x

Lukisan Bisma

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Sabtu, 29 Juli 2023 10:47 WIB

Lahir dan Matinya Dewabrata

Sebuah ironi, ia berkorban agar tidak terjadi perpecahan. Namun cucu-cucunya, Pandawa dan Kurawa memicu perang terbesar dalam sejarah pewayangan. Ia pun harus mati mempertahankan kesetiaan. Bukan kepada kebenaran, tetapi kepada sebuah negara yang bernama Hastinapura.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pada mulanya ada delapan Wasu, dewa-dewa yang mewakili unsur alam semesta. Mereka adalah Agni-Api, Phrtiwi-Tanah, Bayu-Angin, Antariksha-Atmosfer, Aditya-Matahari, Dyahu atau Phrabasa-Langit, Chandra-Bulan, dan Dhruwa atau Nakstrani-Gugusan Bintang. 

Syahdan, di suatu pagi, Dyahu dan istrinya sedang berjalan-jalan di sebuah padang rumput yang luas. Di tengah jalan, istrinya melihat seekor sapi liar yang sangat menarik hati. Warnanya putih berkilau bak mutiara. Kulitnya bersih mengkilat tanpa noda. Ia pun meminta suaminya, sang Dewa Langit, untuk menangkap sapi itu. Demi rasa cintanya, sang suami pun menurutinya. Ia jerat sapi putih itu dan membawanya pulang. Namun alangkah sial, ternyata sapi itu bukanlah sapi liar tetapi sapi suci, Nandhini, milik seorang begawan bernama Rsi Wasistha.

Tidak terima dengan pencurian yang dilakukan Dyahu, Rsi Wasistha menghadap Batara Indra agar bersedia menghukumnya. Wasistha memohon agar Dyahu dapat merasakan penderitaan dan kesusahan manusia, seperti yang dirasakan Rsi Wasistha. Ia menuntut agar ketujuh Wasu lainnya juga dihukum. Dyahu dihukum karena mencuri sedangkan ketujuh Wasu lainnya dihukum karena mereka diam saja padahal mereka mengetahui aksi pencurian yang dilakukan saudaranya itu. Di hadapan Batara Indra, para Wasu bersedia untuk menjalani hukuman kehidupan sebagai manusia asalkan apabila mereka meninggal, mereka akan bebas dari siklus reinkarnasi dan langsung menjadi dewa seperti semula. Batara Indra pun menyetujuinya.

Saat turun ke Madyapada, dunia manusia, para Wasu itu berjumpa dengan seorang dewi. Mereka menjelaskan bahwa mereka akan dihukum untuk menjalani kehidupan sebagai manusia. Tak disangka, ternyata sang dewi juga sedang dihukum karena terpikat oleh pesona dari Raja Mahabhisak. Menurut Batara Indra, sebagai makhluk kahyangan, tidak seharusnya ia terpesona oleh wajah manusia. Maka untuk menebus kesalahannya, ia harus menjelma menjadi manusia dan menikahi reinkarnasi dari Raja Mabishak, yaitu Prabu Sentanugenerasi ke sembilan belas wangsa Bharata, penerus dinasti Kurudan memberikannya keturunan.

Setelah mengetahui penjelasan masing-masing, akhirnya mereka bersepakat untuk bekerjasama. Delapan Wasu tersebut akan menjadi anak-anak sang dewi dan harus segera dibunuh. Dengan begitu hukuman para Wasu untuk menjadi manusia sebenarnya sudah terpenuhi dan hukuman sang dewi untuk memberikan keturunan Prabu Sentanu juga terpenuhi.

Di suatu senja, saat Prabu Sentanu duduk di tepi sungai untuk melepas lelah, muncul seorang wanita dari dalam air. Sinar matanya bak cahaya rembulan. Lembut kulitnya bagaikan batu pualam. Tidak pernah sang prabu menjumpai wanita secantik itu. Ia memperkenalkan diri dengan nama Gangga. Sejak saat itu sungai tersebut dinamai dengan namanya. Tidak berapa lama, Sentanu melamarnya untuk dijadikan permaisuri. Gangga bersedia dengan satu syarat, Prabu Sentanu tidak akan mempertanyakan apa yang akan dilakukan Gangga terhadap anak-anaknya. Karena sudah dimabuk asmara, tanpa pikir panjang Prabu Sentanu pun mengiyakan.

Sebanyak tujuh putra telah lahir dari rahim Gangga. Setiap anak yang lahir, ia membuangnya ke sungai. Begitulah yang ia lakukan sejak kelahiran anak pertama. Pada waktu Gangga melahirkan anak kedelapan, Prabu Sentanu sudah tidak kuat menahan diri melihat kekejaman istrinya. Ia bertanya mengapa anak-anaknya harus ditenggelamkan ke sungai. Gangga kemudian menyampaikan kisah para Wasu yang minta tolong kepada dirinya agar mereka tidak usah berlama-lama hidup di dunia. Sedangkan bayi kedelapan tidak dibuang ke sungai dan harus hidup di dunia lebih lama karena ia adalah titisan Dyahu, Wasu yang paling bertanggung jawab atas dicurinya sapi Resi Wasistha. 

Dan karena Prabu Sentanu telah melanggar janjinya, maka Gangga meninggalkannya, kembali ke kahyangan. Ia terbang dengan menggendong anak ke delapan. Ia berjanji kepada Prabu Sentanu akan mengembalikan anak itu jika anak itu telah selesai menerima pendidikan dari para dewata.

Setelah dewasa, anak kedelapan tersebut dikembalikan kepada Sentanu. Dewa-dewa di kahyangan memberinya nama Dewabrata yang berarti "saudara para Dewa". Nama itu disematkan kepadanya karena kesaktiannya setarabahkan melebihikesaktian para dewa. Bahkan jika laskar dewa dan laskar asura bergabung untuk mengalahkannya, sungguh mereka tidak akan mampu, sekalipun laskar itu dipimpin langsung oleh Batara Indra, sang Dewa Perang. Bahagia hati Prabu Sentanu melihat putranya yang kini telah dewasa kembali dengan kesaktian yang luar biasa. Dewabrata menjadi anak kesayangannya. Ia adalah putra mahkota yang digadang-gadang akan menggantikan ayahnya dan menjadi raja selanjutnya. Raja dari sebuah kerajaan besar yang bernama Hastinapura.

Setelah sekian lama ditinggalkan Gangga, Sentanu akhirnya jatuh cinta kepada seorang putri nelayan bernama Setyawati. Ia bertemu dengannya di atas perahu saat menyeberangi sungai Yamuna. Setyawati ini merupakan seorang janda yang telah berputra Abyasa atas perkawinan sebelumnya dengan Rsi Parasara. Ia hanya mau kawin dengan Sentanu, apabila putra yang dilahirkannya kelak menjadi putra mahkota. Diambang kebingungan, Sentanu akhirnya menolak. Karena yang berhak menjadi putra mahkota adalah anak kesayangannya, Dewabrata.

Setelah kejadian itu, setiap hari Prabu Sentanu mengurung diri di kamarnya. Sudah berminggu-minggu ia tidak bicara kepada siapa pun dan tidak makan apa pun. Lama-kelamaan kesehatan Sentanu pun menurun. Tidak tega melihat ayahnya yang sakit-sakitan, Dewabrata berangkat menuju desa nelayan dan bertemu Setyawati. Setelah mengetahui maksud keperluannya, ia diantarkan untuk menemui Dasabala, ayah Setyawati. Atas nama ayahnya, Dewabrata melamar perempuan itu. 

Dasabala memberikan syarat yang sama, yaitu keturunan Setyawatilah yang akan menjadi putra mahkota. Dewabrata menyanggupinya, ia rela tahta putra mahkota jatuh ke anak-anak Setyawati. Namun, Dasabala tidak percaya begitu saja. Kalaupun Dewabrata bersedia mengalah, maka anak keturunan Dewabrata tetap dapat menuntut haknya untuk menjadi raja Hastinapura.

Dewabrata adalah seorang kesatria yang berjiwa besar, demi baktinya kepada orang tua dan juga terhadap Hastinapura, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, dia mengambil sumpah selibat. Di depan Dasabala, disaksikan oleh dewata, ia bersumpah tidak akan kawin seumur hidupnya. Guntur bergemuruh, kilat menyambar bertubi-tubi seakan langit akan pecah, tanda bahwa dewata memberikan restunya. Sumpah itu disebut bishan-pratigya, sebuah janji untuk tidak akan ternoda. 

Pengorbanan Dewabrata tersebut membuat ia dijuluki dengan nama Bisma, yang berarti "ia yang luar biasa berat sumpahnya". Pengorbanan yang begitu besar itu membuat seluruh penghuni kahyangan terharu. Ia pun diberi anugerah untuk bercengkerama dengan Kala, manifestasi sang waktu, sehingga dapat menentukan sendiri kapan ajalnya tiba. 

Dalam Mahabharata, dengan tubuh dipenuhi anak panah Arjuna, Bisma masih tetap hidup sampai pihak Kurawa dikalahkan dan Pandawa beroleh kemenangan. Ia memilih meninggal ketika uttarayana, saat matahari terbit dari sebelah utara. Sebuah tanda permulaan zaman baru, zaman kemakmuran ketika peperangan telah tergantikan dengan secercah sinar harapan.

 

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB