x

Ilustrasi Anak Indonesia. Foto: Freepik

Iklan

Aslan Rakhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Sabtu, 12 Agustus 2023 10:31 WIB

Ilalang

Ilalang hidup bersama ibu dan adik yang tidak sepenuhnya waras. Ia mencoba mencari tahu tentang masa lalu sang ibu dan berakhir pada sebuah keadaan yang tak pernah ia duga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gadis kecil itu berlari dalam embun yang masih memagut pagi, lima menit lagi jika ia belum sampai di lokasi menoreh, upahnya akan dipotong. Ilalang memacu kakinya untuk berlari lebih cepat, mata sialan yang entah mengapa tidak terbangun diwaktu yang lebih awal membuatnya terlambat subuh ini.

“Kau tidak bisa datang lebih pagi, Ilalang?” suara Suria menyentuh gendangnya saat ia memasuki petak sembilan, tempat ia harus menyadap pagi ini.

Ilalang memilih diam dan menghitung jarak dari Suria, lalu mengeluarkan pisau dan mulai menyadap. Ia harus mendapatkan lebih dari sepuluh lajur hari ini atau upahnya akan dipotong dan ia tidak bisa membeli beras untuk keluarganya besok. Hanya tersisa satu canting kecil untuk makan hari ini di dalam gentong berasnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak peduli dengan keringat dan kakinya yang terasa kebas, Ilalang bekerja hingga hari perlahan mulai terang. “Kau belum makan Ilalang?” suara mandor mereka menggema diantara pohon-pohon karet. Ilalang menoleh dan tersenyum setipis embun untuk menjawab pertanyaan itu.

“Ini, makanlah,” Mandor memberikan sebuah bungkusan kecil padanya, yang diterima gadis kecil itu dengan sedikit enggan.

Setelah ini, biasanya akan ada yang menyindir atau membicarakan sarapan yang tak seberapa itu. Menolaknya pun Ilalang tak bisa, karena rasanya seperti menolak kebaikan atau rezeki. Tapi untuk menerima apalagi menelannya, rasanya sangat berat. Karena ada saja mata dan mulut yang akan menjadikan sarapan itu sebagai bahan gunjingan.

“Ha, setiap pagi kau dapat sedekah ya. Sama seperti ibumu, sekalipun dalam baju kumal dan kotor kalian selalu bisa menarik perhatian para mandor.”

Apa yang ia cemaskan pun segera menyambangi telinga Ilalang. Suria entah mengapa tiba-tiba sudah ada di belakangnya dan menatap bungkusan kecil di tangan Ilalang dengan mata mencibir. Jangan ditanya bentuk mulutnya saat itu, seperti ikan mujair yang mangap-mangap menghirup udara dari permukaan air.

“Kalau Mak Tua nak, ambillah,” ujarnya pelan, mendorong bungkusan itu ke tangan Suria.

“Kau pikir aku iri? Hanya sarapan yang tidak seberapa aku masih sanggup membelinya. Aku hanya heran, kumal kotor dan bau, tapi kau masih bisa menarik perhatian mandor itu. Persis seperti ibumu, atau mungkin kau juga sudah ditarik ke dalam semak-semak seperti ibumu dulu?”

Kata-kata super menyakitkan yang tiap hari ia dengar, entah mengapa Suria begitu peduli dengannya. Peduli untuk hal-hal buruk, peduli semata untuk menumpahkan kebencian yang Ilalang sendiri tidak tahu mengapa selalu mengarah padanya.

“Mungkin Mak Tua bisa bertanya pada Mandor,” jawab Ilalang, ia meletakkan bungkusan itu di kaki Suria dan menjauh dari perempuan itu sebelum mendengar lagi kata-kata yang selalu melukai batin terjauhnya.

“Huh, perempuan kotor memang hanya akan melahirkan perempuan kotor juga,” decih Suria sembari memungut bungkusan  itu dan pergi. Mendengus jengkel pada punggung Ilalang yang berjalan menjauh seraya menghitung jumlah lajur yang sudah ia selesaikan.

Menjelang siang, perut Ilalang mulai ramai, sepertinya seluruh cacing di dalam ususnya berteriak serentak. Lapar. Ia mengambil sebongkah ubi jalar yang sempat ia rebus semalam. Menelannya beberapa gigitan dan menyimpan kembali ubi itu kebalik bajunya yang tidak seberapa bersih itu. Membungkusnya hati-hati agar tidak terkena debu dari bajunya. Setidaknya, itu cukup untuk mengganjal rasa lapar hingga siang nanti.

Gadis itu kembali melanjutkan pekerjaannya hingga suara adzan Zuhur berkumandang. Ia membereskan peralatannya dan berlari pulang. Penting baginya untuk sampai tepat waktu, agar ia bisa menanak nasi untuk makan siang Ibu dan adiknya, Bahar. Sebelum kemudian kembali lagi ke perkebunan untuk membersihkan lahan atau membantu di petak entres.

Dada Ilalang berdentum tak nyaman ketika ia mendengar suara Bahar berteriak-teriak. Entah siapa yang mengganggunya, selalu saja ada yang  usil mengusik adiknya. Ilalang menarik nafas ketika melihat beberapa anak tertawa dan menunjuk-nunjuk Bahar yang melompat-lompat marah. Seseorang mengikatnya di pohon nangka di depan rumah, mungkin karena ia berteriak-teriak diganggu entah sudah berapa lama.

“Pergilah,” ujar Ilalang, berusaha terdengar galak pada anak-anak itu. Anak-anak yang sebenarnya usianya terpaut tak jauh darinya atau mungkin mereka seusia. Anak-anak itu tertawa berderai, mencemooh dan berlari ketika Ilalang melepaskan ikatan Bahar. Mereka bersorak sorai mengejek keduanya.

“Orang gila, orang gila,” teriak mereka seperti nyanyian di kejauhan. Ilalang mengusap wajahnya, kesal tapi tak berdaya.

“Kenapa kau berteriak-teriak pada mereka?” ia bertanya pada Bahar yang jelas tidak akan menjawab sama sekali. Bocah berusia 6 tahun itu hanya terkekeh dan melompat-lompat di sampingnya, mengikuti langkah Ilalang memasuki rumah.

“Lain kali menjauh jika mereka datang,” ujar Ilalang, berharap adiknya akan mengerti. “Jangan hiraukan mereka. Akak sudah bilang, sebaiknya kalau Akak tidak di rumah, kau tidak usah keluar.”

Seperti biasa, ia hanya bicara sendiri. Bahar yang mengalami keterbelakangan mental hingga disebut orang gila karena bahkan tak mampu bicara hingga di usianya yang keenam. Bahar juga tidak bisa memahami perkataan siapapun, membuat Ilalang kadang berpikir mungkin adiknya tidak hanya keterbelakangan mental tapi juga bisu dan tuli. Entahlah. Baginya, Bahar tetap terlihat seperti mutiara. Karena, sekalipun dengan kondisinya yang sangat terbatas, Bahar tetap bisa memberinya pelukan penuh kasih sayang saat Ilalang merasa dunia terlalu kejam pada mereka.

Bahar sibuk bermain sementara Ilalang menanak nasi sambil menumbuk beberapa buah cabai merah dan tomat. Membakar dua ekor ikan asin kecil yang ia dapat dari membantu memilah sayur sisa di warung sayur di depan rumah mereka. Cukup untuk makan siang Bahar dan Ibu. Sembari menunggu nasinya matang, Ilalang beranjak ke kamar.

Nila sang Ibu, melirik sekilas saat Ilalang menyibak tirai pintu kamar. “Ibu sudah mandi?” tanya Ilalang.

Wanita berusia tiga puluh tahunan itu hanya menatap kosong pada anak sulungnya. Jelas pertanyaan itu tak akan berjawab, Ilalang tersenyum kecut dan memeriksa ibunya. Memeriksa seluruh bagian tubuhnya, memastikan tidak ada air seni atau bab ibunya. Ia lalu mengambil baskom kecil dan sebuah kain lalu mulai mengelap tubuh ibunya yang ringkih.

“Nanti sore saja mandinya,” ujar Ilalang pelan. Nila lagi-lagi hanya melirik, Ilalang tidak mengerti apakah ibunya paham dengan kata-katanya atau tidak.

Sejak kelahiran Bahar, Nila tak pernah lagi bicara. Ah tidak, bahkan sejak hari buruk itu terjadi, Nila sudah tak pernah bicara. Hanya Ialalang yang selalu bicara padanya, pembicaraan searah yang selalu diakhiri senyum pahit. Hari buruk yang membuat hidup Ilalang seperti di akhir dunia.

Tujuh tahun lalu, Ilalang yang masih berusia lima tahun tengah bermain bersama beberapa anak seusianya. Ia berlari pulang ketika mendengar jeritan ibunya, tapi yang didapat Ilalang justru rasa sakit yang tak akan pernah sembuh hingga kapanpun. Rasa sakit yang membuat Nila tak mampu lagi bicara setelah itu.

Enam orang pria, mengikat Nila dan juga Ilalang dalam ruang sempit rumah kumuh mereka. Memaksa gadis kecil itu melihat kengerian yang tak akan pernah bisa dibayangkan oleh siapapun. Ia melihat air mata ibunya yang dirudapaksa enam orang dalam waktu yang cukup lama. Menulikan telinga pada teriakan Ilalang dan bahkan menyumpal mulutnya agar tak lagi berteriak.

Setelah puas, mereka meninggalkan Nila yang hampir pingsan. Melepaskan Ilalang dan tertawa meninggalkan rumah itu. Ilalang dalam air matanya, memandikan ibunya yang bahkan tak mampu menghentikan tangisnya. Sejak itu, Nila yang tak lagi mengatakan sepatah katapun. Ia tak lagi melakukan apa-apa selain duduk termangu di sisi jendela. Kadang menjerit dan menangis tanpa sebab dan sesekali berteriak histeris.

Sejak itu pula, Ilalang mengambil alih semua urusan di rumah. Memasak, mencuci dan memandikan ibunya. Menanam apapun yang menurut pikiran kecilnya bisa dimakan. Atau bekerja di warung sayur memilah sayuran yang sudah layu sekedar untuk mendapatkan secanting beras dan seekor kecil ikan asin. Cukup untuk mengganjal rasa lapar mereka berdua.

Rumah mereka, yang hanya sebuah pondok kecil dari kayu yang hampir lapuk tak mampu menahan keenam pria itu untuk datang lagi. Kadang mereka datang bersamaan atau kadang bergantian. Dan selalu melakukan hal buruk itu pada Nila yang hanya bisa menangis dan menjerit. Ilalang tak pernah bisa melawan mereka hingga akhirnya mereka tahu Nila mengandung. Entah benih dari siapa dari mereka yang tumbuh menjadi janin dalam rahim wanita itu. Dan sejak itu, mereka tidak pernah datang lagi.

Ilalang yang tidak pernah mengerti apa yang terjadi pada ibunya, justru merasa senang karena ibunya sekarang jadi lahap makan dan sedikit gemuk. Tetapi seiring dengan itu, mulut berbisa tetangga mereka semakin menyakitkan. Tidak hanya untuk didengar, tapi juga mengendap dalam sanubari Ilalang. Ketika Bahar lahir, mereka semua mencibirnya. Apalagi ketika tahu kondisi Bahar, semua orang tertawa.

“Namanya juga anak milik rame-rame, wajarlah cacat.”

Batin Ilalang pedih dengan kalimat itu, tapi apa yang bisa ia katakan? Adiknya, yang ia harapkan bisa menjadi pembelanya suatu saat terlahir tidak sempurna. Seperti ibu  mereka, Bahar tak pernah bicara. Ia hanya bisa menjerit dan berteriak. Sepanjang hari berjalan atau melompat-lompat membuat beberapa anak kecil ketakutan sekalipun ia tak pernah mengganggu mereka. Tapi kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat siapapun merasa takut.

“Ibu, Ilalang harus kembali ke perkebunan. Ibu bisa makan sendiri?” tanya Ilalang setelah memastikan nasi matang dengan sempurna. “Bahar sudah makan,” sambungnya.

Nila hanya meliriknya dan kembali duduk di sisi jendela. “Baiklah, masih ada waktu sebentar. Ibu makan dulu,” gadis kecil itu mengalah dan mengambil piring kecil. Mengisinya dengan sesendok nasi dan sepotong ikan asin lalu menyuapi ibunya.

Nila hanya menelan tiga suap, sisanya ia muntahkan. Ilalang bangkit dan mengusap keringat di dahi dan leher ibunya. “Ilalang pergi dulu, Bu.”

Ia menoleh pada Bahar yang tengah bermain di dapur. “Jangan memainkan api dan tetaplah di rumah,” ujarnya pelan. Bahar tak peduli atau mungkin tidak mendengar, ia sibuk bermain dengan kayu-kayu kecil di sisi tungku. Sementara Ilalang kembali menderap menuju perkebunan.

“Terlambat lagi Ila?” tegur Mandor. Ilalang hanya bisa mengangguk tak nyaman pada pria setengah baya itu.

“Alah, terlambat pun gajimu tidak akan dipotong,” sahut Suria.

‘Tidak biasanya dia ikut entres,’ pikir Ilalang saat melihat Suria mencibir padanya.

“Kau selalu mengganggunya,” ujar Mandor. Suria menggeser tubuhnya agak menjauh.

“Apa dia anakmu, makanya selalu kau lindungi?” ujarnya, seperti sengaja dilantangkan. Mandor itu menatap Suria tajam.

“Kurasa kau tahu kenapa kau diturunkan ke pekerja lapangan Suria?” tanya Mandor itu. Suria mundur dan menjauh dari mereka.

“Jangan pulang terlalu sore, kasihan ibu dan adikmu,” ujar sang mandor pada Ilalang. Gadis kecil itu mengangguk dan menggumamkan terima kasih yang sangat pelan.

“Dan jangan dengarkan apapun yang dikatakan wanita itu,” ujarnya kemudian, mengangguk pada arah Suria yang masih bergumam kesal karena Ilalang yang selalu dibela. “Dia belum bisa melupakan rasa irinya pada ibumu.”

Kalimat itu membangkitkan rasa ingin tahu Ilalang, apakah Mandor tahu apa yang terjadi pada ibunya dulu? Apakah dia dan Suria tahu siapa ayahnya? Ataukah benar yang dikatakan Suria, bahwa pria ini adalah ayahnya? Ibu tak pernah mau mengatakan pada Ilalang siapa ayahnya. Setiap kali Ilalang bertanya ia hanya akan tersenyum dan mengusap lembut kepala gadis kecil itu.

Sesaat Ilalang ragu, ia ingin sekali bertanya tentang ayahnya pada pria itu. Tapi ada keraguan dan juga rasa takut. “Ada yang ingin kau bicarakan?” tanya pria itu pada Ilalang.

“Tuan Mandor, apa Tuan tahu siapa ayah saya?” akhirnya kalimat itupun tercetus dari bibirnya.

Pria itu terlihat terkejut, tapi kemudian tersenyum kecil. “Selesaikan pekerjaanmu, aku akan menceritakan sesuatu padamu setelah itu,” ujarnya seraya mengusap lembut bahu Ilalang.

Ilalang bergegas, ia harus menyelesaikan petak yang sudah dipatok untuknya hari ini. Keingintahuannya akan masa lalu ibunya membuat dada gadis kecil itu berdebar. Apakah ia siap untuk mendengar siapa ayahnya. Apakah ia siap untuk mengetahui mengapa laki-laki itu tidak pernah datang? Jika ia ternyata mengenal pria itu, apa yang akan ia lakukan nanti?

Semua pertanyaan itu membuat Ilalang ragu untuk datang pada Mandor setelah pekerjaannya selesai. Ia tidak yakin hatinya siap dengan apa yang mungkin akan dia dengar. Tapi ketika pria setengah baya itu melambai memanggilnya, kaki Ilalang melangkah dalam rasa takut, penasaran dan keraguan yang membuat hatinya tidak tenang.

“Ini gajimu minggu ini,” Mandor mengulurkan beberapa lembar uang yang bagi sebagian orang nilainya sangat kecil. Tapi bagi Ilalang itu cukup besar karena dengan uang itu ia bisa membeli beras dan beberapa butir telur untuk lauk.

“Dan mengenai pertanyaanmu tadi, kau ikutlah sebentar denganku ke suatu tempat,” sambung Mandor.

Ilalang ragu sejenak, ia tidak pernah dekat dengan siapapun. Ia tidak punya teman karena keadaan. Ia juga tidak pernah pergi kemanapun kecuali ke perkebunan untuk bekerja. Dan ia juga tidak pernah tahu apakah pria di hadapannya baik atau tidak. Selama ini, sekalipun bersikap baik pada Ilalang, tapi ia juga bukan orang yang baik pada semua orang.

Beberapa orang mengatakan kebaikannya karena ada sesuatu yang ia inginkan dari Ilalang. Entah apa dan Ilalang takut jika hari ini ia meminta balasan atas kebaikan itu.

“Jika kau ragu, kita pergi lain hari saja.”

“Ah, tidak. Saya ingin pergi sekarang,” jawab Ilalang tergesa. Keingintahuan akan ayahnya memaksa Ilalang membuat keputusan tergesa itu.

“Baiklah.”

Mereka pergi di bawah tatapan ingin tahu dan gunjingan semua orang, dalam komando Suria tentunya. Entah berapa banyak sumpah serapah dan dugaan yang mengiringi langkah keduanya. Ilalang tentu saja mendegar itu untuk beberapa kata, tapi tak penting baginya sekarang semua itu. Jika memang hari ini ia bisa tahu siapa ayahnya dan dimana dia sekarang, semua sumpah serapah itu tak ada artinya.

Tetapi Mandor membawanya ke sebuah rawa yang disebut-sebut sebagai lokasi terlarang  di perkebunan. Sebuah rawa yang lebat dengan kayu-kayu mati tapi masih menjulang dalam lingkupan air dan lumpur.

“Di sana, dalam rawa-rawa itu diantara pepohonan, disitu ayahmu terkubur,” ujar Mandor. Ia sejatinya tak sampai hati mengatakan semua itu, tapi bertekad untuk memberi kejelasan pada Ilalang tentang siapa dia sebenarnya.

Jantung Ilalang berdegup kencang mendengar kata-kata itu. Entah apa yang terjadi sehingga ayahnya terkubur dalam rawa yang menyeramkan itu. Entah berapa banyak buaya yang bersarang di sana.

“Saat itu, ibumu baru hamil lima bulan. Ia sudah melarang ayahmu untuk membawa alat berat ke lokasi ini karena saat itu ada banyak kabar bahwa disini banyak buaya dan ular besar yang bersarang. Tapi karena tidak satupun dari operator alat berat yang berani, ayahmu memaksakan diri datang ke sini agar tempat ini bisa dibersihkan dan ketakutan karyawan akan buaya dan ular yang bersarang di sini bisa dihapuskan.”

Hening sejenak.

“Tetapi, yang bersarang di sini bukan hanya buaya dan ular, Ilalang. Juga para bajingan yang selalu mengganggu hasil perkebunan. Mereka tidak disadari oleh ayahmu. Saat ia mencoba membersihkan rawa dengan alat berat mereka datang, menyerang ayahmu yang sendirian. Ah, tidak. Ada banyak karyawan yang melihat dari kejauhan tapi mereka tak berani mendekat. Pun ketika ayahmu diserang dan benamkan bersama dengan alat beratnya ke dalam rawa.”

“Aku tahu ini terdengar kejam dan menakutkan bagimu. Tapi begitulah yang terjadi. Tidak satupun yang berani membantu ketika ayahmu akhirnya tenggelam. Meskipun dia adalah putra pemilik perkebunan, tapi menghadapi para bajingan itu jauh lebih menakutkan ketimbang dipecat dari pekerjaan ini.”

Ilalang terdiam.

“Setelah kejadian itu, ibumu dipaksa pergi dari keluarga ayahmu. Pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang direstui keluarga. Keluarga ayahmu selalu menolak pernikahan itu karena sejatinya ayahmu sudah dijodohkan dengan gadis lain. Dia Suria. Tapi keluarga ayahmu akhirnya tahu bahwa kehadiran para bajingan hari itu, atas suruhan Suria yang ingin memisahkan orang tuamu. Dia yang jadi gelap mata karena ayahmu lebih memilih ibumu.”

Sekarang Ilalang mengerti dari mana kebencian itu berasal. “Tapi mengapa keluarga ayah tidak pernah merestui pernikahan mereka?”

“Karena ibumu dianggap pembawa sial bagi mereka. Sejak kematian ayahmu, mereka semakin membenci ibumu karena itulah ia diusir dari keluarga ayahmu. Kehadiranmu pun membuat mereka marah, bagi mereka kau sama seperti ibumu, pembawa sial.”

Dalam  hati, Ilalang tertawa. Pembawa sial? Mungkin benar, tapi sebelum hari jahannam tujuh tahun yang lalu itu, hidupnya dan Ibu baik-baik saja. Mereka cukup bahagia sekalipun Ibu hanya bekerja sebagai penjual sayur keliling dan sesekali menjadi penyadap karet di perkebunan.

“Mereka tidak tahu saya bekerja di perkebunan ini bukan?” tanya Ilalang pelan. Ia tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika keluarga ayahnya tahu bahwa ia bekerja di perkebunan. Mereka mungkin masih membenci dia dan  Ibu sampai sekarang.

“Sayangnya mereka tahu Ilalang, tentu saja Suria tidak akan tinggal diam. Karena itulah, hari ini aku mengajakmu ke sini,” ujar Mandor pelan.

Sontak Ilalang menjauh dari pria setengah baya yang tengah tersenyum itu. Entah mengapa, sekarang ia melihat pria itu sebagai salah satu pembunuh ayahnya dulu.

“Kenapa kau menjauh?” tanya Mandor. “Kau terlihat ketakutan.”

Ilalang berbalik, berlari dari tempat itu tapi hanya beberapa langkah saja. “Kau tidak bisa lariku.”

Hanya beberapa langkah saja, dan sekarang ia dalam cekalan kuat sang Mandor yang tak akan pernah mampu ia lepaskan. “Perlu kau tahu, Suria adalah gadis idamanku sejak dulu. Dan aku mampu melakukan apapun yang ia inginkan.”

Jantung Ilalang serasa terbang ketika ia memahami kalimat itu. Pria inilah yang membunuh ayahnya. Entah dengan cara apa, yang pasti Ilalang mengerti bahwa cerita tentang para bajingan itu tidak pernah ada. Itu hanya karangan Mandor saja.

“Para pria yang mendatangi ibumu tujuh tahun lalu, itupun orang-orangku atas permintaan Suria. Sayangnya kau tidak berakhir seperti ibu dan adikmu. Kau tetap baik-baik saja sekalipun sudah melihat hal-hal buruk dan keji.”

Ia mengangkat tubuh mungil Ilalang, menatapnya dengan kejam dan seringai buruk yang menakutkan. “Jadi, katakan padaku seperti apa cara yang kau inginkan untuk bertemu ayahmu?”

‘Aku bahkan tidak bisa memilih cara bagaimana aku harus mati,’ pikir Ilalang kelu. Sekujur tubuhnya terasa dingin, rasa takut melingkupinya. Ia tidak takut akan kematian yang sepertinya sebentar lagi akan menyambangi. Ia hanya takut membayangkan hidup Bahar tanpa kehadirannya. Ia takut tidak akan ada yang merawat keluarganya jika ia harus pergi hari ini.

Ilalang merasa tercekik dan sesak, lalu semuanya menjadi sangat gelap dan pengap. Lalu ada banyak suara yang sangat mengganggunya ketika ia merasa sanggup membuka mata. Tidak ada rasa tercekik dan sesak, hanya tercium aroma yang membuat perutnya bergolak, lapar.

“Kau akhirnya kembali,” suara itu membuat Ilalang sontak bangkit.

Apa dia sudah ada di surga? Kenapa Ibu terlihat sangat cantik di sana? Tersenyum semringah dan bahkan Bahar tertawa berderai sambil memainkan pesawat kecil, berlarian di sekitar tempat tidurnya. Sebuah tempat tidur yang terasa sangat nyaman dan ruangan yang sejuk dengan aroma yang sangat menenangkan.

*Tamat*

Ikuti tulisan menarik Aslan Rakhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan