x

Dokumentasi Pribadi Penulis

Iklan

fiezu himmah

Penulis Indonesiana yang gemar jalan, dan menyelami pengalaman hidup melalui karya seni.
Bergabung Sejak: 8 Juli 2023

Senin, 24 Juli 2023 18:37 WIB

Menangkap Gambar, Menangkap Jiwa

Foto diibaratkan pengabadian memori yang terus dirakit untuk melahirkan keutuhan sebuah cerita. Tapi seberapa besar peran fotografer dalam menentukan perspektif dan keberpihakannya saat mengambil foto?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ia bagai bagian sebuah pengabadian memori yang terus dirakit. Untuk melahirkan keutuhan dari sebuah cerita, barangkali hingga jadi saksi perjalanan hidup. Ia terus dirakit sebanyak mungkin, sesering bertemu keindahan, sesering pertemuan yang melahirkan peristiwa. Ia bernama, "foto". Tapi apakah yang tertangkap semuanya benar-benar mampu bercerita? Sekilas berbicara tentang foto terdengar sederhana karena ia adalah sesuatu yang sering kita lakukan. Tapi biasanya justru hal-hal yang sederhana ini punya cara yang sulit jika ditanya apa maknanya.

Foto terakhir apa yang kau abadikan dalam ponselmu? Kenapa foto itu bisa tercipta? Alasan-alasan bagaimana yang memengaruhi keputusanmu untuk mengambil foto dengan "angle" seperti itu? Apa ngga sih alasan dibalik dari sekedar "pengen aja"?

Pertanyaan di atas membombardir kepalaku usai berpulang dari Yogyakarta beberapa waktu lalu. Jika dibandingkan kunjunganku pada Yogya sebelumnya di tahun 2018, kulihat gambar yang kuambil kali ini dalam ponsel sangatlah sedikit, padahal durasi kunjungnya lebih lama. Kalau di tahun 2018 lalu perhitunganku bisa lebih dari 50 foto yang terambil selama 3 hari, tapi kali ini hanya ada 20 foto selama 10 hari. Bagaimana rasanya? Tentu berbeda. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perbedaan termudah yang ditemukan mungkin dari segi waktu menjadi lebih efisien. Sepulang dari perjalanan, ku tak perlu lagi berlama-lama melihat hasil foto yang tertangkap lalu memindahkannya menjadi peti digital baru pada laptop, yang entah kapan semuanya akan kugunakan lagi. Namun lebih dari sekedar menghemat waktu, ada perbedaan fundamental tentang makna foto yang begitu membekas.

 

Tentang Menyadari Posisi

Ini menjadi sebuah bagian yang menarik ketika analisa sebuah foto disandingkan dengan pertanyaan, 

dimana posisi si fotografer? 

kepada siapa keberpihakannya? 

Fotografer di sini maksudnya adalah seluruh manusia. Tidak ada pengkategorian fotografer F dengan huruf besar atau f dengan huruf kecil. Siapa saja yang bisa memproduksi foto apalagi punya media untuk mempostingnya dapat dipertanyakan posisinya. Namun bukan berarti menjustifikasi secara pasti. Bukan pula hanya fotografi jurnalistik yang mesti dikritisi dimana keberpihakannya saat mempublikasikan sebuah berita untuk konsumsi dalam volume besar. Itu isu yang lebih rumit dan akan kubahas kapan-kapan aja kalau ingat dan mau. 

Pertanyaan berikutnya yang ingin diproduksi kali ini ialah, dengan canggihnya keluaran ponsel terkini, lalu diimbangi dengan penggunaan media sosial yang semakin mudah, apakah proses memposting foto kini juga jadi hal yang begitu gampang?

Ada dua kalimat yang paling kuingat tentang fotografi, begini kurang lebihnya 

“dimana fotografer berdiri sebenarnya adalah sebuah bentuk keberpihakan” dan “fotografi adalah media yang tidak netral”. Penolakan adanya subjektifitas memang terasa cukup kuat untuk menentang kalimat-kalimat itu. Namun sepertinya aku salah sangka dan salah memahami maksudnya. 

Penolakan itu dijawab sendiri ketika aku mulai mengingat bagaimana proses-proses lahirnya foto yang kuciptakan. Salah satu yang mungkin mudah kuceritakan ialah ketika aku tengah berlibur di suatu pantai. Pertanyaannya, kenapa ya dari sekian banyak pemandangan, aku lebih memilih memposting peristiwa hilangnya matahari (senja)? Padahal kalau diingat-ingat di sana ada peristiwa lain yang kupotret, seperti papan nama pantai, peristiwa payung-payung pantai tanpa penghuni, punggung bapak nelayan yang sedang membersihkan perahunya, spot seflie buatan, gerobak cilor yang ditinggal sendiri pemiliknya, dan sampah-sampah yang berserakan. Apakah penggambaran pantai hanya tentang air laut, ombak dan senja saja? 

Sebenarnya tidak. Mungkin bisa jadi karena aku yang terlalu sibuk dengan diriku sendiri, berpihak pada apa yang aku inginkan dan apa yang ingin penonton media sosialku lihat. Padahal aku sendiri punya peran penting atas media yang kubangun, bukan sekedar alat berkomunikasi atau hiburan semata. Tapi ia bisa saja menjadi alat informasi yang tak disadari berguna tentang bagaimana orang memandang. 

Kemungkinan lain yang begitu besar berpengaruh bisa saja karena tubuhku merasa sempat turut terisolir jika nantinya foto yang terposting tak sesuai dengan pakem-pakem estetik yang dinilai masyarakat Indonesia kita sebagai masyarakat yang visual. Sehingga ada hal-hal fundamental lain yang terlupa atau bahkan sengaja dilupakan, seperti siapa atau apa subjek dalam foto, konteks apa yang hadir bersamaku saat itu, perasaan dan informasi apa yang mau dihasilkan, hingga lebih dalam stereotip dan hal apa yang sebenarnya mau diafirmasi dari postingan itu? Tuh kan ruwet ya

Tentang Menaruh Diri 

Salah satu hal yang kusyukuri dalam hidup adalah ketika masih mampu bertemu orang-orang dengan kemampuan menjadi pengingat yang luar biasa. Beberapa hari yang lalu pada pertemuan kelas teater, Kak Iswadi Pratama sempat bilang begini berangkat menggunakan kutipan kata-kata dari Al Pocino

“kalau kau masih hanya mampu menangkap gambar, belum menangkap jiwa, berarti kau belum punya film”. 

Ternyata mengambil sebanyak-banyaknya foto bukanlah berarti menaruh harapan pada sebuah alat untuk menjadi pengganti memori manusia. Ia justru dapat menjadi cerita yang menyedihkan jika file-file dalam laptop atau ponsel tiba-tiba rusak. Tapi lebih dalam, foto berbicara bagaimana kita menaruh diri kita sendiri, seberapa tajam kemampuan proses membaca fenomena kita menjadi terasah, termasuk seberapa jauh kita mampu hidup pada posisi kita berdiri saat itu. Ia menjadi bagian dari proses dan melihat jiwa dalam tubuh. Penerapan sederhananya sama seperti ketika aku mengunjungi Yogyakarta di 5 tahun lalu dan sekarang. Eksperimen ini menjadi lebih menakjubkan ketika dua perbedaan mendasar dirasakan. 

Percobaan 1 (Yogyakarta 5 tahun yang lalu). pergi ke suatu tempat, mengabadikan sebanyak-banyaknya sudut indah. Pengambilan foto berangkat dengan ketakutan momen ini hanya akan terjadi sekali. Ada harapan koleksi foto bisa dinikmati di masa depan untuk diceritakan ke anak cucu (jadi punya cerita gitu lho)

Percobaan 2. pergi ke suatu tempat, mengamati fenomena yang sedang terjadi lebih dalam, menikmati interaksi atau momen sunyi yang terjadi, lalu selektif memilih 1-3 sudut yang akan diabadikan.

Aktivitas percobaan kedua pada proyek pribadi ini ternyata lebih tidak mendistraksi proses mengingat. Percobaan 2 mulanya tak disadari malah seakan menindas kepercayaan diri atas ketakutan-ketakutan yang sebenarnya belum terjadi. Pemrosesan emosional dapat lebih berjalan karena tidak lagi terbagi fokus dengan alat yang bernama kamera. Dan ketika secara runtut galeri foto tengah dilihat, ia lebih mudah mengetahui seberapa jauh tubuh tengah berproses kala itu karena jenis foto yang didapat akhirnya berbeda dari tahun ke tahun. Jumlah produksi foto yang diminimalisir akhirnya lagi akan meleburkan pertanyaan-pertanyaan seperti “angle mana yang lebih bagus buat dipost ya?” dengan “foto mana ya yang lebih punya cerita?”

Potret meja makan dalam cover tulisan ini misalnya. Waktu itu aku tengah berkunjung ke ruang pameran seni di Sarinah, Jakarta bersama temanku Arini. Aku melihat Arini mempunyai arah jalan yang berbeda termasuk pilihan foto-foto yang ia hasilkan juga cukup berbeda denganku. Hal ini karena kita berbekal dengan pengalaman-pengalaman dan perasaan yang berbeda. 

Dari berbagai sajian pameran yang dihadirkan, mataku memilih meja makan ini untuk diabadikan. Ia terlihat runtuh, tak utuh, seketika ada peristiwa di atas meja makan yang membuatku rindu, namun ada pula pilu yang mempertanyakan peristiwa apa yang menghancurkan meja makan ini? Apa kira-kira? 

Lalu aku bergerak menuju samping karya seni ini untuk membaca maksudnya. Ternyata, meja makan ini ialah bagian dari karya Maharani Mancanagara yang berjudul Sasana Gelung. Ia bermaksud mengolah material alam menjadi benda, mulai dari proses yang tak utuh dan memahami fungsi kebendaan. Ia berupaya mendedahkan siklus perjalanan produksi benda yang tidak melingkar sempurna. “Karya yang hebat!” Pekikku dalam hati. Akhirnya foto meja makan yang kuambil ini tidak hanya mengingatkanku atas perasaan dan pengalamanku sendiri, tapi ia telah lahir sebagai pengingat fenomena atas fungsi kebendaan. Termasuk nilai dari setiap foto yang kuambil.

sudut-sudut yang tak dapat lagi berbicara

menjadi indah dengan memeluk kuat akar kisahnya

pada peristiwa apapun yang seakan mustahil terlahir kembali

hati yang ingin merawatnya ialah sebaik-baiknya ingatan



*Terima kasih untuk Kak Wid, Kak Ben, Kak Rara, yang telah jadi pengantar untuk merawat ingatan-ingatanku. Lahirnya tulisan ini menjadi jejak pertemuan abadi bersama Arkademy Project dalam kelas fotografi kritis beberapa waktu lalu. ;)

Ikuti tulisan menarik fiezu himmah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler