"Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman ..."
Terngiangkah kita pada sepenggal lirik nyanyian itu?
Betapa sebenarnya kita ini hidup di tanah surga
Anugerah Sang Pencipta semesta alam
Begitulah terlukis di nyanyian itu
Dan, memang benar tak keliru ...
Tongkat kayu dan batu saja tumbuhkan tanaman
Berbekal kail dan jala, sudah cukup untuk hidup dan menghidupi
Sederhana dalam tamsilnya ...
Mungkinkah mereka sang penghisap penindas
Datang kemari mencengkeram, menguras bumi kita
Sepanjang tiga ratus lima puluh tahun
Bila bukan karena tanah kita memang tanah surga?
Mungkinkah?
Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa jua
Dan, dengan didorongkan oleh keinginan luhur
Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, lepas ditindas
Senandung harap dalam doa
Perjuangan perintis pendahulu bangsa
Terkabullah untuk menyatakan
Sebagai bangsa merdeka di tanah surga
Indonesia Nusantara dengan warna kebhinnekaannya ...
Merdeka di tanah surga itu elok, indah permai, penuh kedamaian
Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem rukun raharja
Adalah seharusnya dan semustinya!
Saat ini ...
Di kala masih ditemui jurang yang menganga
Antara si kaya dan si miskin
Saling berbaku hantam di antara sesama
Perselisihan, keonaran dan kegaduhan masih melanda
Berebut harta, tahta, kuasa dan nafsu berdigdaya ...
Maka masih pantaskah kita dikata
Hidup merdeka di tanah surga
Seperti nyanyian dan untaian kata para pujangga?
Mitos merdeka di tanah surga ...
Bilakah terhapus lalu menjadi nyata tanpa noda?
*****
Kota Malang, Agustus di hari kesembilan, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.
