x

paintings by Justin

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Kamis, 10 Agustus 2023 16:44 WIB

Tujuh Daun Bidadari

Tarub mendapatkan tujuh daun dari tujuh bidadari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tarub berlari mengejar bidadari berselendang biru. Menerobos belukar. Bidadari itu melayang beberapa meter di atas tanah. Sesekali Tarub berhenti dan menyelinap di balik pohon atau belukar, ketika bidadari itu berhenti dan menoleh ke belakang. Sang Bidadari melanjutkan melayang menembus hutan, menuju puncak bukit.

Bidadari yang sungguh rupawan itu berhenti di tepi sebuah telaga. Enam bidadari lain telah menantinya. Ada pelangi yang melengkung, menyentuh tepian telaga.

“Kau sudah mendapatkannya?” tanya bidadari berselendang merah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bidadari berselendang biru tersenyum. “Dia sangat tampan,” katanya.

“Semoga dia bisa menjaga telaga ini,” sahut bidadari berselendang kuning.

“Cepat, kau panggil dia,” desak bidadari berselendang hijau. 

Bidadari berselendang biru melayang mendekat ke sebuah belukar.

“Keluarlah, pemuda tampan,” serunya.

Tarub keluar dari balik belukar. Ia gugup. Sepasang matanya terbuka lebar melihat bidadari berkulit putih dan bercahaya di hadapannya. Di belakang bidadari itu, di sana, di telaga, masih ada enam bidadari dengan kejelitaan tiada tara.

“Ucapkan satu permintaan pada kami,” kata bidadari berselendang biru.

Tarub berpikir beberapa saat. 

“Aku ingin kaya,” ucapnya.

Bidadari berselendang biru tersenyum dan membuka telapak tangannya. “Terimalah,” katanya.

Tarub melihat tujuh lembar daun berwarna hijau selebar telapak tangan di telapak tangan bidadari itu. Tarub tak mengerti.

“Aku ingin kaya, mengapa kau memberiku tujuh lembar daun?”

“Masing-masing dari kami memberimu satu daun nirwana. Kau letakkan di bawah tempat tidurmu. Maka, esok kau akan menjadi pemuda tampan yang kaya raya.”

“Semudah itu?”

“Bukankah itu yang kau inginkan?” bidadari berselendang biru tersenyum.

Tarub hendak meraih dedaunan itu. Tetapi bidadari berselendang biru menarik mundur tangannya yang ramping, putih dan mulus.

“Tunggu dulu,” kata si bidadari. “Kau harus melakukan sesuatu untuk kami.”

“Apa itu?”

“Kau harus menjaga telaga ini. Jangan biarkan seorang pun memasuki wilayah ini.”

“Itu mudah,” sahut Tarub. “Tak ada yang tahu tempat ini, kecuali aku. Telaga ini sangat tersembunyi. Orang-orang datang ke telaga lain, tetapi tidak ke telaga ini. Percayalah padaku.”

Tarub memasukkan tujuh daun nirwana itu ke saku celana panjang hitam lusuhnya. Kemudian ia mengeluarkan parang dari balik pinggangnya. Menebang beberapa batang pohon bambu dan membuat gubug, tempat ia akan menjaga telaga itu. Menjelang senja, ia pulang.

Tarub meletakkan tujuh daun itu ke bawah kasur. Tengah malam, Tarub terjaga. Ia merasa tidak nyaman dengan kasurnya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. 

Tarub membalik kasurnya dan terperanjat. Di bawah kasurnya penuh lembaran uang. Ia terhuyung sejenak, kemudian duduk di lantai tanah kamarnya. Memandang nanar pada tumpukan uang di balik kasur. Ia menempeleng pipinya sendiri. Aduh!

Tarub bangkit dan menuju kamar ibunya, menggedor-gedor pintu.

“Ibu, ibu!”

Pintu kamar ibunya terbuka.

“Apa-apan kau ini? Macam penagih utang saja.”

Tarub tidak menyahut. Ia menarik tangan ibu menuju kamarnya.

“Lihat, Ibu. Kita kaya. Kita kaya, Ibu!”

Ibu menampar pipi Tarub.

“Kurang ajar! Kau merampok?”

“Tidak, Ibu. Aku tidak merampok.”

Tarub menceritakan semuanya. Ibu berseri-seri dan memeluk Tarub. Kemudian mereka menghitung tumpukan uang itu, sampai sinar matahari menerobos dari sela-sela dinding kayu kamar.

“Sudah, tak perlu kita menghitungnya lagi. Ini melelahkan,” kata ibu.

“Kita bisa beli apa saja dengan uang ini, Ibu.”

“Kau carilah gadis yang kau suka. Ibu ingin punya cucu.”

“Tidak, Ibu. Aku ingin menikmati masa mudaku dengan uang ini. Ibu saja yang menikah, agar aku punya adik.”

“Aih, nakal kau ini,” sahut ibu menyentil hidung Tarub dan tersipu.

“Tapi, Ibu. Bagaimana nanti bila orang-orang bertanya?”

“Bilang saja kau menang lotere.”

“Ah, Ibu benar. Aku menang lotere, hahaha.....”
***
Hanya ada satu rumah berlantai dua di kampung itu. Rumah Tarub. Ia tinggal sendirian. Ia tak mau siapapun tinggal di rumahnya. Ia tak mau rahasianya terbongkar. 

Tetapi rumah itu selalu ramai. Tarub suka mengundang teman-teman berkumpul di rumahnya. Main domino, dadu, karaoke, dan bila hasrat menggelegak ia mengundang wanita bayaran. Sementara ibunya sudah menikah lagi dan pindah ke rumah suami barunya di kota.

Tarub selalu gembira bila hujan turun. Bila hujan reda matahari akan bersinar dan muncul pelangi, lalu Tarub bergegas mendaki ke puncak bukit, menuju telaga yang tersembunyi. 

Tarub duduk di gubug dekat telaga, menjaga tujuh bidadari mandi di telaga itu. Usai mandi dan sebelum kembali ke nirwana, tujuh bidadari itu memberikan masing-masing satu daun pada Tarub. Dengan begitu, kekayaan Tarub senantiasa mengalir.
***
Suatu masa, datanglah kemarau panjang. Sumur-sumur kering, sungai kerontang, tanah-tanah di sawah meretak. Telaga di lereng bukit pun menyusut airnya. Tetapi di rumah Tarub selalu berlimpah air. Tarub membeli air bersih dari kota. Rumahnya senantiasa ramai oleh kunjungan teman-temannya.

Suatu siang, Tarub mabuk. Ia menceracau tak tentu arah. Seorang teman datang berkunjung, ia datang terlambat.

“Sudah tiga hari aku tak mandi. Telaga di lereng bukit makin menyusut saja airnya,” kata teman itu.

Tarub tertawa.

“Bodoh. Tidakkah kau tahu ada telaga lain di puncak bukit? Airnya berlimpah sepanjang waktu.”

Teman-teman tertegun, saling pandang. Mereka meminta Tarub bercerita apa saja. Tak lama kemudian, mereka masuk ke kamar Tarub, mengacak-acak kamar itu. Setelah itu mereka menghambur ke luar dari rumah Tarub. Mendaki ke puncak bukit. Mencari dan menemukan telaga yang tersembunyi. 

Ketika sadar dari mabuk, Tarub meradang. Ia mendaki ke puncak bukit dan menemukan orang-orang membawa bambu, slang, dan pipa. Mereka mengalirkan air dari telaga ke rumah-rumah mereka, melalui bambu, slang, dan pipa.

Tarub mengangkat parang dan membentak.

“Pergi kalian!”

Beberapa pemuda menyergap Tarub, mengikatnya di batang pohon. Tarub terus berteriak-teriak sampai habis tenaga dan kemudian kepalanya tertunduk lunglai. 

Seorang teman mendekat membawa cawan tempurung kelapa.

“Minumlah,” kata teman itu, menyentuhkan bibir cawan ke mulut Tarub.

“Terima kasih,” ucap Tarub lemah.

“Kami hampir selesai. Kami akan melepaskanmu.”

“Bagaimana kalian menemukan telaga itu?” tanya Tarub.

“Kau.”

“Aku?”

Teman itu mengangguk.

“Kau menceritakan semuanya, saat kau mabuk. Tentang telaga tersembunyi, tentang tujuh bidadari, tentang tujuh daun, pelangi, dan uang di kamarmu.”

“Habislah aku,” kepala Tarub terkulai lemah dan tersedu. Tarub menangis bagai anak kehilangan kelereng.
***
Kemarau telah berlalu. Hari ini hujan telah reda. Matahari bersinar lembut. Pelangi melengkung menyentuh tepian telaga. Tarub duduk termangu di gubug dekat telaga. Matanya menatap nanar pada telaga yang tepiannya penuh dengan batang bambu, slang, dan pipa. Tak ada tujuh bidadari yang mandi di telaga bening itu. Tak ada tujuh daun nirwana. 

Tarub melangkah gontai menuruni bukit. Sampai di depan rumah berlantai dua, Tarub berhenti. Dari luar pagar besi, Tarub memandang rumah itu dengan tatapan redup. Seorang lelaki berbadan tegap, muncul dari pos satpam, mendekat ke pagar.

“Huss! Pergi! Pergi!” lelaki berbadan tegap itu mengangkat pentungan.

Tarub bergegas pergi. Di depan sebuah rumah lain, ia berhenti. Mendekat ke pohon mangga di halaman rumah itu. Tarub memetik tujuh daun mangga kemudian buru-buru berlalu. Pada sebuah pos ronda ia berlabuh. 

Di sudut pos ronda ada satu bantal lusuh dan dekil. Tarub mengangkat bantal itu dan tampaklah berlembar-lembar daun mangga di lantai pos ronda. Tarub meletakkan tujuh daun mangga lagi pada tumpukan daun itu dan menutup dengan bantal. Tarub tersenyum, merebahkan tubuhnya. Ia meringkuk.

Beberapa lama mata Tarub terbuka. Melamun. Perlahan, sepasang matanya mulai basah.

“Ibu, di mana kau?” gumamnya lirih. Senja menjelang. Tarub memejamkan mata. Air matanya meleleh sudah.
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB