan dagang dan pasar.


Kesenian itu bukan sekadar dominasi modal, pencapain, atau bahkan kerja-kerja kolektif sekalipun, tetapi juga kepada pola pikir dan pengetahuan pelaku (yang katanya kaum seniman) terhadap kesenian itu sendiri. Supaya kesenian tidak hanya bicara tentang kepentingan komersial, ivent, panggung, pertunjukan dan seterusnya. Akan tetapi lebih dari itu, bagaimana kesenian memiliki keutuhan dirinya sendiri, ada semacam kualitas yang didasari oleh pengetahuan dalam proses  ber-kesenian.


Kesenian akan selalu mendapatkan tantangan dan masalahnya sendiri, mandul misalkan. Tinggal bagaimana kita (yang katanya kaum seniman) mempertahankan-memperlihatkan kualitas dalam ber-kesenian?

Ikuti tulisan menarik Aan Taupat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu