x

Pipa Minyak TAZAMA milik Zambia dan Tanzania yang telah berumur lebih dari 50 tahun ( sumber Patrick J. Enders)

Iklan

Asyadillah Adrian Althaf

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Juli 2023

Selasa, 25 Juli 2023 17:57 WIB

Sengketa Indonesia dan Uni Eropa di WTO


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel terbesar di dunia, menjadikan produk tersebut sebagai komoditas utama ekspor pertanian Indonesia. Sejak diterbitkannya kebijakan biofuel melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2006 mengenai pengadaan dan penggunaan biofuel, produksi biodiesel Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 2008, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan mandatori mengenai pencampuran biodiesel melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 32 Tahun 2008, yang terakhir kali direvisi melalui PERMEN ESDM No. 12 Tahun 2015 yang mewajibkan untuk meningkatkan campuran wajib biodiesel dari 10% menjadi sebanyak 15% untuk keperluan di sektor transportasi dan industri, serta sebanyak 25% untuk sektor pembangkit tenaga listrik. Hal ini dilakukan seiring dengan upaya Indonesia yang berusaha mengurangi konsumsi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta mendorong penggunaan dan pemanfaatan energi terbarukan.

 Perkembangan dalam produksi serta konsumsi biodiesel di Indonesia juga tak dapat terlepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan subsidi untuk biodiesel dan produk turunannya melalui CPO Supporting fund. Dana program ini berasal dari pungutan ekspor atas CPO dan produk turunannya sebesar 50 USD per ton yang masuk ke pasar ekspor. Hal ini lah yang menyebabkan meningkatnya produksi biodiesel di Indonesia dan tentunya meningkatkan kinerja ekspor yang sangat pesat. Untuk itu produk turunan minyak sawit merupakan salah satu komoditas terpenting di Indonesia sebagai penghasil devisa yang menggerakkan perekonomian negara.

Salah satu tujuan ekspor terbesar ke-2 Indonesia adalah Uni Eropa. Namun untuk melindungi produsen domestiknya, Uni Eropa menerapkan hambatan akses pasar terhadap produk biodiesel Indonesia berupa pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD). Dumping diartikan sebagai sebuah praktik dagang di mana eksportir komoditi di pasaran internasional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di pasar domestik, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan menguasai pasar di luar negeri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

GATT melalui Pasal IV memberikan negara-negara peserta wewenang untuk menerapkan pungutan anti-dumping (anti-dumping duty) kepada negara yang telah melakukan praktik dumping atas komoditi ekspornya. Anti-dumping duty hadir dalam memberikan proteksi kepada industri domestik dari dampak merugikan dari praktik diskriminasi harga secara internasional yang tidak adil. Namun, anti-dumping duty hanya bisa diberlakukan jika telah dibuktikan bahwa dampak dari praktik dumping tersebut mengancam maupun telah menimbulkan kerugian material terhadap pasar dan industri domestik.

Penerapan BMAD yang dilakukan Uni Eropa yang didasari atas tuduhan dumping ini yang telah melemahkan kinerja ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Produk biodiesel Indonesia dikenakan bea masuk anti-dumping sebesar 76,94-178,85 Euro per ton-nya, dengan margin dumping sebesar 8,8% - 23,3%. Hal ini mengakibatkan nilai ekspor biodiesel Indonesia mengalami penurunan tajam sebesar 72,34% atau turun dari $635 juta pada 2013 menjadi hanya $9 juta pada 2017.

Untuk itu, berdasarkan atas praktik dumping yang dituduhkan oleh Uni Eropa terhadap produk biodiesel, Indonesia berusaha mencari keadilan atas permasalahan ini dengan mengajukan sengketa biodiesel ke WTO. Indonesia memohon untuk diselesaikan melalui tahap konsultasi ke DSB sebagai langkah pertama dari prosedur penyelesaian sengketa WTO pada 10 Juni 2014. Indonesia menilai kebijakan anti-dumping yang diambil oleh Uni Eropa mencerminkan ketidakadilan dan inkonsistensi dengan Anti-Dumping Agreement (Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994). Dalam Pasal 1 Anti-Dumping Agreement disebutkan bahwa kebijakan anti-dumping hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu yang diatur dalam Pasal VI GATT dan sesuai dengan investigasi yang dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian ini.

Menurut General Agreement on Tarriffs and Trade, Dumping adalah suatu keadaan yang mana suatu produk dimasukkan ke dalam pasar negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal (less than fair value). Dengan kata lain suatu produk dijual di suatu pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga barang sejenis di pasar domestiknya sendiri atau di pasar negara ketiga.

Dumping tak sepenuhnya dilarang oleh WTO karena negara importir diperkenankan untuk mengambil langkah tertentu dalam memproteksi industri domestik dari kegiatan dumping yang merugikan. Dumping yang dilarang WTO adalah dumpinya yang yang menyebabkan kerugian materil (material injury) di negara importir. Pasal yang membahas tentang dumping ada pada pasal VI ayat 1 dan 2 GATT.

Dispute Settlement Body WTO termasuk ke dalam lembaga peradilan khusus di bawah kerangka GATT/WTO yang berwenang menyelesaikan sengketa perdagangan internasional antara negara-negara yang menjadi anggotanya. Dalam Kasus ini WTO berperan sebagai forum negosiasi dalam skala global melalui serangkaian proses penyelesaian sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan di dalam DSU. WTO sebagai forum atau rezim internasional yang khusus menangani sengketa dalam dunia perdagangan di nilai efektif karena membantu pihak-pihak terkait yakni Indonesia dan Uni Eropa dalam penanganan kasus sengketa yang dimulai dari tahap konsultasi hingga pembentukan panel yang akhirnya sampai pada hasil putusan dan juga rekomendasi dari panel.

Penyelesaian dari kasus ini adalah Panel memutuskan Uni Eropa bersalah karena dalam menerapkan BAMD pada produk biodiesel Indonesia, Uni Eropa terbukti melanggar beberapa ketentuan GATT dan juga Anti-Dumping Agreement. Yang mana Uni Eropa terbukti keliru dalam menetapkan harga normal biaya produksi, batas keuntungan, harga ekspor, hingga keliru dalam menentukan margin dumping. Karena hal inilah Indonesia tak terbukti bersalah karena melakukan dumping.

 

Ikuti tulisan menarik Asyadillah Adrian Althaf lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB